Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menghindari Defisit Migas Makin Lebar

Neraca perdagangan barang Indonesia di sektor minyak dan gas kembali defisit. Diversifikasi energi belum berjalan optimal. 

16 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Neraca perdagangan barang di sektor minyak dan gas melanjutkan sejarah defisit. Per Agustus 2022, nilai defisitnya sebesar US$ 1,98 miliar. Menilik catatan neraca dagang migas tahun ini, rekor pada Agustus terhitung kecil. Pada Juli lalu, nilainya menyentuh US$ 3,08 miliar, tertinggi sejak awal tahun. Selain itu, pada Maret, April, dan Juni, angka defisit neraca migas sempat berada di kisaran US$ 2 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, menyatakan penurunan defisit pada Agustus lalu secara bulanan dipicu oleh kenaikan ekspor migas. Nilainya naik dari US$ 1,37 miliar menjadi US$ 1,72 miliar. "Juga ada penurunan impor migas," ujarnya, kemarin. Nilai impor tercatat turun dari US$ 4,46 miliar ke US$ 3,7 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun nilai defisit per Agustus tahun ini paling tinggi dibanding realisasi pada bulan yang sama dalam lima tahun terakhir. Sejak 2017 hingga 2021, defisit pada Agustus setiap tahun sebesar US$ 777 juta, US$ 1,6 miliar, US$ 787 juta, US$ 351 juta, dan US$ 982 juta. Dibanding realisasi bulanan dalam lima tahun terakhir pun, angka defisit pada Agustus 2022 termasuk tinggi.

Pengisian bahan bakar minyak di Terminal Pengisian BBM Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan


Diversifikasi Energi Belum Optimal

Peneliti dari Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menyatakan defisit neraca dagang migas tak bisa dihindari Indonesia sebagai importir minyak. Sebab, kebutuhan konsumsi tak sebanding dengan kemampuan produksi. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat kebutuhan konsumsi per hari sebesar 1,2-1,5 juta barel. Sedangkan lifting migas hanya sekitar 700 ribu barel per hari.

Ditambah lagi saat ini harga minyak mentah tengah tinggi. Meski turun per Agustus lalu sebesar 8,67 persen secara bulanan, trennya masih tinggi. Pada Agustus 2021, harga minyak mentah US$ 68,9 per barel, sedangkan pada periode yang sama tahun ini US$ 96 per barel.

"Sementara itu, diversifikasi energi yang selama ini diharapkan dari energi alternatif belum maksimal berjalan," kata Abdul saat dihubungi, kemarin. Pemerintah, misalnya, masih mempersiapkan ekosistem untuk kehadiran kendaraan listrik serta mengkonversi kompor gas ke kompor listrik. Upaya memperbesar bauran energi bersih pada pembangkitan listrik pun masih tersendat.

Abdul menjelaskan, penting untuk menjaga defisit neraca migas tak membengkak. "Kalau tidak, current account defisit (CAD) akan tetap bertahan tinggi," ujarnya. Efeknya adalah ketergantungan pada modal asing dan mempengaruhi nilai tukar rupiah. CAD yang tinggi juga bakal berujung perlambatan pertumbuhan ekonomi. "Transformasi Indonesia menjadi negara maju akan makin susah."

Kilang Pertamina Unit Pengolahan VII Kasim di Sorong, Papua Barat. Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo


Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Maxensius Tri Sambodo, menyatakan perlu ada perubahan pola konsumsi untuk menekan defisit neraca dagang migas. Dia menyebutkan langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan nonsubsidi bisa menjadi langkah awal. "Dengan kenaikan harga, diharapkan konsumsinya berkurang," kata dia. Namun implementasinya harus dibarengi dengan upaya lain, seperti menyiapkan sarana transportasi publik yang masif dan mudah terjangkau.

Adapun dari sisi produksi, perlu ada tambahan investasi untuk ekspansi. Kapasitas pengolahan minyak pun mendesak ditambah untuk menekan impor minyak mentah di kemudian hari.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menyatakan pihaknya terus berupaya mengurangi impor minyak. Salah satunya dengan memproduksi bioenergi. Pertamina, misalnya, sudah memproduksi B30, yang merupakan bahan bakar dengan campuran biosolar 30 persen dan solar 70 persen.

Perusahaan juga mulai mengembangkan etanol untuk mengganti bensin. "Kami campur dengan gasolin, dari molase tebu dan singkong," kata Nicke. Pengembangan etanol sebagai bahan bakar telah berhasil diterapkan, salah satunya di Thailand. Saat ini kadar etanol yang sudah dicampur mencapai 12 persen. Pertamina sendiri bakal memulai produksi dengan campuran etanol 5 persen dan ditingkatkan secara bertahap.

VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus