Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Saham barang konsumsi menguat tipis pada penutupan perdagangan pekan lalu.
Kenaikan PPN dan harga bahan baku mempengaruhi pendapatan produsen barang konsumsi.
Sebagian produsen memilih menahan kenaikan harga barang konsumsi.
JAKARTA – Laju saham emiten barang konsumsi atau fast moving consumer goods (FMCG) bakal terganjal sejumlah persoalan, dari kenaikan harga bahan baku hingga kenaikan PPN atau pajak pertambahan nilai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senior Vice President Equity Research PT Kanaka Hita Solvera, Janson Nasrial, mengatakan beberapa saham yang bakal terpengaruh oleh harga bahan baku, antara lain, adaah PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), serta PT Mayora Indah Tbk (MYOR). “Bahan baku menjadi pemberat sektor FMCG saat ini," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen sejak Jumat lalu juga berpengaruh, meski tak terlalu besar. Janson mengatakan perusahaan FMCG rata-rata menggunakan komoditas, seperti gandum dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang harganya tengah melejit.
Dia memperkirakan pertumbuhan pendapatan per saham atau earning per share dari beberapa emiten FMCG bakal mengecewakan pada tahun ini. Namun dia melihat beberapa hal yang masih positif, antara lain beberapa emiten dengan yield dividen tinggi dan memiliki permintaan yang inelastic atau tak terpengaruh kenaikan harga. “EPS sepertinya masih tumbuh single digit, rendah. Hanya ICBP yang lebih berprospek karena permintaannya inelastic," ujar dia.
Penjualan kebutuhan pokok di Hypermart, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Direktur Equator Swarna Investama, Hans Kwee, mengatakan imbas kebijakan kenaikan PPN terhadap saham barang konsumsi diprediksi tidak begitu besar. Sebab, kata dia, dampaknya pada kenaikan harga barang seharusnya tidak terlalu tinggi, yaitu 1-2 persen. Pengaruh yang cukup besar, kata Hans, adalah gangguan pasokan. "Dampak inflasi karena gangguan pasokan dan perang Rusia-Ukraina lebih besar," ujar dia.
Namun Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kenaikan PPN mempengaruhi pendapatan emiten FMCG karena menyebabkan daya beli masyarakat turun. “Apalagi kenaikan tarif pajak bersamaan dengan naiknya harga bahan bakar nonsubsidi dan harga bahan pokok, seperti cabai dan minyak goreng,” ujar dia. Bhima juga menyoroti biaya produksi yang sudah naik sejak awal tahun, yang memaksa produsen barang konsumsi melakukan berbagai efisiensi.
Dalam penutupan perdagangan pada Jumat lalu, indeks sektor konsumer non-cyclical naik tipis 0,01 persen. Pergerakan emiten dengan kapitalisasi besar di sektor ini cukup bervariasi. Misalnya, Unilever dan HM Sampoerna yang masing-masing melemah 1,09 persen ke level 3.620 dan 0,54 persen ke level 920. Saham dua emiten Grup Indofood, yaitu ICBP dan INDF, menguat masing-masing 2,38 persen dan 1,68 persen.
-
Moncernya saham Grup Indofood beriringan dengan pengumuman kinerja keuangan pada 2021. INDF mencatatkan pertumbuhan penjualan neto konsolidatif 22 persen menjadi Rp 99,35 triliun. Laba meningkat 18 persen menjadi Rp 7,65 triliun dengan margin laba bersih 7,7 persen. "Fokus kami mempertahankan kinerja Indofood di dalam dan luar negeri dengan menjaga keseimbangan antara pangsa pasar dan profitabilitas serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi,” kata Direktur Utama Indofood, Anthoni Salim, pekan lalu.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan kenaikan tarif PPN tidak serta-merta menjadi penentu harga di pasar. Sebab, kata dia, tanpa kenaikan pajak pun, harga barang dan jasa tetap meningkat. Suryo mengaku telah berdiskusi dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia agar pelaku usaha tidak ikut menaikkan harga dasar produk di tengah penyesuaian tarif PPN. "Apalagi banyak barang yang dibebaskan dari PPN, seperti beras dan telur," ujar dia.
Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, mengatakan para pengusaha restoran, toko fashion, supermarket, serta penyedia jasa salon mulai menerapkan tarif PPN baru. "Tapi ada juga yang menanggung kenaikan pajak dan tidak mengubah harga," kata dia. Budi mengakui pengusaha khawatir akan potensi penurunan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi), Sancoyo Antarikso, mengatakan banyak faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap produk kosmetik. Faktor tersebut, antara lain, perubahan perilaku konsumen, misalnya karena pandemi, pembatasan kegiatan di luar rumah, banyak melakukan kegiatan di rumah, atau naiknya kesadaran akan pentingnya kebersihan. Dia berharap kenaikan PPN tidak berdampak negatif terhadap kinerja sektor kosmetik sepanjang tahun ini.
CAESAR AKBAR, GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo