Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pemerintah mulai menyesuaikan kembali kebijakan alokasi dan pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang mulai mereda. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, mulai tahun depan, tak ada lagi pos belanja kesehatan khusus pandemi karena pos itu telah digabung dengan kebutuhan kesehatan dasar lainnya di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2023, anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp 169,8 triliun atau 5,6 persen dari total belanja negara. Besarannya menurun drastis jika dibandingkan dengan anggaran kesehatan pada tahun ini yang sebesar Rp 255,4 triliun ataupun tahun lalu yang mencapai Rp 312,4 triliun. “Fokus belanja kesehatan pada 2023 ditujukan untuk memperbaiki pelayanan dan reformasi sistem kesehatan, mempercepat penurunan prevalensi stunting, serta menjaga kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional,” kata Sri Mulyani, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, mengamini bahwa tahun depan tak ada lagi alokasi anggaran khusus untuk penanganan Covid-19. “Termasuk untuk pembayaran klaim perawatan Covid-19, tidak ada anggaran khusus,” ujarnya. Meski demikian, jika dibutuhkan, anggaran dapat diambilkan dari jatah belanja reguler Kementerian Kesehatan yang sudah mencakup seluruhnya. Terlebih, menurut Isa, kebutuhan anggaran Covid-19 tercatat terus menurun. Realisasi pembayaran klaim pasien Covid-19 sejak awal tahun ini hingga 5 Agustus lalu baru Rp 20,9 triliun.
“Sekarang pendekatan yang digunakan berbeda. Kalau sakit, langsung dikirimi obat. Jadi, tidak harus ke rumah sakit, sehingga tahun depan ada kemungkinan anggaran ini sudah turun sekali,” ucap Isa. Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pun sudah dipastikan bakal ditiadakan tahun depan. Walhasil, anggaran lain, seperti perlindungan sosial dan insentif usaha, akan masuk ke anggaran reguler kementerian teknis terkait.
Petugas medis berbicara dengan pasien di ruang isolasi Covid-19 di Bandung, Jawa Barat, 21 Februari 2022. TEMPO/Prima Mulia
Menyetop Kerja Sama Burden Sharing
Tak hanya itu, pada 2023, pemerintah juga menghentikan kerja sama skema berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yakni skema burden sharing untuk penanganan krisis akibat pandemi, dengan skema BI sebagai pembeli siaga surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah di pasar primer, berakhir pada tahun ini.
“Bank Indonesia tetap mau membantu jika dibutuhkan, tapi melalui mekanisme-mekanisme yang ada di pasar. Jadi, kami tidak mencoba melakukan sesuatu di luar ketentuan,” kata Isa. Adapun hingga saat ini, total dukungan pembiayaan APBN oleh bank sentral melalui skema burden sharing telah mencapai sekitar Rp 900 triliun. Rinciannya, pada 2020, Bank Indonesia membeli SBN untuk mendanai APBN sebesar Rp 473,42 triliun; pada 2021 sebesar Rp 358,32 triliun; dan tahun ini Rp 56,11 triliun.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, mengatakan skema burden sharing memang sudah saatnya dihentikan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional yang tengah berjalan. “Aspek pemberhentian burden sharing ini juga sebagai komitmen bersama untuk menjaga kredibilitas pasar ke depan,” kata Eko. Setelah tak lagi bisa bergantung pada bank sentral, pemerintah diharapkan dapat menarik investor domestik ataupun asing untuk berpartisipasi menyerap SBN. “Selain itu, kami berharap imbal hasilnya bisa ditekan menjadi lebih efisien untuk pembangunan.”
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo