Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah harap-harap cemas menanti cairnya penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 7,5 triliun. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, mengatakan asupan kas negara itu diperlukan agar perusahaan dapat menepati berbagai komitmen penyehatan keuangan yang tersusun dalam perjanjian perdamaian dengan kreditor. “Diperlukan secepatnya, tentu agar kinerja tetap terjaga,” ucapnya kepada Tempo, kemarin, 27 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari laporan kinerja yang dipaparkan Irfan saat rapat bersama Komisi Keuangan DPR, Senin lalu, perusahaan berencana menggunakan PMN sebesar Rp 3 triliun atau 40 persen untuk modal kerja. Kebutuhan ini sudah mencakup biaya pembelian bahan bakar sebesar Rp 1,73 triliun, ongkos sewa atau leasing pesawat Rp 0,9 triliun, dan sisanya untuk melengkapi restrukturisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun sisa dana PMN yang sebesar Rp 4,5 triliun akan digunakan maskapai penerbangan pelat merah ini untuk menerbangkan kembali pesawat yang dikandangkan selama masa pandemi. Untuk restorasi dan perawatan armada, dibutuhkan biaya hingga Rp 3,6 triliun. Ada juga kebutuhan Rp 0,9 triliun untuk maintenance reserve atau cadangan biaya perawatan yang dibayarkan ke entitas pemberi sewa pesawat (lessor).
Sebelumnya, Irfan optimistis bisa menambah jumlah pesawat aktif Garuda Indonesia hingga 60 unit sebelum akhir 2022. Restorasi armada sudah diawali dengan fasilitas pembiayaan berskema bagi hasil—sebesar Rp 725 miliar—yang dijalin perseroan dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). “Sekarang ini jumlah pesawat serviceable kami sudah hampir 40 unit,” tutur Irfan.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Irfan Setiaputra, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 21 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Aliran kas negara juga menentukan eksekusi rencana bisnis yang disepakati Garuda Indonesia dan para kreditor di ujung homologasi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), Juni lalu. Setelah pengajuan perdamaian disetujui, beban utang perusahaan berkode saham GIAA ini berkurang separuh, dari US$ 10,1 miliar pada akhir 2021 menjadi US$ 5,1 miliar per Juni lalu. Dari data perseroan, besaran ekuitas yang sempat minus hingga US$ 5,3 miliar juga telah menurun menjadi minus US$ 1,5 miliar.
Penurunan beban ini menjadi sinyal kelanjutan rencana penerbitan saham baru Garuda Indonesia. Perlu diketahui bahwa saat ini porsi saham negara di GIAA mencapai 60,54 persen. Sisanya, sebesar 28,26 persen, dipegang Trans Airways—anak usaha CT Corp—dan saham publik 11,20 persen.
Dari rencana yang beberapa kali dipresentasikan manajemen Garuda kepada anggota parlemen, PMN sebesar Rp 7,5 triliun atau US$ 505 juta menjadi pembuka skema penambahan modal lewat hak memesan efek lebih dulu (HMETD) atau rights issue. Perseroan diketahui bersiap melepas 225 miliar saham baru dengan rentang harga pelaksanaan Rp 50-Rp 150 per saham.
Tiga Skenario Rights Issue Garuda
Dalam rapat di Komisi Keuangan DPR pada Senin lalu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban, sempat memaparkan tiga skenario hasil rights issue tersebut. “Jadi, kami memang membuat simulasi hanya untuk memastikan bahwa kami mengerti risikonya,” ucap Rionald.
Skenario pertama adalah apabila seluruh pemegang saham minoritas—Trans Airways dan publik—mengambil hak saham baru. Jika itu terjadi, diperkirakan ada dana sebesar US$ 358 juta yang terkumpul. Kalau dihitung dengan PMN, penggalangan dana Garuda Indonesia setelah homologasi akan menyundul US$ 863 juta. Dalam kondisi itu, porsi kepemilikan saham negara berkisar 51,43 dan 52,57 persen.
Ada juga skenario, jika publik sebagai pemegang saham minoritas tidak mengambil hak, porsi kepemilikan negara di Garuda Indonesia akan berkisar 53,12-54,08 persen. Skenario lainnya adalah, jika pemegang saham minoritas sama sekali tidak memakai hak, kepemilikan negara akan melonjak ke kisaran 66,43-65,51 persen. Jika skenario terakhir yang terjadi, nantinya Garuda Indonesia harus mencari dana tambahan dari investor lain karena hanya mendapatkan suntikan duit dari PMN.
Calon penumpang pesawat Garuda Indonesia melakukan lapor diri secara daring di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Dok. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
Rionald menuturkan rights issue dan konversi saham Garuda Indonesia ditargetkan selesai pada akhir Desember 2022. Adapun rapat umum pemegang saham luar biasa Garuda Indonesia direncanakan berlangsung pada 14 Oktober mendatang.
Pencairan PMN tinggal menunggu terbitnya putusan kasasi atas homologasi Garuda Indonesia. Wakil Ketua Komisi Badan Usaha Milik Negara DPR, Martin Manurung, pun menyebutkan perseroan sudah diberi lampu hijau untuk melanjutkan perencanaan bisnis. “Pencairan PMN berproses di pemerintah karena kami sudah menyetujui hasil rekomendasi panitia kerja penyelamatan Garuda.”
Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR, Amir Uskara, memastikan penggunaan modal negara oleh Garuda akan diawasi secara ketat. “Kami selalu menekankan bahwa PMN bukan dana gratis, melainkan penuh pertimbangan di tengah ruang fiskal yang terbatas,” kata Amir, kemarin.
Adapun Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia, Alvin Lie, menyebutkan PMN tersebut harus segera dicairkan untuk menjaga kepercayaan kreditor terhadap Garuda Indonesia. Pasalnya, perseroan akan terus dikejar tenggat pemenuhan komitmen perdamaian. “Dana PMN vital untuk kelancaran perputaran keuangan Garuda.”
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo