Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira melihat lampu kuning dalam pengelolaan utang dari sisi penerimaan pajak dan bunga utang.
Tahun ini Indonesia berencana membayar bunga utang sebesar Rp 497 triliun. Dengan target penerimaan negara Rp 2.802 triliun, rasio bunga utang terhadap penerimaan negara sebesar 17 persen.
Dalam hal bunga utang, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengakui ada risiko kenaikan dari pergerakan pasar, seperti pelemahan rupiah dan kenaikan imbal hasil yang dipicu oleh faktor global, baik tensi geopol
SEJAK AWAL tahun hingga 29 Februari lalu, pemerintah mengeluarkan dana sebesar Rp 69 triliun untuk membayar bunga utang. Angkanya naik 37 persen dibanding pada periode yang sama pada 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbicara dalam rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat pada 19 Maret lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa realisasi ini paling tinggi setidaknya dalam lima tahun terakhir. Sebagai perbandingan, pembayaran bunga utang pada periode yang sama 2023 sebesar Rp 50,3 triliun, naik 19,9 persen secara tahunan.
Sri Mulyani mengatakan kenaikan pembayaran bunga utang ini terjadi seiring dengan stok utang pemerintah yang juga meningkat. Pada Desember 2023, total utang pemerintah sebesar Rp 8.145 triliun, sementara sampai 29 Februari lalu jumlahnya Rp 8.319,22 triliun. Nilai tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski rasio utang terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB) masih 39,0 persen atau di bawah batas aman 60 persen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengelolaan utang saat ini tengah disorot. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira melihat lampu kuning dalam pengelolaan utang dari sisi penerimaan pajak dan bunga utang.
Kerentanan pengelolaan utang bisa dilihat dari kemampuan pemerintah membayar utang. Penerimaan pajak mencerminkan secara riil kemampuan pemerintah membayar bunga ataupun cicilan pokok utang.
Tahun ini Indonesia berencana membayar bunga utang sebesar Rp 497 triliun. Dengan target penerimaan negara Rp 2.802 triliun, rasio bunga utang terhadap penerimaan negara sebesar 17 persen. Dana Moneter Internasional (IMF) merekomendasikan rasionya maksimal hanya 10 persen.
Adapun dibanding pertumbuhan penerimaan pajak, kenaikan pembayaran bunga utang tahun ini diperkirakan masih lebih tinggi. Penerimaan pajak pada 2024 ditargetkan tumbuh 6,4 persen, sedangkan pembayaran bunga utang tahun ini diperkirakan naik 11,5 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dan First Deputy Managing Director IMF Gita Gopinath dalam pertemuan IMF-World Bank Spring Meetings di Washington, 21 April 2024. Dok. Kemenkeu/Biro KLI/Andi Al Hakim
Pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 2015-2022, rasio beban bunga utang dan cicilan pokok jatuh tempo rata-rata mencapai 47,4 persen dari penerimaan pajak setiap tahun. Jumlah tersebut berada di atas rasio pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005-2014, yang sekitar 32,9 persen.
Selain itu, Indonesia menghabiskan lebih banyak dana untuk membayar bunga utang ketimbang membiayai program kesehatan masyarakat. Tahun ini pemerintah menyediakan anggaran kesehatan sebesar Rp 187,5 triliun, jauh di bawah alokasi pembayaran bunga utang Rp 497 triliun. Bagi Bhima, kondisi ini bukan indikator positif.
Pada Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020 dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020, Badan Pemeriksa Keuangan menyimpulkan tiga indikator kerentanan utang pada 2020 telah melampaui ambang batas rekomendasi IMF. Tiga indikator tersebut adalah rasio debt service terhadap revenue (debt service-to-revenue), rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara (interest-to-revenue), dan rasio utang terhadap penerimaan negara (debt-to-revenue).
Rasio debt service-to-revenue adalah perbandingan biaya pokok utang dan pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara. Temuan BPK itu menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Jokowi, rasio debt service-to-revenue berada di rentang 25,35-46,77 persen. Persentasenya telah melewati ambang batas yang ditetapkan IMF sebesar 35 persen.
Baca Juga Infografik:
Rasio interest-to-revenue atau perbandingan pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara juga menunjukkan kenaikan secara konsisten sejak 2013. Pada 2010-2014, rasio interest-to-revenue berada di angka 7,51-8,88 persen atau di bawah ambang batas yang ditetapkan IMF, yakni 10 persen. Nilainya melonjak sejak 2015. Pada 2015, rasio interest-to-revenue sebesar 10,35 persen. Adapun pada 2020 angkanya melonjak mencapai 19,06.
Begitu pula dengan debt-to-revenue atau perbandingan utang terhadap penerimaan negara yang naik secara konsisten sejak 2012. Pada 2015-2020, rasio debt-to-revenue sebesar 210-369 persen. Adapun ambang batas yang ditetapkan IMF sebesar 92-167 persen berdasarkan IDR. Artinya, rasio debt-to-revenue berada di atas ambang batas sejak 2015.
Menurut BPK, tren rasio debt-to-revenue memperlihatkan saldo utang melonjak lebih cepat dibanding pertumbuhan penerimaan negara. Rasio debt-to-revenue yang makin tinggi menunjukkan kian tingginya porsi penerimaan negara untuk membayar utang di masa depan.
Hal yang juga membuat resah adalah gencarnya penerbitan surat berharga negara dengan imbal hasil tinggi. Sementara perbankan lebih tertarik memarkir dana di instrumen investasi ini, penyaluran kredit, terutama untuk usaha mikro, kecil, dan menengah, bisa tersendat. Presiden Jokowi pernah meminta perbankan memacu penyaluran kredit alih-alih mempertebal portofolio pada surat berharga. "Memang harus prudent, hati-hati. Tapi tolong lebih didorong lagi kreditnya, terutama bagi UMKM. Jangan semuanya ramai-ramai membeli ke Bank Indonesia atau SBN (surat berharga negara)," ujar Jokowi dalam forum Pertemuan Tahunan Bank Indonesia pada 29 November 2023.
Catatan lain dari Bhima adalah pengawasan penyaluran dana hasil penerbitan SBN yang bisa digunakan untuk beragam program, termasuk yang kurang mendesak. Berbeda saat pemerintah harus berutang lewat pinjaman multilateral, misalnya. "Di satu sisi, mereka bisa mengukur efektivitas program yang dibiayai dari dana yang mereka pinjamkan," katanya.
Tempo/Tony Hartawan
Adapun Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menyebutkan kondisi utang masih terhitung sehat. Piter juga melihat sinyal positif dari komposisi utang saat ini. Mayoritasnya berasal dari SBN sebesar Rp 7.336,87 triliun. Sebanyak 81 persen di antaranya diterbitkan dalam denominasi rupiah dan sisanya berupa valuta asing.
Sementara itu, utang dari hasil pinjaman hanya sebagian kecil. Nilainya Rp 982,35 triliun. Sebagian besar berasal dari pinjaman luar negeri dengan nilai Rp 946,90 triliun. Hasil pinjaman multilateral mendominasi dengan total Rp 581,99 triliun.
"Makin kecil porsi dengan utang ke luar negeri itu makin aman," ujar Piter saat dihubungi, kemarin. Dia berkaca pada Jepang yang memiliki utang hingga 2,5 kali PDB mereka. Salah satu kunci minimnya guncangan di negara tersebut adalah penerbitan utang untuk investor domestik.
Selain itu, pemerintah bermain aman dengan menerbitkan surat utang berdenominasi rupiah. Namun, Piter mengakui, tingkat bunganya lebih tinggi dari valuta asing. "Kemampuan kita mendapat dolar terbatas," ucapnya.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto masih optimistis Indonesia bisa menyelesaikan kewajiban pembayaran utang, khususnya dalam jangka pendek. "Utang jatuh tempo di bawah tiga tahun porsinya kecil, mungkin hanya sekitar 25 persen," ujarnya. Dengan penerimaan negara saat ini, dia optimistis beban tersebut bisa terbayar. Yang perlu diwaspadai adalah kondisi setelah 2030 lantaran banyak pinjaman tenor 10 tahun akan jatuh tempo.
Selain itu, Eko menilai pemerintah bakal berusaha membayar pokok dan bunga utang tepat waktu, siapa pun pemimpinnya nanti. "Karena yang dijaga dengan bayar utang tepat waktu itu reputasi. Sekali reputasi hilang, berat sekali memulihkannya."
Menurut dia, kuncinya adalah mengontrol belanja. Dia mengingatkan pemerintahan baru agar bersikap hati-hati. Apalagi dalam rencana kerja pemerintah 2025 yang baru saja disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, ada rencana meningkatkan utang untuk membiayai program-program pemimpin baru.
Dalam dokumen rencana kerja tersebut, tertera rasio utang terhadap PDB 2025 akan sebesar 39,77-40,14 persen. Artinya, pemerintah membuka potensi defisit di level 2,45-2,8 persen.
Menurut Eko, defisit itu terlalu lebar meskipun masih dalam batas aman yang ditentukan undang-undang, yaitu 3 persen. Pasalnya, selama ini rata-rata defisit Indonesia tak lebih dari 2,5 persen. "Ruang untuk mitigasi kalau kondisi global bergejolak terbatas, hanya 0,2 persen bila defisit dipasang 2,8 persen," katanya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto memastikan pemerintah memiliki kapasitas yang baik untuk memenuhi semua kewajiban utang. "Kementerian Keuangan menerapkan strategi yang fleksibel dan oportunistis untuk mendapat pembiayaan melalui utang yang optimal dan efisien," ujarnya.
Dalam hal bunga utang, Suminto mengakui ada risiko kenaikan dari pergerakan pasar, seperti pelemahan rupiah dan kenaikan imbal hasil yang dipicu oleh faktor global, baik tensi geopolitik maupun arah kebijakan moneter negara maju. "Namun, secara rata-rata year-to-date, pergerakannya masih terkendali," tuturnya. Dia berharap gejolak ini bersifat temporer.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ali Akhmad Noor Hidayat berkontribusi dalam penulisan artikel ini.