Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ongkos Besar Unjuk Kuasa

Pemerintah melarang ekspor batu bara selama Januari 2022 karena pasokan untuk pembangkit listrik kurang. Langkah sembrono di tengah meningkatnya potensi gejolak ekonomi.

8 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kebijakan

  • Pemerintah justru berpotensi paling merugi.

  • Skema DMO batu bara perlu dirombak.

KEJUTAN besar mengawali 2022. Tepat pada hari pertama tahun baru, terbit larangan ekspor batu bara selama satu bulan tanpa kecuali. Larangan itu jatuh lantaran penambang batu bara mengabaikan kewajiban menjual 25 persen produksinya ke pasar dalam negeri, terutama kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Inilah ketentuan yang dijuluki domestic market obligation (DMO). Tahun lalu, semua perusahaan batu bara hanya memasok 63,5 juta ton, tak sampai separuh dari kewajiban 137,5 juta ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Larangan itu memang terlihat “seksi” secara politis. DMO penting agar pasokan listrik tak terganggu. Lebih dari separuh konsumsi listrik saat ini dipasok oleh pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Agar PLN tak terbebani ongkos terlalu besar, pemerintah juga mematok harga batu bara yang dijual untuk ketenagalistrikan tersebut senilai US$ 70 per ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun lalu, perusahaan batu bara memang lebih tergoda mengekspor batu bara. Apa boleh buat, harga acuan batu bara Indonesia sejak Januari 2021 terbang tinggi, jauh di atas US$ 70 per ton. Per November 2021, harga acuan batu bara Indonesia bahkan mencapai US$ 215 per ton, tiga kali lipat harga jual ke PLN. Godaan mendapat untung berlipat-lipat rupanya terlalu kuat sehingga banyak korporasi memilih melupakan kewajibannya kepada negara.

Maka seolah-olah wajar saja jika pemerintah menjatuhkan sanksi keras kepada korporasi yang rakus. Terlebih perusahaan batu bara sebetulnya sudah mendapat privilese mengeruk kekayaan alam, yang menurut konstitusi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Mereka membalas privilese itu dengan mengabaikan kewajiban.

Tapi sikap tegas pemerintah kali ini sebetulnya berlebihan. Ada pula ongkos amat besar yang muncul akibat kebijakan yang terkesan asal unjuk kuasa itu. Dalam hal penegakan peraturan, misalnya, pemerintah sudah mengabaikan aturan main buatan sendiri. Setidaknya, menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada 85 perusahaan dari total 592 perusahaan batu bara yang sudah memenuhi DMO tahun lalu. Dus, Larangan yang berlaku secara menyeluruh itu turut menghukum perusahaan yang tidak bersalah. Ini jelas bukan contoh baik dalam pengelolaan negara.

Yang mengalami kerugian terbesar dari larangan ekspor itu justru pemerintah. Timbul ongkos yang sebetulnya tak perlu ada jika pemerintah lebih berkepala dingin. Pemerintah seolah-olah mengabaikan satu fakta penting. Ekspor komoditas selama 2021, termasuk batu bara, sudah menjadi penyelamat Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi dunia yang terpukul pandemi. Lonjakan penerimaan dolar dari ekspor membuat neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan Indonesia mencatatkan surplus tahun lalu. Karena larangan itu, ada potensi pemasukan ekspor senilai sekitar US$ 3 miliar yang sirna.

Tahun lalu, pemerintah juga menepuk dada karena berhasil memenuhi target penerimaan pajak. Tanpa lonjakan nilai ekspor komoditas tahun lalu, mustahil target itu bisa terpenuhi. Ketika harga komoditas diperkirakan mulai menurun pada 2022, pemerintah justru membuang kesempatan untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan tatkala harga masih cukup tinggi.

Kebijakan itu juga tidak menimbang sentimen pasar finansial global yang akan bergejolak kian tak menentu selama 2022. Jangan lupa, The Federal Reserve berencana menaikkan suku bunga dan menghentikan stimulus suntikan likuiditas ke pasar. Dalam situasi yang mulai genting ini, kebijakan yang keluar tanpa pertimbangan matang hanya akan memperburuk sentimen pasar terhadap Indonesia.

Jika mekanisme DMO terbukti gagal menjamin pasokan batu bara kepada PLN, pemerintah semestinya mengkaji ulang aturan main itu. Penerapan bea keluar sebagaimana yang berlaku di minyak sawit, misalnya, dapat menjadi alternatif, tentu dengan penyesuaian di sana-sini. Atau mungkin saja itu disebut royalti khusus untuk ekspor, atau apalah namanya. Pemerintah harus menempuh segala upaya untuk menambal kelemahan sistem DMO. Tanpa perombakan menyeluruh, masalah ini hanya akan berulang setiap kali ada gejolak harga.

Dalam jangka pendek, unjuk kuasa jelas bukan satu-satunya cara mengatasi krisis batu bara. Lebih baik pemerintah menanggung malu memperbaiki keputusan ketimbang berlanjut menanggung kerugian yang sama sekali tak perlu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus