Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyelidikan dugaan kartel minyak goreng oleh KPPU dimulai pada akhir tahun lalu.
Hingga saat ini KPPU mengklaim baru memiliki satu bukti yang mengarah ke kartel minyak goreng.
Berbagai kebijakan pemerintah dinilai tak berhasil menyelesaikan persoalan harga dan stok minyak goreng.
JAKARTA - Cecaran pertanyaan mengenai dugaan kartel minyak goreng mendominasi jalannya rapat Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional, di gedung DPR, kemarin. Seusai pemaparan materi oleh KPPU, anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, langsung meminta sesi tanya-jawab dengan Ketua KPPU Ukay Karyadi.
Reli tanya-jawab di antara keduanya berlangsung cukup panjang. Anam beberapa kali memotong penjelasan Ukay dengan pertanyaan lain yang lebih merinci. Ia mengkritisi panjangnya tahapan yang dilakukan KPPU untuk menetapkan terduga pelaku kartel minyak goreng.
Ujung-ujungnya, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menyatakan tak puas dengan aneka jawaban Ketua KPPU yang baru diangkat pada awal Februari itu. "Jujur, kami tidak puas dengan jawaban Bapak, tapi biar rakyat yang menilai," ujarnya dalam rapat, kemarin.
Anam menilai KPPU terlalu lamban. Sebab, sejak lembaga ini mengendus sinyal kartel minyak goreng pada akhir tahun lalu, sampai sekarang mereka belum juga mengumumkan terduga pelaku persaingan usaha tidak sehat itu. "Sadar enggak KPPU ditunggu perannya? Sudah dilihat Kementerian Perdagangan gagal menangani ini. Kementerian Perindustrian juga. KPPU yang kami harapkan juga gagal," kata Anam.
Menanggapi cecaran legislator, Ukay mengatakan lembaganya saat ini belum bisa membuka nama perusahaan yang diduga melakukan praktik kartel, lantaran kasusnya tengah dalam tahapan penyelidikan. Penyelidikan itu baru dimulai pada pekan ini setelah KPPU menemukan satu alat bukti atas terjadinya praktik kartel. Ia mengatakan lembaganya dibatasi waktu 60 hari kerja untuk melengkapi satu alat bukti lainnya agar bisa membawa kasus tersebut menuju persidangan.
Masih tak puas dengan penjelasan Ukay, Anam melontarkan ancaman akan membubarkan KPPU. "Kalau tidak bisa umumkan sekarang atau seminggu lagi, Bapak bagian dari kartel, maka saya akan rekomendasikan Bapak dan anggota KPPU dibubarkan saja."
Dalam sesi tanya-jawab itu, legislator juga menanyakan langkah-langkah KPPU dalam menindak dugaan kartel minyak goreng yang dianggap menjadi biang keladi kelangkaan dan tingginya harga saat ini. Menjawab pertanyaan itu, Ukay pun menjelaskan secara kronologis langkah-langkah yang dilakukan lembaganya.
Menurut Ukay, KPPU mulai meneliti perkara minyak goreng pada akhir tahun lalu. Mereka mengendus kejanggalan ketika terjadi kenaikan harga minyak goreng secara serempak pada periode September hingga Oktober 2021. Padahal, kalau ada persaingan, seharusnya kenaikan harga tidak akan terjadi secara bersamaan, melainkan perusahaan-perusahaan akan bersaing menggaet pasar.
Penelitian itu bergulir hingga pergantian tahun. Pada Januari 2022, perkara itu dinaikkan ke tahapan investigasi. Ukay menyebutkan, sinyal kartel makin kuat seiring dengan penerbitan sejumlah kebijakan minyak goreng oleh pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk semua jenis minyak goreng, komoditas itu kompak hilang dari pasar. Minyak goreng kemasan kemudian mendadak membanjiri pasar kembali ketika pemerintah mencabut HET untuk komoditas tersebut.
Warga antre membeli minyak goreng curah dalam program distribusi minyak goreng HET di Pasar Senen Blok III, Jakarta, 17 Maret 2022. Tempo/Tony Hartawan
Dalam penjelasannya, Ukay berujar investigator KPPU telah memanggil 20 perusahaan minyak goreng dan 24 pihak terkait, dari peretail hingga Kementerian Perdagangan, untuk mencari alat bukti kasus tersebut. Dari pemanggilan itu, ia mengakui bahwa alat bukti yang ditemukan baru satu, yakni alat bukti petunjuk terjadinya kartel. Petunjuk itu, misalnya, adanya temuan bahwa produsen minyak goreng secara periodik melakukan rapat yang difasilitasi asosiasi.
"Tapi itu baru indikasi, itu perlu dibuktikan. Artinya, ada pertemuan tapi belum tentu terkait mengatur harga atau pasokan," ujar Ukay. Dari keterangan peretail, KPPU mendapat informasi bahwa volume pasokan minyak goreng yang disalurkan produsen kerap tidak sesuai dengan permintaan atau jauh di bawah pesanan. Jadi, ada indikasi menahan pasokan. Sinyal lainnya adalah pergerakan harga yang terjadi berbarengan di setiap momennya.
Menurut Ukay, praktik penetapan harga bersama-sama sangat mungkin dilakukan pada struktur pasar minyak goreng yang berbentuk oligopoli. Ia mensinyalir praktik itu dilakukan oleh delapan kelompok usaha yang menguasai sekitar 70 persen pasar minyak goreng. Menurut dia, struktur pasar ini membuat posisi tawar antara produsen dan konsumen tidak seimbang.
"Mereka punya kekuatan pasar yang kuat. Tinggal masalah niat saja. Kesempatan sudah terbuka untuk menyalahgunakan porsi dominannya," tutur dia. KPPU menjanjikan nama-nama perusahaan itu akan dibuka apabila mereka telah mengantongi satu alat bukti lainnya dari tahap penyelidikan.
Masalah minyak goreng menjadi persoalan yang berkali-kali dibahas oleh Komisi VI DPR. Namun, hingga kini, masalah itu masih belum mendapat solusi yang efektif. Indikasi kartel hingga mafia pun muncul sebagai dugaan penyebab persoalan itu. Istilah mafia sebelumnya disebut oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam rapat dengan DPR pada 17 Maret lalu, meski hingga kini tak kunjung diumumkan pelakunya.
Di lapangan, kelangkaan minyak goreng terjadi pada jenis curah dan mendorong harganya melebihi HET Rp 14 ribu per liter. Padahal subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit telah digelontorkan untuk produk tersebut. Di sisi lain, harga minyak goreng kemasan terus melambung hingga kisaran Rp 25 ribu per liter lantaran tak lagi dipagari HET.
Kepada Tempo, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mempertanyakan pernyataan KPPU yang menjadikan pertemuan produsen minyak goreng bersama asosiasi sebagai alat bukti praktik kartel. "Asosiasi memang tempat anggota berkumpul membahas regulasi yang dijalankan pemerintah bila menyulitkan perusahaan," ujar dia. Ia mengatakan selama ini asosiasi pun selalu hadir dalam panggilan yang dilayangkan KPPU dan menjawab setiap pertanyaan dari lembaga pengawas persaingan itu. "Enggak pernah ada statement KPPU melarang pertemuan anggota di asosiasi."
Ia pun mengklaim bahwa hubungan perusahaan-perusahaan anggota asosiasi bak kucing dan anjing. Akibatnya, mereka tak pernah membuka informasi penguasaan pasar, bahkan harga. Untuk itu, ia pun mempertanyakan definisi kartel yang dimaksudkan KPPU. "Apakah ada definisi kartel yang kami tidak ketahui dan hanya KPPU yang tahu? Seharusnya mereka memberi penyuluhan apa yang menjadi pantangan dunia usaha," ujar dia. Dalam beberapa kali kesempatan, GIMNI menyebut persoalan minyak goreng terjadi pada tingkatan distribusi alias hilir.
Menanggapi sengkarut minyak goreng itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, meminta pemerintah membuka seterang-terangnya masalah minyak goreng ini lantaran telah merugikan masyarakat. Pasalnya, kalau itu tidak dilakukan, ia melihat ada pelanggaran hak atas pangan masyarakat. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Pangan, pemerintah diwajibkan menjaga ketersediaan dan stabilitas pangan agar masyarakat bisa mengakses pangan dengan layak. "Itu mandat konstitusi," ujar dia.
Untuk bisa menyelesaikan persoalan ini hingga tuntas, Said juga menyarankan agar KPPU tidak hanya bergerak sendiri, melainkan menggandeng Satuan Tugas Pangan Kepolisian guna menindak para pelaku. "Menurut saya, penindakan harus bersama-sama dengan Satgas Pangan. Ini menjadi ujian juga bagi semua pihak untuk mengungkap perkara ini."
CAESAR AKBAR
Baca Juga:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo