Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Persekongkolan yang Makin Menyulitkan Kita

Negara anggota OPEC sepakat memangkas produksi untuk mendongkrak harga minyak. Sinyal inflasi akan makin tinggi.

9 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • OPEC memangkas produksi minyak hingga 2 juta barel per hari.

  • Kenaikan harga minyak menambah beban fiskal negara.

  • Kenaikan harga beras bakal menambah tinggi inflasi.

SEBUAH persekongkolan membuat harga minyak kembali terbang. Seharusnya ekonomi dunia yang mulai lesu akan menyeret turun harga minyak. Itulah harapan negara konsumen minyak. Tapi harapan itu luruh pekan lalu.

Dalam pertemuan di Wina, Austria, anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) plus 10 negara produsen lain bermufakat memangkas produksi 2 juta barel per hari untuk mendongkrak harga. Harga minyak Brent, patokan utama pasar internasional, per 22 September 2022 masih berkisar US$ 82 per barel. Akhir pekan lalu, seusai pertemuan Wina, harga minyak Brent naik menjadi US$ 95 per barel.

Tingginya harga minyak akan menambah beban banyak negara yang tengah bergelut melawan inflasi. Termasuk Indonesia, yang saban hari mengimpor sekitar 1 juta barel minyak dan produk turunannya. Devisa yang keluar untuk membayar impor itu tentu melonjak mengikuti kenaikan harga.

Problem ini terasa lebih berat karena kelesuan ekonomi global akan membuat harga-harga komoditas ekspor turun. Penerimaan devisa dari ekspor akan berkurang. Akibatnya, persekongkolan OPEC Plus itu akan membuat kurs rupiah kian tertekan.

Tak hanya berdampak buruk pada sisi moneter dan neraca ekspor-impor kita, harga minyak yang bertahan tinggi juga menambah beban bagi pemerintah di sisi fiskal. Pengeluaran subsidi energi, termasuk untuk kompensasi bahan bakar minyak, akan menggelembung pula.

Sebetulnya ada solusi untuk persoalan fiskal ini: pemerintah menaikkan lagi harga BBM. Namun, melihat angka-angka inflasi, pemerintah tak akan berani mengambil kebijakan tak populer itu. Per akhir September 2022, tingkat inflasi tahunan sudah mencapai 5,95 persen. Hingga akhir tahun, angka tersebut masih akan merambat naik setelah beberapa daerah mengizinkan kenaikan tarif transportasi pekan-pekan ini.

Ada pula tambahan inflasi dari kenaikan harga beras. Sebetulnya harga beras sudah sempat melandai pada September, setelah merambat naik sejak Juni. Namun dalam sepekan terakhir tren harga beras berbalik naik. Pedagang mengantisipasi menipisnya stok pemerintah dan kemungkinan penurunan produksi karena gangguan cuaca. Selain itu, berbagai biaya produksi beras, dari upah buruh tani sampai ongkos kuli panggul, sudah naik. Harga beras di tingkat konsumen akan mengikuti saja kenaikan itu.

Tingginya inflasi adalah risiko politik bagi Presiden Joko Widodo. Kenaikan harga, terutama harga bahan pokok dan BBM, mudah memicu protes. Sekadar gambaran, menurut hasil survei Indikator Politik selama September lalu, popularitas Jokowi langsung anjlok 10 persen karena ia menaikkan harga BBM.

Maka kecil kemungkinan pemerintah menaikkan harga BBM. Sementara itu, pasar obligasi masih bergejolak. Pemerintah sulit mencari uang lewat penjualan obligasi, kecuali berani menjanjikan kupon tinggi. Tinggal ada satu opsi kebijakan bagi pemerintah jika tak ingin kredibilitas anggarannya runtuh: berhemat dan menyesuaikan prioritas belanja.

Masalahnya, beban fiskal justru akan makin berat tahun depan ketika ekonomi global benar-benar terbelit resesi. Penerimaan perpajakan ataupun bagi hasil yang menjadi hak pemerintah dari ekspor komoditas berpotensi merosot tajam. Tak ada lagi rezeki penerimaan ekstra senilai ratusan triliun rupiah sebagaimana pemerintah nikmati pada tahun ini.

Persoalan kian berat karena tingginya inflasi akan mendorong Bank Indonesia menaikkan bunga lagi. BI baru saja menaikkan bunga rujukannya menjadi 4,25 persen pada September lalu. Pasar memprediksi bunga BI bisa naik menjadi sedikitnya 5 persen pada akhir tahun.

Itulah ramuan persoalan yang dapat mengerem laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kurs rupiah cenderung melemah, harga minyak naik, tingkat inflasi naik, bunga meninggi, plus pemerintah akan menghadapi masalah fiskal yang serius. Satu perkara penting lagi: tahun depan Indonesia memasuki tahun politik. Pencalonan presiden oleh partai-partai politik pun tiba tenggatnya. Panggung politik bakal ingar-bingar oleh politikus yang sibuk sikut-sikutan. Ini jelas bukan lingkungan kondusif untuk melahirkan kebijakan rasional demi kemaslahatan ekonomi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus