Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Juara Berutang dari Pasar

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

11 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI seluruh dunia, pemerintah banyak negara sedang berlomba-lomba mencari utang. Tak pandang bulu, baik negara maju maupun yang terbelakang, semuanya sedang kelabakan menghadapi wabah Covid-19. Semua butuh utang yang cepat mengalir karena tak ada cukup uang dalam anggaran untuk berperang melawan wabah.

Di kawasan Amerika Latin, misalnya, 14 negara sudah antre di depan loket Dana Moneter Internasional (IMF), mencari berbagai fasilitas pinjaman tambahan. Inggris bahkan kalap membuat terobosan baru. Bank of England akan langsung membiayai tambahan anggaran sehingga pemerintah tak perlu repot menjual obligasi ke pasar. Bank of England, ibaratnya, langsung mencetak uang agar pemerintah Inggris dapat segera memberikan tambahan stimulus atau menambal biaya kesehatan yang melambung karena wabah Covid-19.

Indonesia juga, harus ikut menambah utang. Pemerintah merencanakan anggaran baru senilai Rp 405,1 triliun untuk mengatasi wabah. Selain menggeser dana dari pos anggaran lain, pemerintah mau tak mau mesti mencari utang baru untuk menutup tambahan kebutuhan itu. Defisit anggaran akan meledak luar biasa, mencapai Rp 853 triliun tahun ini, hampir tiga kali lipat rencana sebelumnya Rp 307,2 triliun.

Dalam hal berutang, Indonesia bahkan sudah mengklaim satu titel: negara pertama yang menerbitkan obligasi pandemi dalam dolar Amerika Serikat. Indonesia berhasil menjual tiga seri obligasi meskipun keadaan sedang gonjang-ganjing. Tak tanggung-tanggung, pemerintah mencetak utang baru sebesar US$ 4,3 miliar, yang salah satu serinya berjangka waktu 50 tahun. Inilah pertama kalinya Indonesia menjual obligasi dolar bertenor setengah abad. Masalah hari ini akan menjadi beban generasi cicit kita untuk melunasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ongkos berutang di tengah situasi seperti ini jelas tidak murah. Kupon tiga seri itu masing-masing sebesar 3,85 persen, 4,2 persen, dan 4,45 persen. Di pasar perdana, investor bahkan masih menuntut diskon. Pemerintah pun harus memberikan imbal hasil alias yield sedikit lebih tinggi daripada kupon, masing-masing menjadi 3,9 persen, 4,2 persen, dan 4,5 persen. Konsekuensinya, kemampuan fiskal pada tahun-tahun mendatang akan berkurang. Ada pengeluaran lebih besar untuk bunga utang yang akan mengurangi kemampuan pemerintah berinvestasi, menggerakkan ekonomi.

Sebagai gambaran, untuk ketiga seri obligasi itu saja, pemerintah harus membayar bunga sekitar US$ 177,3 juta per tahun, atau senilai Rp 2,84 triliun jika kurs kita asumsikan stabil pada level Rp 16 ribu per dolar Amerika. Bayangkan, biaya bunga untuk tiga seri obligasi ini saja bahkan lebih besar ketimbang anggaran Kementerian Riset dan Teknologi, yang dipangkas menjadi hanya Rp 2,47 triliun.

Keadaan memaksa kali ini memang membuat Indonesia harus berpaling ke pasar yang kejam. Ongkos yang sungguh mahal itu seharusnya menyadarkan semua pejabat negara bahwa penggunaan dana penanganan dampak Covid-19 jangan sampai sia-sia. Setiap rupiah harus benar-benar bermanfaat untuk menyelamatkan ekonomi, bukan demi program politik populis atau sekadar pelunasan janji kampanye.

Pemerintah sebaiknya juga menimbang kembali berbagai proyek besar yang lebih bersifat menaikkan gengsi. Akan sangat mulia jika pemerintah berani mengorbankan pula segala kenikmatan ekstra pejabat negara. Pemerintah harus berupaya sedemikian rupa agar tidak menambah lagi utang mahal untuk memerangi Covid-19.

Alternatif lain, pemerintah bisa menambah lagi utang dari lembaga multilateral. Bank Dunia, misalnya, pada Maret lalu sudah memberikan pinjaman US$ 300 juta kepada pemerintah Indonesia untuk mendukung anggaran. Bank Dunia juga sudah menyiapkan dana US$ 14 miliar yang bisa segera cair untuk penanggulangan Covid-19. Indonesia bisa lebih agresif meminjam dana itu ketimbang menjual obligasi ke pasar.

Ongkos berutang dari lembaga keuangan multilateral jelas jauh lebih murah. Secara politik, ini memang pilihan yang tidak populer bagi Presiden Joko Widodo. Tapi, ketimbang membebani cicit dengan bunga mahal, gengsi politik dan nasionalisme sempit sudah selayaknya kita pinggirkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus