Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOGOR — Masyarakat diimbau agar mengingat dua aspek penting sebelum memutuskan berinvestasi supaya tak menjadi korban investasi bodong. Dua aspek tersebut, yang disebut 2L, ialah legal dan logis. “Hal ini penting untuk diingat saat kita menerima tawaran investasi dengan iming-iming (imbal hasil) tinggi,” kata Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan sekaligus Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI), Tongam L. Tobing, saat menjadi pembicara di Institut Pertanian Bogor (IPB), kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa hal yang perlu ditanyakan masyarakat kepada pihak yang menawarkan produk investasi, kata Tongam, adalah isi (investasi)-nya, izin badan hukumnya, izin produknya, dan izin kegiatannya. “Kalau itu semua tidak ada, jangan ikut.” Hal berikutnya adalah kelogisan atau rasionalitas imbal hasil. “Apakah logis, kita yang berutang, dia (perusahaan investasi) yang bayar, misalnya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan Tongam ke IPB ini dilakukan untuk mensosialisasi modus investasi bodong kepada para mahasiswa. Seperti diketahui, pekan lalu, kasus investasi bodong yang menimpa 116 mahasiswa IPB mencuat setelah dilaporkan ke polisi.
Para mahasiswa tersebut terjebak dalam modus penipuan berkedok toko daring dengan pembiayaan pembelian barang yang ternyata barangnya fiktif. Mereka tertarik pada tawaran keuntungan investasi sebesar 10-15 persen dari setiap transaksi.
Tongam menilai kasus investasi bodong di IPB ini merupakan kasus yang unik kendati modusnya tidak baru. Keunikannya, kata dia, karena pelaku dan korban bekerja sama serta memiliki tujuan masing-masing. “Bisa disebut kerja sama, karena untuk melancarkan kegiatan pelaku, mereka sepakat dalam perdagangan bahwa walaupun barang tidak dikirim, dikatakan dikirim.”
Menurut dia, terdapat dua faktor yang menyebabkan mahasiswa IPB termakan modus tersebut. Pertama, karena pelaku menjanjikan dalam setiap transaksi korban akan mendapatkan komisi besar. Kemudian saat meminjam uang di aplikasi pinjaman online (pinjol), pelaku berjanji membayarkan utang korban.
“Sangat menggiurkan tentunya. Padahal toko online dapat fee perdagangan di marketplace belum tentu 10 persen. Kemudian, korban disuruh meminjam, pelaku yang bayar. Jadi, korban kehilangan rasionalitas di situ,” katanya.
Berdasarkan penuturan sejumlah korban, pelaku bisa mempengaruhi banyak mahasiswa di kampus pertanian itu karena memiliki kenalan dengan salah satu korban yang merupakan mahasiswa senior. Para korban yang berasal dari berbagai tingkatan semester dikumpulkan dalam satu grup untuk komunikasi.
Korban yang tidak memiliki uang untuk investasi diarahkan berutang ke aplikasi pinjaman online. Adapun nominal pinjaman korban sebesar Rp 2-20 juta per orang. Dengan ini, total kerugian korban para mahasiswa ditaksir mencapai Rp 1,6 miliar.
Ilustrasi tentang pinjaman online, 4 Agustus 2021. Tempo/Nurdiansah
Literasi Keuangan Harus Masuk Kampus
Wakil Rektor IPB Bidang Sumber Daya, Perencanaan, dan Keuangan, Agus Purwito, menyatakan prihatin atas adanya kasus ini di wilayah kampusnya. “Kami di IPB akan terus introspeksi apa yang menyebabkan hal ini terjadi,” katanya. Pihak kampus pun akan menggencarkan sosialisasi ihwal investasi dan pinjol ilegal agar kasus serupa tidak terulang.
“Sosialisasi semacam ini tentu tidak berhenti setelah ada kejadian. Kami akan melakukan sosialisasi ini sepanjang tahun kepada para mahasiswa baru supaya literasi keuangan kami menjadi lebih baik dan bisa berpikir panjang,” kata Agus.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan masyarakat harus lebih teliti saat menerima tawaran investasi. Cara agar terhindar dari modus penipuan berkedok investasi ataupun pinjol adalah melakukan cek izin legalitas dari investasi, membaca syarat dan ketentuan, serta perlu memahami bahwa bunga pinjol dan dendanya tinggi meskipun syarat pengajuannya mudah.
“Kemudian jangan mudah tertipu oleh iming-iming pengembalian dana dalam waktu singkat. Pelajari dulu model bisnis sebelum berinvestasi. Bandingkan dengan produk lain yang sudah ada, misalnya deposito, reksa dana, dan saham,” kata Bhima.
Bhima menilai penipuan terjadi karena literasi keuangan masyarakat yang rendah dan kurangnya pemahaman perihal produk investasi serta pinjaman. Dengan begitu, ketika ada pihak yang menawarkan investasi ataupun pinjaman uang, masyarakat tak mempelajari syarat dan ketentuan yang berlaku.
Kemudian iming-iming menggoda dari imbal hasil investasi tidak berbanding lurus dengan risiko dan legalitas karena faktor kedekatan atau penawaran dilakukan oleh orang yang dipercaya. “Ada juga faktor kepercayaan terhadap tokoh atau sosok yang dianggap memiliki pengetahuan soal keuangan. Akhirnya tidak melakukan double check.”
Ia menyarankan pemerintah bekerja sama dengan perguruan tinggi dengan mewajibkan kurikulum edukasi keuangan setidaknya dua satuan kredit semester. Platform investasi legal pun, kata dia, perlu melakukan edukasi mengenai literasi keuangan dasar, seperti cara membaca analisis fundamental suatu laporan keuangan perusahaan. “Persepsi bahwa urusan literasi keuangan hanya urusan jurusan ekonomi bisnis harus diubah. Literasi keuangan wajib bagi seluruh civitas academica,” kata Bhima.
ANNISA NURUL AMARA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo