Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan Sekadar Bagi-bagi Sertifikat

Redistribusi lahan tersendat karena pemerintah berfokus pada sertifikasi. Akibatnya, ketimpangan kepemilikan lahan tetap lebar.

24 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rasio gini pertanahan berada di kisaran 0,58 pada 2022.

  • Sertifikasi lahan sering salah sasaran.

  • KPA mencatat terdapat 241 letusan konflik agraria pada 2023.

JAKARTA — Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang pada Rabu, 21 Februari lalu, Agus Harimurti Yudhoyono bertolak ke Kota Manado, Sulawesi Utara. Dia datang untuk membagikan 105 sertifikat tanah hasil program redistribusi tanah serta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi-bagi sertifikat merupakan salah satu fokus utama Agus. Presiden Joko Widodo mengamanatkan tiga tugas saat pelantikan. Pertama adalah pembagian sertifikat tanah berbasis elektronik yang lebih masif. Dua tugas lainnya ialah percepatan penyelesaian masalah hak guna usaha yang berkaitan dengan perusahaan, serta penyelesaian 120 juta bidang PTSL.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Agus, tiga tugas tersebut penting untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat. "Ini masalah keadilan. Bukan hanya bagi-bagi sertifikat, tapi juga keadilan yang fundamental," ujarnya setelah pelantikan. 

Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Benni Wijaya sepakat sertifikasi lahan penting untuk legalisasi aset masyarakat. Namun, untuk memberi keadilan dalam konteks kepemilikan lahan, program ini tidak cukup. 

Ketimpangan Kepemilikan Lahan yang Lebar

Indonesia mengalami ketimpangan kepemilikan lahan yang lebar. Badan Pertahanan Nasional mencatat rasio gini pertanahan berada di kisaran 0,58 pada 2022. Rasio gini di atas 0,5 menunjukkan ketimpangan yang tinggi. Artinya, 1 persen populasi masih menguasai 58 persen lahan. 

Pemerintah mencoba menyelesaikan ketimpangan kepemilikan lahan lewat program reforma agraria yang terdiri atas legalisasi aset serta redistribusi lahan. Benni mengklaim pelaksanaan program ini macet lantaran pemerintah lebih banyak berfokus pada kegiatan sertifikasi. "Kegiatan ini sebenarnya tidak mengoreksi ketimpangan tadi," katanya.

Dari pengamatan KPA, sertifikasi sering menyasar masyarakat yang tidak sesuai dengan kategori obyek reforma agraria. Obyek reforma agraria mencakup masyarakat yang mengolah lahan serta menggantungkan hidupnya dari lahan tersebut. "Contoh lainnya adalah memberikan sertifikat atas tanah kosong yang tidak produktif sehingga masyarakat tidak bisa mengolahnya."

Untuk bisa mencapai keadilan distribusi lahan, Benni menilai kegiatan redistribusi lahan perlu menjadi perhatian utama, khususnya menjelang akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Selama dua periode menjabat, Jokowi berjanji melakukan pembagian tanah seluas 4,5 juta hektare yang berasal dari tanah bekas hak guna usaha, tanah telantar, serta pelepasan kawasan hutan. Namun baru 3,9 juta hektare yang terealisasi. Janji penanganan konflik agraria pun masih jauh dari tuntas. KPA mencatat terdapat 241 letusan konflik pada 2023 di atas tanah seluas 638.188 ribu hektare. 

Sasaran lahan untuk redistribusi idealnya merupakan lahan yang sudah digarap masyarakat, tapi masih tumpang-tindih dengan perusahaan. Namun, melihat masih tingginya angka konflik agraria, Benni menduga pemerintah cenderung menghindari lokasi-lokasi yang diwarnai sengketa.

Mencegah Aksi Jual Sertifikat

Warga memegang sertifikat dalam acara Penyerahan Sertifikat Tanah untuk Rakyat dan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Surat Keputusan Tanah Objek Reforma Agraria di Areal Kesongo, Blora, Jawa Tengah, 10 Maret 2023. BPMI Setpres/Rusman 

Selain itu, dia menilai perlu ada program pendukung setelah para obyek reforma agraria mendapat sertifikat. "Misalnya akses permodalan atau fasilitas lain untuk mengelola lahannya," tutur Benni. Program ini penting untuk mencegah aksi jual sertifikat lahan yang selama ini banyak terjadi setelah pemerintah membagi-bagikan sertifikat. 

Fenomena jual sertifikat lahan tak bisa terhindarkan. Senior Analyst dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyebutkan pemicunya adalah pemberian lahan yang kebanyakan kurang prospektif secara bisnis. Kondisi ini membuat masyarakat tidak bisa memanfaatkan sertifikat mereka sebagai agunan untuk mendapat modal produktif. 

"Karena tidak bankable, opsi satu-satunya bagi pemilik sertifikat untuk mendapatkan modal adalah menjualnya, yang rata-rata nilainya pun tak besar," kata Ronny. 

Tentu tidak semua penerima lahan melakukan hal yang sama. Ronny mengatakan mereka yang tidak menjual sertifikat pada umumnya menganggap kepastian kepemilikan sudah cukup meski secara komersial kurang prospektif.

Mendistribusikan Lahan Subur 

Warga mengolah lahan di lokasi prioritas reforma agraria di Desa Batulawang, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 17 Januari 2023. TEMPO/Avit Hidayat

Dalam melaksanakan reforma agraria, imbas terhadap kondisi ekonomi masyarakat merupakan aspek yang sangat penting. Sebelum mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan lebih dulu melaksanakan program reforma agraria. Kebijakan ini memicu lahan terdistribusi secara merata dan semakin produktif.

Catatannya, lahan yang diredistribusikan di negara-negara itu berupa lahan subur, berlokasi strategis, atau mengandung sumber daya alam. "Di Indonesia, lahan produktif dan strategis seperti itu sudah dikaveling-kaveling oleh pemerintah serta dibagi-bagikan ke investor," ujar Ronny. Akhirnya, wajar ketimpangan bukan terjadi dari sisi kepemilikan aset saja, melainkan di segala sisi. 

Ahli hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Any Andjarwati, mengatakan akar masalah dari kepemilikan lahan adalah multi peta dasar. Dia mencatat ada 24 institusi yang punya peta dasar serta terdapat 156 peta tematik. "Itu dulu yang seharusnya diselesaikan," katanya. 

Pemerintah perlu membuat satu acuan peta dasar yang bisa menjamin kepastian hukum. Menurut Any, Badan Informasi Geospasial (BIG), yang saat ini melakukan kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi seluruh data, kesulitan melaksanakan tugasnya. "Ego sektoralnya masih kuat."

Untuk itu, Any mengusulkan pemerintahan baru untuk menggabungkan BIG, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penggabungan tiga institusi itu akan mempermudah pengaturan tata ruang dan memastikan reforma agraria berjalan secara utuh, tak hanya terpaku pada legalisasi aset.  
 
Tempo berupaya menghubungi Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria Suyus Windayana untuk meminta konfirmasi ihwal rencana implementasi reforma agraria pada masa-masa akhir pemerintahan Jokowi. Sayangnya, Suyus tidak merespons hingga berita ini ditulis. 

Namun, dalam wawancara bersama Tempo pada 2 Februari lalu, Suyus mengatakan pemerintah tengah mengejar target redistribusi lahan dari pelepasan kawasan hutan. "Kami sudah siap menyerahkan 10 ribu hektare kepada masyarakat segera," ujarnya. 

Pemerintah juga sudah mengidentifikasi lahan seluas 700 ribu hektare dan 1 juta hektare yang bisa didistribusikan ke masyarakat. "Kami akan selesaikan tahun ini, kami akan lihat dari anggaran juga."

Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmadja menyatakan pihaknya sedang berupaya menambah aset lahan hingga seluas 20 ribu hektare pada 2024. Setidaknya, 30 persen dari total lahan itu bakal dialokasikan untuk redistribusi lahan kepada masyarakat yang menjadi subyek reforma agraria. Bank Tanah berencana memberikan hak pakai selama 10 tahun lebih dulu dan memastikan lahan tersebut dikelola penerima sebelum menyerahkan sertifikat hak milik. 

Langkah ini, kata dia, sebagai antisipasi untuk mencegah masyarakat menjual atau menggadaikan sertifikat tanah mereka. Pria yang pernah menjabat Tenaga Ahli Menteri Agraria Bidang Pembinaan UKM ini belajar dari pengalaman setelah membagikan sertifikat hak milik buat masyarakat. "Kalau dijual atau digadai, kondisi mereka tidak akan berubah," katanya. Dia berujar tujuan reforma agraria adalah memberi ruang untuk masyarakat agar berdaya melalui lahan mereka sendiri. 

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus