Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bank Musuh Bersama

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika krisis finansial global meledak, 2008-2009, semua telunjuk menuding bank sebagai biang kerok. Wall Street seolah-olah identik dengan raksasa serakah penyebab segala bencana. Kini kejengkelan pada bank berjangkit pula di Indonesia.

Bisnis bank di sini memang sangat menguntungkan. Ukurannya adalahnet interest margin(NIM), untung bank dari selisih bunga simpanan dengan bunga kredit. Selama 2015, NIM perbankan RI 5,39 persen, hampir tiga kali lipat NIM perbankan Singapura yang tak sampai 2 persen. NIM DBS, bank Singapura yang asetnya terbesar se-Asia Tenggara, hanya 1,94 persen. Bandingkan dengan NIM Bank BRI sebesar 7,8 persen.

Otoritas menilai upaya memburu untung inilah yang membuat bunga pinjaman tinggi sehinggaekonomi enggan bergerak. Maka Otoritas Jasa Keuangan kinimerancang aturan main untuk membatasi NIM.Intinya, bunga kredit harus turun dan karena itu bankir harus menahan nafsu, tak boleh untung besar.

Satu lagi kebijakan OJK yang secara tak langsung juga memukul bank. Industri keuangan nonbank, seperti asuransi dan dana pensiun, kini harus menyimpan dana dalam obligasi negara dengan proporsi tertentu. Maksud OJK baik, jika institusi lokal lebih banyak memegang obligasi negara, porsi asing menurun dan potensi krisis berkurang. Saat ini dana asing yang terbenam ke obligasi RI sudah hampir Rp 600 triliun. Jika ada gejolak dan dana asing ini serempak keluar, ekonomi Indonesia bisa tumbang.

Tapi, di sisi lain, kebijakan ini berdampak buruk ke bank. Dana industri keuangan nonbank yang selama ini tertanam di deposito terpaksa berpindah ke obligasi.

Pemerintah juga membuat kebijakan yang memukul perbankan. Mulai Maret 2016, dana transfer ke daerah tak lagi berbentuk tunai, tapi berupa obligasi. Danapemerintah daerah yang selama ini parkir di deposito bank akan menyusut tajam. Estimasinya, pundi-pundi likuiditas bank akan menyusut hampir Rp 100 triliun karena kebijakan pemerintah dan OJK itu. Jangan heran jika harga saham bank di pasar saham terus tertekan dua pekan terakhir ini.

Mungkin perbankan memang pantas menjadi bulan-bulanan. Selama ini industri perbankan menikmati kondisi nyaman memanjakan. Misalnya industri bank ketat terproteksi. Tak bakal ada pesaing baru karena tak ada izin bank baru. Teorinya, ini sektor yang terbuka buat asing. Realisasinya, hampir mustahil investor asing, di luar yang sudah ada, bisa masuk lagi membeli bank lokal. DBS, yang ingin membeli Danamon, sampai sekarang harus gigit jari karena tak mendapat izin.

Bankir juga relatif mudah memutarkan tabungan dan deposito yang berbunga rendah. Dana murah ini bisa mereka belikan obligasi pemerintah atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang menguntungkan dan lebih aman. Ibaratnya, sudah mendapat proteksi, bank juga memperoleh "subsidi".

Tentu bukan salah bankir jika mereka memanfaatkan keadaan itu demi memburu laba. Menurunkan bunga memerlukan serangkaian kebijakan yang langsung mengatasi masalah di akarnya, sehingga bunga obligasi negara dan SBI turun, dan berikutnya bunga kredit bank. Sebaliknya, mencekik bank dengan membatasi laba dan menyedot likuiditas yang merupakan darah kehidupannya belum tentu akan berbuah penurunan bunga.

Pengetatan likuiditas perbankan justru berisiko menciptakan masalah baru. Saat ini ada 124 bank umum yang kesehatannya berbeda-beda. Satu saja kolaps karena cekikan likuiditas, ada potensi efek domino yang dapat menyeret jatuh industri perbankan.Penentu kekuatan seutas rantai adalah seberapa kuat titik terlemahnya, begitulah karakteristik industri perbankan.OJK dan pemerintah kini sedang bermain api dengan titik terlemah itu.

Yopie Hidayat (Kontributor Tempo)


KURS
Rp per US$ Pekan sebelumnya 13.479
13.416 Penutupan 25 Februari 2016

IHSG
Pekan sebelumnya 4.778
4.658 Penutupan 25 Februari 2016

INFLASI
Bulan sebelumnya 3,35%
4,14% Januari 2015 YoY

BI RATE
Bulan sebelumnya 7,25%
7,00%

CADANGAN DEVISA
31 Desember 2015 US$ 105,93 miliar
US$ miliar 102,134 29 Januari 2016

Pertumbuhan PDB
2015 4,73%
5,3% Target 2015

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus