Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berusaha menerbangkan kembali pesawat yang diparkir akibat penurunan jumlah penumpang pada masa pandemi Covid-19. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, optimistis perseroan bisa terus menambah jumlah pesawat hingga 60 unit sebelum akhir tahun nanti. Saat ini jumlah pesawat aktif Garuda hanya 35 unit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, Garuda baru akan memulihkan jumlah pesawatnya setelah menerima dana penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 7,5 triliun yang sudah direstui Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, sambil menunggu duit negara cair, kata Irfan, restorasi armada bisa diupayakan lebih dini dengan sumber pendanaan lain. Salah satunya lewat fasilitas pembiayaan sebesar Rp 725 miliar dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena (pencairan) PMN membutuhkan waktu, kami percepat lewat kerja sama dengan PPA,” kata Irfan kepada Tempo, kemarin.
Dalam perjanjian kerja sama antara Garuda dan PPA yang diteken pada 16 September lalu, dana itu dipakai untuk pemulihan berbagai pesawat yang dikelola grup Garuda Indonesia. Pembiayaan pun dioptimalkan untuk pemeliharaan suku cadang, seperti mesin dan auxiliary power unit (APU) atau perangkat penambah tenaga mesin jet, serta komponen lainnya.
Sebagai gantinya, maskapai penerbangan pelat merah ini terikat perjanjian bagi hasil berdurasi lima tahun dengan PT PPA dari pendapatan di tiga rute pergi-pulang yang padat penumpang: Jakarta-Surabaya, Jakarta-Makassar, serta Jakarta-Jayapura. Namun, hingga kini, manajemen belum merinci besaran bagi hasil yang ditetapkan dalam skema profit sharing tersebut. “Fokus ke pesawatnya dulu karena banyak juga yang harus direstorasi,” tutur Irfan.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra. TEMPO/Tony Hartawan
Penambahan jumlah pesawat ada dalam daftar urgensi jangka pendek Garuda Indonesia pasca-homologasi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Jumlah pesawat aktif emiten berkode saham GIAA ini terus menurun. Sebagian ada yang terpaksa dikandangkan. Ada juga yang dipulangkan ke entitas pemberi sewa atau lessor.
Pada 2020 terdapat total 210 unit pesawat Garuda Indonesia yang mengudara. Pada pertengahan 2021, perusahaan hanya bisa mengoperasikan 140 unit. Setahun kemudian, jumlah pesawat turun hingga menjadi sekitar 30 unit akibat tingginya beban operasional Garuda Indonesia yang bersumber dari utang dan penurunan pendapatan pada masa pembatasan mobilitas.
Dengan rencana penambahan kembali jumlah pesawat, Garuda berencana mengisi kembali rute lama yang sempat tidak diterbangi pada masa pandemi. “Rute asing juga akan ditambah lagi, misalnya Jakarta-Melbourne yang mulai dibuka pada awal bulan depan,” ucap Irfan.
Meningkatnya jumlah penumpang pesawat pada masa pemulihan ekonomi juga membuat manajemen kian gencar menambah frekuensi dan jalur penerbangan. Dari Februari hingga April 2022—masa sepi menuju masa padat saat mudik Lebaran—pertumbuhan konsumen Garuda Indonesia mencapai 74 persen.
Pesawat Garuda Indonesia di hanggar Garuda Maintenance Facility AeroAsia, Cengkareng, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan
Direktur Utama PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia Tbk, Andy Fahrurrozi, memastikan reaktivasi pesawat grup perusahaannya menjadi prioritas di sisa akhir tahun ini. Hanggar 4 milik perusahaan di Tangerang, Banten, kini dipakai untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat berbadan sedang (narrow body), seperti Boeing 737 dan Airbus 320. “Sedangkan hanggar 3 untuk perawatan pesawat berbadan lebar, seperti Airbus 330,” kata dia kepada Tempo.
Dalam rencana GMF, pada tahap pertama perusahaan akan memprioritaskan reaktivasi pesawat narrow body, diikuti reaktivasi pesawat wide body. Di hanggar, tim mekanik mengerjakan C Check—pemeriksaan setiap interval 4.000 jam terbang, pemeriksaan khusus berkala, perawatan mesin dan APU, dan proses lainnya.
Pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, memperkirakan Garuda akan memilih opsi restorasi armada dibanding pengadaan lewat leasing yang biayanya lebih mahal. Sebagian perbaikan pesawat, kata dia, bisa ditalangi dengan arus kas maskapai yang kembali lancar akibat peningkatan volume penumpang pesawat. “Tapi maskapai tetap belum untung karena cash flow dipakai untuk membayar utang dan (biaya) tunggakan sewa pesawat,” katanya. “Harga suku cadang juga sedang naik.”
Peneliti badan usaha milik negara dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menilai langkah manajemen GIAA proaktif mengejar dana restorasi dari PPA, alih-alih hanya menunggu PMN, sudah tepat. “Setidaknya struktur kapital Garuda lebih siap dalam mengoperasikan tambahan pesawat.”
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo