Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani terus merosot.
Larangan ekspor menyebabkan produksi CPO tidak terserap di dalam negeri.
Kenaikan harga CPO dunia hanya menguntungkan konglomerat sawit.
JAKARTA - Kendati belum berlaku, rencana Presiden Joko Widodo melarang ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng mulai 28 April mulai memakan korban. Dampak larangan ekspor CPO dirasakan oleh para petani sawit, yang menghadapi penurunan harga tandan buah segar (TBS) secara signifikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, berujar anggotanya melaporkan bahwa harga TBS sawit di Riau, Sumatera Utara, dan berbagai daerah lain berada di kisaran Rp 1.700-2.000 per kilogram. "Turun 30 bahkan sampai 50 persen," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Henry, turunnya harga TBS kelapa sawit adalah konsekuensi dari spekulasi akan membanjirnya produksi CPO di dalam negeri akibat larangan ekspor. Pada 2021, total produksi CPO Indonesia mencapai 46,89 juta ton, sementara konsumsi nasional untuk biofuel dan pangan hanya 16,29 juta ton. Artinya, ada 30 juta ton CPO yang selama ini diekspor terancam tak terserap. Karena itu, Henry mengatakan larangan ekspor semestinya diikuti oleh kebijakan turunan yang bisa menjamin harga TBS di tingkat petani tetap di level ekonomis.
Pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Tarailu, Mamuju, Sulawesi Barat. ANTARA/Akbar Tado
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, mengatakan harga TBS petani turun Rp 400-1.000 per kilogram dalam sehari. Ini terjadi meski larangan ekspor CPO belum berlaku.
Darto melihat persoalan ini timbul lantaran tidak adanya data acuan. Dia memberi contoh data produk CPO yang masih berada di dalam negeri dan belum terangkut serta kapasitas tangki CPO di kebun maupun di pelabuhan. Menurut Darto, kapasitas tangki ini penting untuk mengetahui seberapa lama negara mampu melaksanakan kebijakan ini. “Bisa jadi saat ini tangki masih kosong dan proses produksi jalan terus,” ujar dia.
Berdasarkan catatan SPKS, Indonesia pernah kelebihan produksi 4,5 juta CPO. Darto menuding bahwa turunnya harga TBS disebabkan oleh perusahaan yang membebankan potensi kerugian akibat larangan ekspor itu kepada petani. Sebab, produsen CPO sudah memiliki kontrak dengan pembeli di luar negeri. "Mereka membeli murah TBS petani dan nantinya mereka jual dengan harga normal. Artinya, mereka akan untung besar," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), Eddy Martono, sepakat bahwa harga CPO hingga TBS sawit petani akan terpengaruh oleh larangan ekspor tersebut. Menurut dia, belum ada yang bisa memproyeksikan seberapa besar dan berapa lama dampak tersebut akan terjadi. “Sebelum kita tahu apa saja yang dilarang, sulit kita memprediksi sampai berapa kenaikannya," ujar dia.
Rencana pemerintah melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Jumat pekan lalu. Menurut Jokowi, larangan ekspor CPO untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng. Jika ketersediaan bahan baku cukup, pemerintah berharap harga minyak goreng turun.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional menyebutkan harga minyak goreng curah di pasar tradisional pada 25 April mencapai Rp 19.750 per kilogram, sedangkan harga minyak goreng kemasan bermerek Rp 25.950 sampai Rp 26.950 per kilogram. Harga itu di atas harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram, yang penyediaannya disokong subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Reynaldi Sarijowan, mengatakan larangan ekspor itu harus dibarengi dengan pembenahan tata niaga minyak goreng. Menurut dia, meski harga TBS sawit petani turun, minyak goreng tetap mahal. IKAPPI mencatat harga minyak goreng curah di berbagai pasar Rp 20 ribu per liter dan minyak kemasan di atas Rp 23 ribu per liter. " Jangan sekadar melarang ekspor, namun harus diawasi juga distribusinya," ujar dia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, juga memperkirakan larangan ekspor CPO tidak akan menurunkan harga minyak goreng secara signifikan. Sebaliknya, kata dia, larangan ini bisa membuat Indonesia kehilangan potensi ekspor yang cukup besar.
Apabila larangan ekspor CPO berlangsung lama, Piter menduga petani dan pengusaha CPO kelas menengah bawah bakal mengalami kerugian besar dan memunculkan kegaduhan baru. "Sebaiknya pemerintah segera meninjau aturan ini sebelum dampak negatif yang lebih banyak muncul," kata Piter.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo