Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bakal bekerja keras menangkal dampak resesi perekonomian global ke dalam negeri pada 2023. Sebab, pemerintah memiliki ruang fiskal yang tak lagi leluasa pada tahun depan lantaran defisit APBN dikembalikan menjadi di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Dengan (defisit APBN kembali di bawah 3 persen), kemampuan fiskal dalam mendorong permintaan akan menurun dibanding saat masa pandemi lalu,” kata Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, kemarin, 12 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam APBN 2023, defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp 598,2 triliun atau setara dengan 2,84 persen dari PDB. Sedangkan pada 2020, defisit APBN mencapai Rp 947,7 triliun atau 6,14 persen dari PDB dan mencapai Rp 775,1 triliun atau 4,57 persen dari PDB pada 2021. Dalam tiga tahun terakhir, defisit APBN diperlebar dari batas 3 persen PDB agar pemerintah memiliki kelonggaran dan keleluasaan dalam menyusun program pengendalian pandemi Covid-19 beserta efek turunannya di tengah kondisi penerimaan negara yang berkurang serta beban pengeluaran yang bertambah besar.
Memburuknya ekonomi global dan ancaman resesi di sejumlah negara diperkirakan berdampak pada ekonomi dalam negeri. Saat ini tingkat inflasi dan suku bunga acuan naik, sedangkan surplus neraca dagang dan nilai tukar melemah.
Menurut Josua, APBN diharapkan menjadi tumpuan untuk menangkal dampak pelemahan ekonomi global menular ke perekonomian domestik, seperti lewat anggaran perlindungan sosial. Pasalnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi perekonomian global mengalami resesi pada 2023, seiring dengan tren lonjakan inflasi dan kenaikan suku bunga hingga efek domino ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina.
Dalam APBN 2023, pemerintah mengalokasikan belanja negara Rp 3.061,2 triliun, naik Rp 19,4 triliun dari tahun ini. Tambahan anggaran tersebut difokuskan untuk empat sektor, yakni tambahan subsidi energi Rp 1,3 triliun, cadangan pendidikan Rp 3,9 triliun, belanja non-pendidikan Rp 11,2 triliun, serta transfer ke daerah Rp 3 triliun. Di sisi lain, penerimaan negara ditargetkan dapat mencapai Rp 2.443,6 triliun, yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp 2.016,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 426,3 triliun.
Josua mengatakan belanja pemerintah berpotensi menjadi shock absorber untuk menahan resesi. Pasalnya, belanja pemerintah dapat mendorong permintaan domestik dan meningkatkan aktivitas ekonomi. “Shock absorber yang dapat dilakukan APBN adalah meningkatkan belanja pemerintah, khususnya untuk produk-produk dalam negeri, agar bisa menciptakan multiplier effect terhadap aktivitas berbagai sektor,” ujarnya. Selanjutnya, APBN dapat digunakan untuk meningkatkan perlindungan sosial agar daya beli masyarakat yang berada dalam kategori ekonomi rentan tidak terganggu.
Namun, menurut Josua, langkah itu kemungkinan besar tak mudah. Sebab, ruang fiskal pemerintah tak lagi leluasa lantaran defisit anggaran dikembalikan menjadi di bawah 3 persen dari PDB setelah dalam tiga tahun dilebarkan karena kondisi khusus pandemi Covid-19.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berujar bahwa defisit anggaran yang kembali di bawah 3 persen bakal memangkas ruang belanja pemerintah, sehingga kebijakan yang bisa digunakan sebagai shock absorber untuk menangkal risiko resesi pun relatif menjadi terbatas. Fleksibilitas menjadi kunci untuk memastikan proses pemulihan ekonomi tetap berjalan sesuai dengan harapan pemerintah.
“Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memilah prioritas belanja dengan mengedepankan belanja yang bisa mendorong pemulihan lebih cepat dengan multiplier effect jangka pendek,” ucapnya.
Warga antre untuk menerima bantuan sosial di Kantor Pos Indramayu, Jawa Barat, 15 September 2022. ANTARA/Dedhez Anggara
Utang Pemerintah Diperkirakan Melonjak
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan peran APBN sebagai penyerap guncangan eksternal diperkirakan harus dibayar mahal dengan lonjakan utang pemerintah. Apalagi jika pemerintah tetap gencar mempertahankan proyek-proyek mercusuar, seperti pembangunan ibu kota negara (IKN), kereta cepat, dan kereta ringan atau light rail transit (LRT), yang membebani keuangan negara.
“Pemerintah harus memiliki ruang fiskal yang memadai, yang sayangnya kemewahan ini tidak kita miliki, terlebih di masa krisis ketika penerimaan negara jatuh,” katanya.
Dia mencontohkan, pada 2020, dengan rasio perpajakan hanya 8,3 persen dari PDB, pemerintah menjalankan APBN sebagai shock absorber hanya dengan cara sederhana. Pemerintah meningkatkan utang secara signifikan, dengan defisit anggaran kala itu mencapai 6,14 persen dari PDB. Untuk pertama kalinya pasca-krisis 1997, pemerintah pun melanggar dua disiplin makroekonomi paling penting, yaitu disiplin fiskal batas maksimum defisit anggaran 3 persen dari PDB serta monetisasi utang pemerintah dengan meminta Bank Indonesia melakukan skema berbagi beban (burden sharing) dengan bertindak sebagai pembeli siaga surat berharga negara (SBN) di pasar primer.
Kondisi pada 2023 tidak akan jauh berbeda. Selain defisit anggaran yang kembali di bawah 3 persen dari PDB, era harga komoditas tinggi diprediksi berakhir seiring dengan pelemahan ekonomi global. Dengan demikian, upaya menggenjot penerimaan negara, yang beberapa waktu terakhir ditolong harga komoditas, menjadi terhambat. Hal ini membuat pemerintah tidak lagi bisa meningkatkan ruang fiskal melalui peningkatan utang yang berlebihan.
“Dengan tidak adanya kemewahan ruang fiskal pada 2023, pemerintah selayaknya berbesar hati untuk menunda pembangunan proyek-proyek mercusuar,” katanya.
Terlebih, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diyakini akan melambat dari proyeksi sebelumnya. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di level 5,0 persen, lebih rendah dari sebelumnya 5,2 persen. Yusuf mengatakan, dengan resesi global, pelemahan ekspor dan investasi, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan akan banyak tertekan. “Jadi, terlalu besar risiko untuk terus ngotot mendorong megaproyek ini karena tidak selayaknya daya beli rakyat serta pemulihan ekonomi nasional dipertaruhkan untuk sekadar mengejar ambisi dan gengsi.”
Adapun Deputi Bidang Koordinasi Perekonomian dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menuturkan pemerintah berupaya memitigasi risiko agar Indonesia tak ikut tergelincir ke dalam jurang resesi. APBN akan menjadi tumpuan untuk menahan dampak pelemahan ekonomi global tak menular ke perekonomian domestik. “APBN akan menjadi shock absorber dari ketidakpastian global dan menjaga mode pemulihan ekonomi,” kata Iskandar.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo