Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Wacana PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mengakuisisi PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk kembali muncul setelah sempat pupus sekitar 17 tahun lalu. Isu ini kembali terbit setelah disampaikan Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada Kamis, 25 Agustus lalu.
Ma'ruf mengatakan BNI akan diarahkan untuk mengambil BTN. Langkah tersebut dilakukan untuk mengkonsolidasikan bank-bank milik negara. "Tapi sekarang itu masih dalam tahap wacana," tutur Ma'ruf kala itu.
BTN beberapa kali dikabarkan akan diakuisisi bank pelat merah lainnya, seperti BNI dan Bank Mandiri. Tapi wacana tersebut tak kunjung terlaksana. Sebelumnya, kabar akuisisi BTN oleh BNI santer terdengar pada 2005. Kala itu, wacana akuisisi diungkapkan Direktur Utama BNI, Sigit Pramono. BNI berencana mencaplok BTN lantaran ingin masuk ke bisnis perumahan. Bukan hanya BNI, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk waktu itu juga dikabarkan ingin membeli BTN.
Selepas ingar-bingar pada 2005, isu akuisisi BTN muncul kembali pada 2014. Giliran Bank Mandiri yang berencana melaksanakan aksi korporasi itu. Ide akuisisi BTN oleh BNI ataupun bank pemerintah lainnya berujung penolakan dari serikat pekerja perseroan ataupun para pengembang properti. Alasannya, aksi itu dikhawatirkan mengganggu program pembangunan perumahan nasional. Musababnya, model bisnis bank-bank itu berbeda. BTN sudah dikenal mapan dalam penyaluran kredit pemilikan rumah.
Pelayanan di Bank BTN, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Pro-Kontra Wacana BNI Akuisisi BTN
Kali ini, wacana tersebut kembali menuai pro-kontra di kalangan pemerhati perbankan. Direktur Riset Center of Reform on Economics, Piter Abdullah Redjalam, mempertanyakan maksud pemerintah mengungkit kembali isu yang sudah lama tenggelam ini. Menurut dia, BTN, yang memiliki tugas khusus di bidang perumahan, semestinya dikembangkan alih-alih dikerdilkan. "Di sisi lain, BNI kan bisa lebih besar tanpa harus mengakuisisi BTN," ujar dia.
Piter mengatakan sektor perumahan yang sangat dibutuhkan masyarakat perlu didukung oleh satu lembaga khusus yang berfokus pada bidang tersebut. Saat ini, kata dia, pemerintah hanya memiliki BTN yang kinerjanya dianggap cukup baik untuk mendukung program sejuta rumah. "Seharusnya pemerintah justru berupaya memperkuat BTN, bukan menghilangkannya."
Pemerhati perbankan yang juga bekas Asistant Vice President BNI, Paul Sutaryono, mengatakan merger bank-bank pelat merah merupakan wacana lama yang kerap menemui jalan buntu. Daripada membangkitkan kembali rencana tersebut, ia mengatakan gagasan untuk menetapkan bisnis utama masing-masing bank milik pemerintah lebih tepat untuk dilaksanakan.
Pemisahan bisnis itu, kata Paul, misalnya Bank Mandiri menangani sektor korporasi, BRI di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), BNI di perdagangan luar negeri, serta BTN untuk sektor perumahan. "Pemisahan sektor itu lebih membumi daripada berulang kali mewacanakan merger bank pelat merah," ujarnya.
Berbeda pandangan dengan Paul, peneliti BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, melihat wacana merger BNI dengan BTN bisa dilihat dari kacamata daya saing perbankan. Pasalnya, ia mengatakan bank-bank milik pemerintah akan menghadapi tantangan implementasi Qualified ASEAN Bank.
Menurut Toto, apabila Indonesia sudah meratifikasi dan sepakat dengan perjanjian itu, bank-bank di Indonesia boleh memiliki cabang di negara anggota ASEAN lainnya. Begitu pula sebaliknya, bank-bank dari negara ASEAN lainnya boleh membuka cabang di Indonesia. "Pertanyaannya, apakah bank di Indonesia cukup kompetitif menghadapi mereka?" kata Toto.
Sebagai contoh, Toto menyebutkan indikator net interest margin (NIM) alias selisih antara tingkat suku bunga penyaluran dan peminjaman dari anggota Himbara masih di angka 4-6 persen. Sementara itu, bank asing, seperti DBS, OCBC, dan CIMB, berada di angka 1-2 persen. "Artinya, bank di luar jauh lebih efisien dibanding bank di Indonesia," ujarnya. Dari segi aset pun, ia melihat Bank DBS sebagai salah satu bank terbesar di ASEAN sudah mencapai US$ 320 miliar. "Bank Mandiri dan BNI kalau digabung mungkin baru sekitar US$ 110 miliar."
Suasana di Bank Syariah Indonesia Cabang Hasanuddin, Jakarta, 1 Februari 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Kinerja BNI dan BTN
Bicara soal kinerja, Tempo mencatat Bank BNI membukukan kenaikan laba bersih sebesar 75,1 persen secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp 8,8 triliun pada semester I 2022. Penyaluran kredit perseroan pada periode yang sama tercatat Rp 620,42 triliun atau naik 8,9 persen secara tahunan. Adapun penghimpunan dana pihak ketiga naik 7 persen secara tahunan menjadi Rp 691,84 triliun. DPK tersebut didominasi oleh CASA dengan porsi 69,2 persen dari total dana masyarakat yang dihimpun perseroan.
Sementara itu, Bank BTN belum mempublikasikan kinerja perseroan sepanjang semester I 2022. Pada kuartal I 2022, BTN mencatatkan total aset Rp 367,51 triliun. Aset perseroan turun 1,17 persen dari sebelumnya bernilai Rp 371,86 triliun. Perseroan membukukan laba bersih tahun berjalan sebesar Rp 774,42 miliar pada tiga bulan pertama 2022, naik 23,89 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Kenaikan laba bersih BTN ini ditopang oleh pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) yang tumbuh 28,8 persen menjadi Rp 3,57 triliun. Sementara itu, NIM perseroan meningkat dari 3,31 persen menjadi 4,29 persen.
Ihwal munculnya kembali isu akuisisi BTN oleh perseroan, Sekretaris Perusahaan BNI, Mucharom, menyampaikan perusahaannya sampai saat ini belum mendapat arahan dari pemegang saham untuk menjadikan wacana tersebut sebagai aksi korporasi. Perseroan menyatakan saat ini sedang berfokus mengeksekusi rencana transformasi perusahaan yang telah dicanangkan.
BNI pun menyatakan sedang memprioritaskan optimalisasi perusahaan anak. Caranya dengan mengembangkan beberapa rencana strategis di bank digital, sekuritas, dan multifinance. Perseroan menyatakan akan selalu mendukung rencana pengembangan bisnis oleh pemerintah dengan tetap mempertimbangkan aspek bisnis agar memberikan dampak positif terhadap kinerja keuangan. “Serta dapat memberikan nilai tambah bagi para pemegang saham serta negara,” kata Mucharom.
Tempo mencoba meminta tanggapan BTN soal wacana akuisisi oleh BNI. Namun, hingga berita ini diturunkan, pesan yang dikirimkan Tempo kepada Sekretaris Perusahaan BTN, Achmad Chaerul, tidak direspons.
CAESAR AKBAR | KHORY ALFARIZI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo