Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SISKA adalah perempuan muda yang bercita-cita menjadi koki ternama. Untuk memulai kariernya, ia mengawali perjalanan dengan membuka warung makan sederhana dengan pilihan menu terbatas. Karena masakannya enak, jumlah pelanggannya terus bertambah. Warungnya juga terus berkembang dan bisa menyajikan berbagai menu kuliner khas Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu adalah cerita utama game telepon seluler Kuliner Selera Nusantara, yang tersedia baik di Google Play Store Android maupun App Store iOS. Game ini merupakan besutan Gambir Studio, sebuah studio pengembang game independen asal Jakarta. Sejak dirilis pada Agustus 2021, angka unduhan game tersebut sudah lumayan. Di Play Store, misalnya, sudah mencapai 5 juta kali unduhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam permainan itu, pengguna harus membantu Siska menyelesaikan tantangan di setiap level, yang diwakili dengan jumlah menu makanan yang terus bertambah. Menunya pun khas Indonesia, dari pecel lele, seblak, mi instan, soto, hingga sate. “Kami memang ingin mengangkat kekhasan lokal pada game-game kami,” kata CEO Gambir Studio, Shafiq Husein, di kantor Google Singapura, 13 Desember 2022.
Gambir Studio, bersama dua studio lainnya asal Indonesia, Eternal Dream Studio, asal Lampung; dan Rigged Box Softworks, asal Jawa Tengah; baru saja lulus dari program Indie Games Accelerators 2022 yang diadakan Google. Mereka bersama puluhan pengembang game independen dari seluruh dunia mendapat pelatihan pengembangan game dan bisnis secara intensif selama 10 minggu.
Kekhasan konten lokal itulah yang menjadi “jualan” Gambir Studio untuk bersaing dengan ribuan pengembang game lain di Google Play Store. Pilihan menangkap tren dan kekhasan budaya lokal ini, kata Shafiq, cukup efektif dalam menjaring pemain game, terutama dari dalam negeri. “Kejelian menangkap tren dan selera pasar ini yang menurut saya jadi kekuatan pengembang game lokal supaya bisa bersaing dengan pengembang game dari luar negeri.”
Kini, Gambir Studio tengah mencoba peruntungan dengan mengembangkan game untuk platform konsol dan komputer pribadi melalui permainan berjudul Knight VS Giant. Pada game ini, kata Shafiq, studionya berusaha meraup pasar yang lebih luas, bukan hanya pemain game dari dalam negeri. Toh, game yang rencananya dirilis di platform Steam pada tahun depan ini juga tetap memasukkan unsur lokal. “Di game-nya kami memakai karakter-karakter legenda, seperti Buto Ijo, dan ornamen-ornamen dari kisah pewayangan,” ujar Shafiq.
CEO Gambir Studio, Shafiq Husein, memperlihatkan game Kuliner Selera Nusantara di kantor Google Singapura. TEMPO/Praga Utama
Strategi Bersaing Pengembang Game Independen
Global Head of Accelerator and Experts Teams Google, Sami Kizilbash, menilai kejelian menangkap tren dan kekhasan lokal untuk diangkat dalam game adalah salah satu kekuatan para pengembang game independen. “Dengan cara ini, mereka bisa menangkap peluang dari pasar yang niche (spesifik), yang mungkin tidak akan terjangkau oleh perusahaan pengembang studio besar,” ujar Sami. “Hal inilah yang membuat Google menaruh perhatian khusus kepada para pengembang game independen.”
Menurut Sami, lanskap industri game belakangan memang berubah, terutama sejak kehadiran pandemi. Hal yang paling terasa adalah munculnya segmen pemain game baru: casual gamers atau mereka yang memang bermain game di kala senggang. Segmen ini kini tumbuh masif di berbagai negara, yang diikuti dengan pertumbuhan segmen lain yang lebih spesifik: pemain game dari kalangan perempuan, bahkan para orang lansia.
Berdasarkan kajian Google, pasar game diprediksi berkembang pesat. Hingga 2027 nanti, pertumbuhan nilai industri ini secara global diprediksi mencapai US$ 340 miliar, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun. “Populasi gamers terbesar, yakni 60 persen itu, berada di Asia-Pasifik,” kata Sami. Dengan pasar dan potensi yang begitu besar, pengembang game independen juga punya peluang besar dalam menangkap segmen pasar tertentu.
Sementara Gambir Studio dengan game kulinernya menyasar segmen pemain game dari segala usia, beda lagi cerita Eternal Dream. Mereka membesut game ponsel The Sun Shines Over Us untuk pemain game remaja. Di Google Play Store, jumlah unduhan game ini juga sudah lumayan, lebih dari 100 ribu kali, sejak dirilis pada Oktober 2021. CEO Eternal Dream, Lucky Putra, menjelaskan bahwa karakteristik game-game yang dikembangkan studionya adalah cerita atau narasi yang relate dengan keseharian para pemain game, sesuai dengan segmen yang mereka sasar.
Pada The Sun Shines Over Us, misalnya, Lucky dkk menghadirkan game simulasi yang ceritanya berpusat pada karakter bernama Mentari. Ia adalah remaja perempuan korban perundungan di sekolahnya. Dalam game ini, pemain diajak mengikuti keseharian Mentari dan dihadapkan pada berbagai skenario. “Kami memasukkan unsur edukasi mengenai perundungan, kesehatan mental, dan psikologi. Alur cerita permainan ini kami rancang bersama psikolog dan ahli kesehatan mental,” ujar Lucky.
Lewat game ini, kata Lucky, ia ingin menyampaikan pesan-pesan mengenai pentingnya kesehatan mental di kalangan remaja. “Awalnya kami ingin membuat game dengan cerita percintaan remaja. Tapi kami tak yakin dengan cerita itu bisa bersaing, terutama dengan pengembang asal Jepang yang tentu eksekusinya lebih bagus,” ia bercerita. Ia dan kawan-kawannya pun mencari isu yang belakangan banyak menjadi perhatian kalangan remaja di Indonesia. “Masalah mental health ini kan sejak pandemi jadi omongan banyak orang. Makanya kami juga menggandeng ahli supaya tidak asal dalam menyusun ceritanya.”
Konferensi pers Google Indie Games Accelerators di kantor Google Singapura, Selasa, 13 Desember 2022. TEMPO/Praga Utama
Menangkap Peluang, Menggencarkan Pendapatan
Selama mengikuti pelatihan Indie Games Accelerators 2022 , baik Shafiq maupun Lucky mengaku mendapat banyak ilmu baru. Tak hanya soal bagaimana mengembangkan game dari sisi teknologi, tapi juga bagaimana “menjual” game dan mengembangkan usaha agar studio mereka bisa memiliki bisnis yang berkelanjutan.
“Satu hal yang kami sadari setelah mengikuti pelatihan bersama Google ialah bagaimana kami kini benar-benar melihat dan memanfaatkan data untuk menentukan strategi marketing dan penjualan kami,” kata Shafiq. Sependapat, Lucky menuturkan pelatihan ini membuat ia dan timnya menjadi lebih memperhatikan cara-cara agar permainan yang mereka rancang bisa mendapatkan penggemar yang loyal serta terus memainkan game.
“Kami juga mendapatkan ilmu tentang cara-cara mencari pendanaan dari investor atau perusahaan publisher game dan bagaimana bernegosisasi dengan mereka,” ujar Lucky. Terbukti, gara-gara mengikuti Indie Games Accelerators 2022, Lucky mendapat kesempatan bertemu dengan perusahaan penerbit game yang tertarik pada game garapan Eternal Dream. “Setelah ini, saya ada negosiasi dengan salah satu publisher asal Singapura.”
Dalam acara Indie Games Accelerators, Google tak hanya menyediakan pelatihan. Sejak 2020, kegiatan ini juga dilengkapi dengan alumni demo day. Di sana, para peserta pelatihan bisa memamerkan game karya mereka kepada para penerbit dan investor. Sesi khusus ini, sejak diadakan, berhasil menghimpun pendanaan hingga US$ 65 juta.
Sami Kizilbash mengatakan investasi di industri game memang masih moncer, terutama jika dibandingkan dengan sektor teknologi lain yang melesu pada tahun ini. Sami mengatakan investor masih tertarik pada sektor game karena para pelaku industri ini sudah lama punya model bisnis yang solid. “Industri game punya dua pilar penopang yang kokoh, model bisnis yang solid dan karakteristik konsumennya.”
Dalam model bisnis, kata Sami, pengembang game bisa mendapatkan pemasukan dari berbagai saluran: penjualan produk tambahan dalam aplikasi (in-app purchase), model bisnis berlangganan, atau pemasukan dari penempatan iklan dalam game. “Perusahaan pengembang game punya banyak cara untuk memonetisasi produk mereka.” Model bisnis itu didukung oleh karakteristik para gamers yang rela membayar dan berlangganan untuk permainan yang mereka sukai.
Peluang dari pemanfaatan model bisnis itu diakui Shafiq. Menurut dia, sejak Gambir Studio didirikan pada 2016, perusahaan selalu mencari peluang mendapatkan pemasukan. Salah satunya melalui kerja sama penempatan iklan dengan brand-brand besar. Kebetulan, sebelum meluncurkan Kuliner Selera Nusantara, Gambir Studio punya game bertema kuliner lainnya: Bubur Ayam Express.
Nah, kata Shafiq, waktu itu ia iseng menghubungi sebuah perusahaan produsen bumbu masakan untuk beriklan di game Bubur Ayam Express. Gayung bersambut, perusahaan tersebut tertarik karena merasa mendapat peluang baru dengan berpromosi melalui game. Cara ini kembali digunakan Shafiq saat hendak meluncurkan Kuliner Selera Nusantara. “Makanya, dulu kami bisa mendapatkan revenue dari kontrak iklan bahkan sebelum game kami diluncurkan,” ujar Shafiq.
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo