Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 bakal disusun secara berbeda dari penyusunan anggaran dalam dua tahun belakangan. Musababnya, tahun depan, acuan perancangan APBN kembali ke Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan berubahnya desain APBN tersebut, Direktur Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Rofyanto, menuturkan pemerintah harus memperbaiki efektivitas dan efisiensi belanja sembari tetap mengoptimalkan pendapatan. "APBN harus makin efisien. Belanja operasional, seperti perjalanan dinas, rapat, dan paket meeting, harus lebih efisien," ujar dia dalam diskusi virtual, Senin lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah juga berniat mengefisienkan anggaran subsidi yang digelontorkan. Beberapa subsidi yang dianggap belum efisien adalah subsidi bahan bakar minyak dan listrik. Rofyanto mengatakan harga BBM dan listrik nantinya secara bertahap dikembalikan ke harga keekonomian. Sementara itu, subsidi hanya akan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Seperti diketahui, dalam tiga tahun belakangan, pemerintah merancang anggaran negara dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022. Aturan itu mengatur soal kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 sebagai respons guna menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan.
Salah satu hal yang paling kentara dalam perancangan APBN tahun depan adalah defisit yang mesti dibatasi kembali maksimal 3 persen. Hal itu berbeda dengan saat perancangan anggaran mengadopsi UU Nomor 2 Tahun 2020, ketika defisit anggaran negara boleh lebih dari 3 persen. Meski batas defisit kembali menyempit, Rofyanto memastikan pemerintah akan mempertahankan desain APBN agar tetap lincah dan responsif dalam menghadapi ketidakpastian.
Pasalnya, tahun depan, selain dihadang pandemi yang belum usai, dunia masih menghadapi gejolak perekonomian dari fluktuasi harga komoditas dan resesi di berbagai negara. Belum lagi potensi perlambatan ekonomi di Cina yang berimplikasi pada disrupsi pasokan global. Fluktuasi harga komoditas pun belakangan menjadi berkah sekaligus tantangan dalam penyusunan anggaran pemerintah. "Kenaikan harga akan memberikan konsekuensi subsidi dan naiknya harga-harga," kata Rofyanto.
Klausul Khusus di RAPBN 2023
Karena itu, pemerintah pun memasukkan beberapa klausul khusus ke RUU APBN 2023. Misalnya, soal fleksibilitas pelaksanaan APBN. Ketentuan itu membolehkan Kementerian Keuangan langsung mengambil kebijakan antisipatif apabila timbul tantangan ekonomi, seperti munculnya varian baru Covid-19 yang membuat angka penularan kembali naik.
"Termasuk ketika realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan target, adanya perkiraan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN 2023, kinerja anggaran telah tercapai, dan untuk menjaga keberlangsungan fiskal," ujar Rofyanto.
Pemerintah juga memasukkan klausul untuk bisa mengambil langkah antisipasi dalam keadaan darurat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Keadaan darurat yang dimaksud adalah memburuknya kondisi perekonomian makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi serta peran APBN tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien. Misalnya, adanya deviasi asumsi dasar ekonomi makro secara signifikan, proyeksi penurunan pendapatan negara signifikan, kenaikan biaya utang, serta belum berakhirnya pandemi Covid-19 yang bisa mengancam perekonomian dan sistem keuangan.
Persetujuan DPR dalam klausul tersebut harus diputuskan dalam waktu 2 x 24 jam sejak usulan kebijakan antisipasi itu diusulkan pemerintah. "Jika dalam 2 x 24 jam belum ada keputusan, berarti pemerintah sudah bisa jalan dengan usulan yang disampaikan ke DPR. Namun, tentunya kami berkomunikasi sehingga diharapkan pemerintah tidak berjalan sendiri," kata Rofyanto.
Warga menunjukkan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera di Kampung Melayu, Jakarta. ANTARA/Yudhi Mahatma
Potensi Pendapatan dari Windfall Komoditas
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan upaya normalisasi belanja negara seiring dengan konsolidasi fiskal di 2023 sudah terlihat sejak tahun ini. Namun ia mewanti-wanti adanya dampak apabila pemerintah berniat mengurangi belanja yang berkaitan dengan daya beli masyarakat.
Dengan kondisi itu, dorongan ataupun keinginan masyarakat terutama kelas menengah untuk bisa melakukan tambahan konsumsi juga menjadi relatif lebih terbatas. Pada akhirnya, konsumsi, terutama untuk kelompok kelas menengah, diprediksi menjadi terbatas. "Pada saat yang sama, saya melihat serapan tenaga kerja dan data tingkat pengangguran, meskipun turun, belum kembali ke level pra-pandemi. Jadi, bisa disimpulkan bahwa serapan tenaga kerja masih memiliki ruang untuk ditingkatkan," tutur Yusuf.
Kendati demikian, Yusuf mengatakan peluang pemerintah untuk mengembalikan defisit anggaran ke bawah 3 persen sangat mungkin terjadi. Musababnya, penerimaan negara diperkirakan masih mungkin mendapat efek durian runtuh dari kenaikan harga komoditas, meski peluangnya lebih kecil daripada tahun ini.
"Hal ini didasarkan pada asumsi kondisi resesi yang terjadi, terutama di negara-negara maju, yang akan menyebabkan permintaan terhadap barang komoditas itu relatif menjadi lebih rendah. Dengan demikian, harga komoditas akan relatif lebih rendah dan periode windfall yang dinikmati pada tahun ini dan tahun lalu kecil kemungkinannya untuk terjadi," ujar dia.
Namun ia menegaskan bahwa harga komoditas sangat bergejolak dan sensitif terhadap isu dari perkembangan ekonomi global. "Sehingga, ketika misalnya ternyata ada isu lain, seperti konflik geopolitik yang terjadi pada tahun depan, saya kira secara bersamaan juga harga komoditas akan meningkat."
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan pengendalian anggaran dengan mengembalikan defisit ke bawah 3 persen tidak mudah dicapai di tengah situasi pemulihan yang dibayangi krisis global dan tekanan harga kebutuhan pokok. Pemerintah, menurut dia, tetap harus memastikan jaring pengaman sosial berjalan dalam skala yang masif untuk melindungi kelompok miskin dan rentan miskin.
"Serta harus mendorong pembangunan sektor-sektor prioritas, seperti pertanian, UMKM, dan infrastruktur. Reformasi birokrasi dan efisiensi anggaran secara signifikan selayaknya dipersiapkan sejak dini dan serius oleh pemerintah," ucapnya.
Di sisi lain, ia juga mengingatkan bahwa efek durian runtuh dari harga komoditas global adalah pisau bermata dua. Di satu sisi sebagai eksportir utama komoditas, seperti batu bara dan sawit, Indonesia diuntungkan. Namun, pada saat yang sama, Indonesia juga adalah importir untuk komoditas penting lainnya, seperti BBM dan pangan, terutama gandum serta kedelai.
"RAPBN sebaiknya tidak menggantungkan diri pada windfall komoditas. Sebab, kenaikan surplus dari penerimaan batu bara dan sawit akan selalu diikuti kenaikan beban subsidi energi serta pangan," tutur dia.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo