Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa membuka luka lama Kementerian Sosial. Dia menyinggung lagi masalah data bansos yang tak akurat.
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial Agus Zainal Arifin mengatakan tak ada nama-nama pejabat struktural eselon I dan II Bappenas dalam DTKS.
Suharso menegaskan bahwa Regsosek tak akan menggantikan DTKS, tapi bisa dipadupadankan. Bappenas sebagai wali data membuka akses data Regsosek kepada kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah. Harapannya, data ini tidak hanya digunakan untuk mengatasi
DALAM forum peluncuran Kolaborasi Pemanfaatan Sistem Data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), Kamis, 20 Juni lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa membuka luka lama Kementerian Sosial. Dia menyinggung lagi masalah data bantuan sosial atau bansos yang tak akurat. "Sering saya sampaikan dalam beberapa kesempatan bahwa eselon I di Bappenas bisa terima bansos," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu ketiga kalinya Suharso mengungkit kesalahan data bansos. Ia pertama kali menyampaikan masalah tersebut pada 2021, saat mengetahui eselon I di lembaganya mendapat kiriman bantuan langsung tunai. Yang kedua kali, ia mengungkitnya saat mempersiapkan Regsosek pada 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Regsosek merupakan sistem data anyar pemerintah. Bappenas bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri menginisiasi pembentukan basis data baru untuk menjadi rujukan nasional. Sumbernya dari survei sosial-ekonomi seluruh penduduk Indonesia yang dilakukan Badan Pusat Statistik.
Pada 2022, BPS mendata beragam variabel, seperti kependudukan, keterangan perumahan, kepemilikan aset, kepesertaan program, kepemilikan usaha, disabilitas, ketenagakerjaan, pendidikan, dan akses informasi komunikasi. Secara total, BPS mendata 82,5 juta keluarga untuk Regsosek.
Dengan banyaknya variabel ini, pemeringkatan kesejahteraan masyarakat dalam Regsosek bisa lebih mendetail hingga ke level persentil terendah sampai tertinggi. Inilah yang membedakannya dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi basis data untuk bansos. DTKS, yang diampu Kementerian Sosial, terdiri atas informasi desil 1-4 atau 10-40 persen kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah. Namun tak ada pemeringkatan di dalamnya.
Berbicara kepada Tempo, Suharso mengatakan pemeringkatan ini penting. Salah satunya untuk mengatasi kemiskinan ekstrem menjadi nol persen tahun ini. Mereka adalah masyarakat yang masuk kelompok desil 1. Saat ini pemerintah menggunakan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), yang juga punya sistem pemeringkatan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem. Sumbernya dari data keluarga yang dikelola Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional lantaran tak ada pemeringkatan dalam DTKS.
Regsosek juga bisa digunakan untuk membantu penyaluran bansos bagi masyarakat miskin. Dengan data yang lebih lengkap, pemerintah yakin masalah salah sasaran penyaluran bansos bisa selesai. "Di tiap desil, profil masyarakatnya berbeda-beda sehingga intervensi pemerintah juga akan berbeda," kata Suharso, kemarin.
Data bansos pernah menjadi sorotan sejumlah lembaga lantaran tak akurat. Pada 2020, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 10,9 juta data nomor induk kependudukan (NIK) dan 16,3 juta kartu keluarga yang tidak valid. Pada tahun yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 97,2 juta dan 16,7 juta data yang tidak padan dengan data NIK pada data kependudukan dan pencatatan sipil.
Keluarga penerima manfaat membawa beras bantuan sosial pangan di Kantor Pos Tanjung Priok, Jakarta, 19 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Bappenas mencatat rata-rata akurasi penyaluran bansos pada 2022 hanya 44,7 persen. Tahun ini Bappenas mencatat sekitar 46 persen penerima bansos tidak tepat sasaran akibat exclusion dan inclusion error. Exclusion error adalah kesalahan data akibat tidak memasukkan rumah tangga miskin yang seharusnya ke dalam data. Sedangkan inclusion error terjadi ketika data rumah tangga tidak miskin justru masuk ke basis data.
Tidak akuratnya data tersebut menjadi salah satu alasan pembentukan Regsosek. Sejumlah sumber Tempo menyatakan proyek yang dirancang pada 2022 ini mendapat penolakan karena bisa menggantikan DTKS. Kementerian Sosial serta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan termasuk pihak yang menolak.
Selain itu, Regsosek dianggap tak efisien karena harus menyensus ulang dan membutuhkan dana. Kementerian Keuangan menggulirkan anggaran sebesar Rp 4,17 triliun untuk program tersebut. Padahal pemerintah sudah punya data P3KE yang variabelnya tak jauh berbeda.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pernah menyatakan ada cara yang lebih efisien ketimbang menggelar sensus lagi lewat program Regsosek. "Menurut pandangan kami, akan lebih baik apabila pelaksanaan Registrasi Sosial Ekonomi menggunakan data yang sudah ada," ujarnya kepada Tempo, 25 Oktober 2022. Dia memilih memperbaiki basis data yang ada. Saat dimintai konfirmasi kembali mengenai sikapnya sekarang setelah muncul basis data baru lewat Regsosek, Muhadjir tak memberi jawaban.
Kemarin, Suharso menegaskan bahwa Regsosek tak akan menggantikan DTKS. "Kami tidak meniadakan data yang lain, tapi bisa saling dipadupadankan," ucapnya. Bappenas sebagai wali data membuka akses data Regsosek kepada kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah. Harapannya, data ini tidak hanya digunakan untuk mengatasi kemiskinan, tapi juga kebutuhan lain, misalnya harmonisasi kebijakan antar-institusi.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Teguh Setyabudi menuturkan pemadanan data Regsosek dengan data milik lembaganya sedang berjalan. Hingga Februari 2022, dari 232 juta data penduduk, baru 214 juta data yang selesai dipadankan atau setara dengan 95,47 persen. "Mudah-mudahan pemadanan ini bisa kami lakukan dengan cepat. Dalam satu atau dua bulan ini sudah harus kami selesaikan," tuturnya. Kementerian Dalam Negeri juga sudah mulai mensosialisasi Regsosek kepada pemerintah daerah dan mengimbau mereka menggunakan basis data tersebut.
Seorang buruh tani membawa kantung bantuan sosial di Desa Panenjoan, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 18 September 2023. TEMPO/Prima mulia
Sehari setelah Suharso mengungkit masalah data bansos yang tak akurat, Kementerian Sosial bereaksi. Mereka mengecek ulang nama pejabat struktural eselon I dan II Bappenas, termasuk staf khusus, dalam DTKS untuk memastikan tak ada lagi kasus salah sasaran penerima bansos.
Staf Khusus Menteri Bidang Pengembangan SDM dan Program Kementerian Sosial Suhadi Lili mengatakan seharusnya Suharso menyebutkan nama pejabat eselon I itu. "Tunjuk hidung saja siapa yang tidak layak itu," kata Suhadi saat memberikan keterangan pers di kantor Kementerian Sosial, Cawang, Jakarta, Jumat, 21 Juni lalu.
Suhadi menuturkan pernyataan Suharso yang tak menyebutkan nama anak buahnya di Bappenas itu hanya insinuasi. Seharusnya, kata dia, Suharso menyebutkan nama pejabat itu untuk dievaluasi bersama.
Adapun Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial Agus Zainal Arifin mengatakan tak ada nama-nama pejabat struktural eselon I dan II Bappenas dalam DTKS. Agus menyatakan Kementerian Sosial juga berbicara ihwal akurasi DTKS. Dia menyebutkan kementeriannya terus berbenah. Sejak April 2021, pembenahan dilakukan dengan mengharmonisasi data bersama pemerintah daerah. Dari partisipasi pemerintah daerah, terdapat perbaikan data 48 juta jiwa. Kementerian Sosial pun memperbarui data setiap bulan. Saat ini terdapat 23,3 juta jiwa yang masuk usulan baru dan 9,2 juta jiwa yang sudah dikeluarkan dari DTKS karena tidak lagi layak mendapat bansos.
Agus menambahkan, data tersebut dimutakhirkan melalui proses verifikasi berjenjang dari rukun tetangga dan rukun warga. Kemudian hasilnya dibawa dalam musyawarah desa atau kelurahan untuk disahkan kepala daerah masing-masing. Kementerian juga memadankan data dengan data milik kementerian dan lembaga lain. "Karena itu, tidak benar jika dikatakan bahwa 46 persen data penerima bansos salah sasaran," ujarnya.
Menurut Agus, Kementerian Sosial mempertimbangkan kelayakan penerima bansos berdasarkan beberapa indikator, seperti data kependudukan, pelanggan listrik, pengurus perusahaan, penerima upah di atas upah minimum provinsi, serta aneka parameter yang menunjukkan kondisi ekonomi calon penerima. Masyarakat bisa ikut berpartisipasi memvalidasi data tersebut dengan mengajukan sanggah dan usulan lewat aplikasi Cek Bansos. "Jadi, dengan mekanisme berlapis seperti itu, semestinya tidak ada bantuan sosial yang salah sasaran," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.