Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat*
Inilah karakteristik rupiah yang sering bikin kita kesal. Nilainya mudah anjlok tersorong sentimen negatif, tapi sungguh susah naik kembali kendati ada angin baik.?
Pada paruh pertama pekan lalu, misalnya, nilai rupiah begitu tertekan. Dari Rp 13.317 per US$ dolar pada Jumat (12 Juni), kurs tengah rupiah versi Bank Indonesia terus merosot menjadi 13.367 per US$ pada Rabu (17 Juni). Ada dua marwah buruk yang membuat rupiah terpuruk: ketakutan bahwa bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga dan bangkrutnya Yunani.?
Kabar baik dari Badan Pusat Statistik tentang neraca perdagangan Mei 2015 yang surplus US$ 950 juta tak juga mampu membuat rupiah membal naik. Demikian pula ketika sinyal dari Amerika menegaskan bahwa suku bunga patokan The Federal Reserve (The Fed) belum akan naik. Kalau toh naik, Ketua The Fed Janet Yellen menjamin kenaikannya akan bertahap sehingga dampaknya tak terlalu menyakitkan negara berkembang. Tetap saja kabar baik yang datang bertubi-tubi seolah-olah tak berarti. Rupiah bergeming saja di sekitar titik terendahnya sejak krisis 1998.?
Apa yang salah? Mungkin para analis melihat bayang-bayang Yunani ketika meneliti Indonesia. Alexis Tsipras, Perdana Menteri Yunani yang berhaluan sosialis, saat ini tengah beradu nyali dengan koalisi kreditor internasional, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) dan komisi dari Uni Eropa. Jika tidak mendapat tambahan utang, Yunani bakal mengemplang pembayaran utang ke IMF akhir bulan ini senilai 1,54 miliar euro atau kurang-lebih Rp 22 triliun.
Masalahnya, Tsipras berlaku bak anak bengal yang tak mau menuruti persyaratan kreditor untuk memangkas defisit dengan mengurangi pengeluaran pemerintah dan merumahkan sebagian pegawai negeri. Bagi seorang sosialis seperti Tsipras, peran besar negara dan birokrasi yang gemuk adalah harga mati. Bumbu nasionalisme kian mengeraskan aroma perlawanan. "Para kreditor sedang menjarah Yunani," tuturnya dengan berapi-api.
Indonesia memang tidak sedang berunding dengan kreditor. Tapi para analis melihat gelagat yang serupa. Pemerintah sekarang kian gemar unjuk gigi dan ingin memainkan peran yang lebih dominan dalam ekonomi. Ini adalah sinyal restrukturisasi ekonomi yang berjalan mundur.
Di tengah turunnya penerimaan pajak, pemerintah seolah-olah mampu berfungsi sebagai motor utama pertumbuhan, menggunakan?badan usaha milik negara untuk mengerjakan berbagai proyek infrastruktur. Semua serba tergesa sehingga tata kelola penunjukan kontraktor, misalnya, agak terabaikan ketika memulai pembangunan jalan tol Sumatera. Pemerintah begitu yakin bahwa pelaku pasar tak akan mampu mengendus fakta di balik upacara.
Dalam hal pangan, pemerintah lebih agresif. Model badan penyangga segala macam komoditas yang dulu di zaman sebelum kriris moneter 1998 menjadi sumber persoalan salah urus malah akan hidup lagi atas nama stabilitas harga.
Para pelaku pasar tentu mencerna arah kebijakan yang semakin mirip gaya Tsipras itu. Jangan salah, seperti halnya di Yunani, langkah populis seperti itu selalu mengundang sorak dukungan dari orang banyak. Baru belakangan kita semua akan merasakan getirnya dampak kekeliruan itu. Masalahnya, pasar selalu enggan menunggu lama. Nilai rupiah yang kian tak berharga seharusnya adalah cermin yang layak kita percayai. l
*) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo