Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Sigi, Sulawesi Tengah, resah oleh kehadiran Badan Bank Tanah.
Dua calon wakil presiden mengkritik pelaksanaan reforma agraria pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Reforma agraria baru sebatas bagi-bagi sertifikat.
JAKARTA - Warga Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, harus menelan kecewa. Harapan mereka untuk segera menerima sertifikat hak milik (SHM) atas tanah harus tertunda.
Padahal sebelumnya pemerintah daerah sudah menetapkan tanah bekas hak guna usaha (HGU) PT Hasfarm Hortikultura Sulawesi sebagai lahan pertanian komunal untuk masyarakat di sana. Namun, pada akhir 2023, Badan Bank Tanah datang, memasang patok, dan mengklaim tanah itu sebagai aset negara.
Ningsi, anggota Badan Permusyawaratan Desa, mengatakan lahan tersebut sudah digarap warga dan rencananya menjadi tanah obyek reforma agraria (TORA). “Karena itu, kami menolak keberadaan patok dari Bank Tanah,” ujarnya saat ditemui selepas dialog reforma agraria di Palu, Kamis, 25 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ningsi menambahkan, sebelum PT Hasfarm masuk pada 1992, sebagian besar warga sudah hidup dan menggarap lahan di lokasi tersebut. Tatkala masa HGU habis, warga kemudian menduduki kembali lahan itu dengan menanam kelor dan lontar.
Pada 2016, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sigi mendata lokasi tersebut untuk menjadi TORA. Gugus Tugas dan warga berkali-kali menggelar musyawarah hingga akhirnya ditetapkan masyarakat akan menerima redistribusi tanah berupa pertanian komunal. Pada 2022, sebanyak 400 keluarga terdata menjadi subyek penerima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luas area yang akan diredistribusi pun sudah ditentukan, yakni 194 hektare, yang terbagi di Desa Pombewe dan Desa Oloboju. Dengan adanya kepastian tersebut, warga berharap segera mendapat hak atas tanah. Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta lalu menyurati Menteri Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto pada 22 Juli 2023 dan melakukan audiensi dua bulan setelahnya.
Bupati Sigi Mohamad Irwan menyerahkan sertifikat lahan kepada warga di Desa Bulubete, Kecamatan Dolo Selatan. ANTARA/HO-Prokopim Setda Pemkab Sigi
Pada saat menunggu sertifikat, tiba-tiba hadirlah Badan Bank Tanah yang mengklaim lokasi yang seharusnya menjadi TORA. Bank Tanah menyampaikan penguasaan aset dengan mendatangi kantor desa pada Agustus 2023. Tapi, karena sudah ada perencanaan awal, aparat desa belum bisa menerima kehadiran Bank Tanah.
“Saya sendiri mengatakan (kepada Bank Tanah), silakan sosialisasi ke masyarakat,” kata Ningsi.
Ia mengaku perwakilan masyarakat meminta Badan Pertanahan Nasional melarang aktivitas Bank Tanah di lahan eks HGU. “Tapi, pada akhir tahun lalu, terdengar kabar sudah ada patok di lahan yang digarap warga Desa Pombewe,” Ningsi mengungkapkan.
Bank Tanah memang berjanji untuk tetap mengalokasikan tanah bagi reforma agraria. Tapi warga tetap menolak karena merasa sudah mengukur luas lahan bersama pemerintah daerah. Ditambah lagi, Bank Tanah hanya memberikan hak pengelolaan lahan (HPL) selama 10 tahun kepada warga sebelum dinyatakan berhak mengantongi sertifikat hak milik (SHM). Warga menolak HPL karena hal itu berarti Bank Tanah tetap akan menguasai tanah dan tidak menjamin akan adanya pemberian SHM setelah 10 tahun.
Badan Bank Tanah merupakan badan hukum pemerintah pusat yang diberi kewenangan untuk mengelola tanah negara, seperti tanah bebas hak, tanah telantar, pelepasan kawasan hutan, bekas tambang, dan tidak ada penguasaan. Salah satu tugas lembaga ini adalah melakukan reforma agraria berupa legalisasi dan redistribusi tanah kepada masyarakat.
Mencuat dalam Debat Calon Wakil Presiden
Program redistribusi tanah melalui Bank Tanah muncul dalam pernyataan calon wakil presiden nomor 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat calon wakil presiden pada 21 Januari lalu. Ia mengatakan, jika terpilih, akan melanjutkan program reforma agraria yang sudah dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Sudah ada program redistribusi tanah-tanah eks HGU yang disimpan di Bank Tanah kepada pengusaha atau petani lokal,” ujar Gibran.
Pernyataan itu ditanggapi oleh calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud Md., yang mengatakan program reforma agraria muncul karena ketimpangan penguasaan tanah. Dia mengimbuhkan, hingga saat ini pemerintah baru melakukan legalisasi tanah berupa pemberian sertifikat dan belum melakukan redistribusi tanah.
Calon wakil presiden nomor 1, Muhaimin Iskandar, mengatakan hal senada. Dia berujar, pelaksanaan reforma agraria yang benar adalah melaksanakan redistribusi di lokasi prioritas reforma agraria (LPRA), bukan sekadar membagi-bagikan sertifikat. “Tugas pemerintah adalah membagi aset tanah,” ujar Muhaimin.
Warga menunjukkan sertifikat hak atas tanah untuk rakyat di Alun-alun Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, 22 Januari 2024. BPMI Setpres/Muchlis Jr.
Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benny Wijaya menuturkan, meski sertifikasi lahan penting, program reforma agraria yang dilakukan Bank Tanah masih gagal menyelesaikan konflik. Bank Tanah justru menjadi aktor konflik baru.
Hal serupa dilontarkan oleh Koordinator KPA wilayah Sulawesi Tengah, Doni Moidady. “Jika sebelumnya warga berkonflik dengan korporasi, sekarang dengan Badan Bank Tanah,” katanya Dia menyebutkan kelahiran lembaga tersebut tidak sesuai dengan semangat reforma agraria karena memiliki legalitas untuk memonopoli tanah.
Menurut Doni, selama ini pengurusan redistribusi lahan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kehadiran Bank Tanah membuat masyarakat bingung akan kepastian hak mereka. Ditambah lagi dengan kemunculan patok Bank Tanah dan larangan menggarap di lahan eks HGU seperti yang sebelumnya terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. “Akhirnya ini menjadi contoh kasus baru situasi reforma agraria,” katanya.
Aktivitas Badan Bank Tanah di Poso, Sulawesi Tengah. Dok Badan Bank Tanah
Penolakan Warga Berlanjut
Patok Bank Tanah yang terpasang di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, juga masih mendapat penolakan dari masyarakat. Warga lokal yang tergabung dalam Forum Masyarakat Lamba Bersatu (FMLB) menegaskan menolak skema pembagian dari Bank Tanah. “Kami terus berjuang untuk mendapat hak atas tanah kami,” ujar Hartono Lumentut, Ketua FMLB, Kamis pekan lalu.
Hartono mengaku resah sejak patok Badan Bank Tanah ditancapkan di kebun-kebun masyarakat yang masih produktif. “Di daerah kami ada tanaman seperti jagung, kopi, singkong, serta tanaman hortikultura lainnya,” katanya. Hartono menuding mekanisme pembagian lahan dari Bank Tanah akan menyulitkan warga mendapat SHM. Dia menambahkan, lokasi yang diklaim Bank Tanah seluas 6.648 hektare merupakan tempat warga tinggal dan menggarap lahan selama puluhan tahun.
Dari total aset di Kabupaten Poso, Badan Bank Tanah sudah memastikan alokasi untuk reforma agraria seluas 1.550 hektare. Manajer Program Perkumpulan Bantaya Syahrun Latjupa mengatakan aset-aset tersebut dapat menjadi potensi konflik antardesa. Musababnya, ia ragu Bank Tanah dapat membagi tanah untuk tujuh desa di lokasi HGU.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, kata Syahrun, disebutkan adanya alokasi minimal 30 persen lahan untuk reforma agraria. “Itu adalah angka minimal. Jadi seharusnya bisa diberikan lebih dari itu,” ujarnya. Dengan minimnya alokasi lahan dari Badan Bank Tanah, dia memastikan masyarakat akan menolak.
Sementara itu, penolakan juga terjadi di Jawa Barat. Warga di Desa Batulawang, Kabupaten Cianjur, menempati lokasi eks HGU PT MPM yang telah habis izinnya. Pada 2022, patok Bank Tanah kemudian masuk ke kawasan mereka.
Berdasarkan informasi dari Badan Bank Tanah, sudah ada alokasi lahan seluas 203 hektare untuk petani. Namun Ketua Paguyuban Petani Cianjur Erwin Rustiana mengaku belum mengetahui soal alokasi tersebut. “Sampai sekarang, sertifikat yang diusulkan anggota Paguyuban seluas 93 hektare untuk 335 penggarap belum kami peroleh,” ujarnya kepada Tempo.
Dosen hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Rikardo Simarmata, mengatakan perspektif Badan Bank Tanah adalah, di mana ada tanah kosong yang tidak ada sertifikat, tanah itu bisa dikuasai oleh negara, meskipun ada masyarakat yang mengelolanya.
“Ada kecenderungan penerapan domein verklaring (penguasaan tanah oleh negara) oleh Badan Bank Tanah,” ujar Rikardo. Dia menilai, jika paradigma tersebut digunakan, akan muncul konflik antara Badan Bank Tanah dan penduduk setempat yang mengaku menguasai tanah.
Rikardo menyatakan, jika Badan Bank Tanah tidak berorientasi profit, tanah yang terdapat masyarakat penggarap di atasnya tidak akan diklaim sebagai aset. Tapi, karena berorientasi profit, Bank Tanah akan tetap masuk sebagai pengelola. Akibatnya, alih-alih mendistribusikan tanah, Bank Tanah malah berkonflik dengan masyarakat.
Menurut Rikardo, semua persoalan kembali ke keberpihakan. Kalau pemerintah serius mendahulukan pemenuhan tanah untuk rakyat, tanah bekas HGU yang berkonflik dengan masyarakat seharusnya dimasukkan ke dalam TORA tanpa perlu diklaim.
Reforma agraria, dia menilai, semestinya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria. Karena itu, saat HGU selesai, yang harus didahulukan adalah penyelesaian sengketa. Tanah hasil penyelesaian sengketa kemudian diserahkan ke masyarakat dan sisanya dikuasai Bank Tanah. “Jangan diputarbalikkan menjadi Bank Tanah dulu yang dapat. Akibatnya, akan ada masyarakat yang kehilangan hak memiliki dan memanfaatkan tanah negara,” katanya.
Selain itu, ada potensi gesekan antara Bank Tanah dan GTRA akibat tumpang-tindih aturan redistribusi tanah. Rikardo menyatakan seharusnya penyelesaian dan distribusi TORA tidak dilakukan oleh Bank Tanah.
Menghambat Redistribusi Tanah
Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta menuturkan kehadiran Bank Tanah telah mengganggu tahapan redistribusi TORA di wilayahnya. “Kami tidak menolak Badan Bank Tanah, tapi kehadirannya membuat reforma agraria terhambat,” ujarnya dalam diskusi reforma agraria di Palu, 22 Januari lalu.
Irwan mengungkapkan proses menuju reforma agraria sudah lama berjalan. Masuknya Bank Tanah membuat jalan penyelesaian konflik dan redistribusi tanah makin berlikut. Di samping itu, ia berharap Bank Tanah tidak mengklaim lahan yang akan menjadi obyek pertanian komunal.
“Bank Tanah tidak boleh memiliki karena ini tanah rakyat. Lebih baik tanah ini dibuat korporasi rakyat dalam bentuk perkebunan,” katanya.
Project Team Leader Bank Tanah Sulawesi Tengah Mahendra Wahyu membantah tudingan bahwa kehadiran Bank Tanah memperlambat reforma agraria. Dia memastikan warga Sigi akan segera menerima sertifikat HPL dalam waktu dekat. “Saat ini sedang diurus,” katanya saat ditemui di lokasi yang sama.
Bank Tanah mengatakan proses pemberian lahan akan dilakukan oleh GTRA kabupaten/kota yang dipimpin bupati/wali kota setelah subyek diverifikasi. Masyarakat akan mendapat sertifikat hak pakai di atas HPL Badan Bank Tanah selama 10 tahun dengan pendampingan. Selanjutnya, kalau warga dinilai berhasil memanfaatkan tanah dengan baik, Bank Tanah akan menerbitkan SHM.
Melalui pernyataan tertulis kepada Tempo, Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmadja mengatakan lembaganya tetap menjalankan komitmen reforma agraria. “Badan Bank Tanah memastikan tidak hanya memberikan lahan, tapi juga melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat yang menjadi subyek reforma agraria,” katanya.
Secara nasional, Badan Bank Tanah telah menyiapkan lahan untuk redistribusi seluas 1.883 hektare di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur; 1.550 hektare di Poso; dan 203 hektare di Cianjur. Meski belum bisa memastikan waktu redistribusi, Bank Tanah memastikan lahan yang akan diberikan kepada masyarakat telah 100 persen siap.
Dia menyatakan pemberian lahan akan dilakukan oleh GTRA kabupaten/kota atau bupati/wali kota setempat setelah melalui verifikasi. Masyarakat akan mendapat sertifikat hak pakai di atas HPL Badan Bank Tanah selama 10 tahun dengan pendampingan access reform. Adapun SHM akan diterbitkan jika tanah terbukti dimanfaatkan dengan baik. Hingga akhir Desember 2023, Bank Tanah memiliki aset tanah seluas 18.478 hektare di 28 kabupaten/kota.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo