Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkenalan Ivan Hartanto dengan komunitas petani kopi di Kabupaten Dogiyai, Papua, belum terlalu lama: tak sampai empat bulan. Tapi, dalam masa yang singkat itu, ia sudah bisa memahami kesulitan para petani kopi Dogiyai dalam mencari pasar bagi hasil panen mereka. Petani, kata Ivan, harus bertahan di tengah persaingan produk kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Harga komoditas yang belakangan jatuh sangat mempengaruhi kesejahteraan warga.
“Pemanen kopi Dogiyai merasa dipandang sebelah mata. Padahal potensi produk mereka cukup besar,” ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Tersentuh oleh kesulitan yang dialami para petani, alumnus Universitas California Berkeley itu kemudian menawarkan perusahaan digital tempatnya bekerja sebagai akses dagang baru untuk produk kopi Dogiyai. Kini, petani Dogiyai bisa berkolaborasi dengan Belift, usaha rintisan yang berfokus pada kegiatan pengenalan kopi asli daerah, baik lewat perdagangan langsung maupun platform e-commerce.
Ivan merupakan pendiri proyek kolaborasi Belift Dogiyai. Sejatinya, usaha rintisan ini bergerak di bawah payung Belift Coffee, perusahaan rintisan kopi asal San Francisco, Amerika Serikat, yang mengusung misi sosial. Berdiri sejak 2019, Belift sudah menggandeng 10 kelompok petani kopi di berbagai daerah. “Kami tak ingin kopi hanya sebatas gaya hidup, tapi juga dibanggakan sebagai produk lokal. Selain rasa, ada cerita perjuangan para petaninya.”
Setelah membentuk tim relawan yang berisikan delapan anggota, termasuk dirinya, Ivan mengungkapkan, masa-masa awal proyeknya tidak berjalan mudah. Penyebabnya, proyek ini dikerjakan dari jauh selama masa pembatasan sosial berskala besar. Ivan, yang berdomisili di Amerika Serikat, harus mengkoordinasi anggotanya yang tersebar di lima daerah di Indonesia. Sebagian anggotanya—rata-rata berusia 20-21 tahun—masih satu almamater dengan Ivan. Sedangkan sisanya dikumpulkan lewat lowongan yang disebar di media sosial.
Setelah solid, tim menargetkan penjualan 500 kilogram biji kopi mentah (green beans coffee). Jumlah itu merupakan separuh dari sisa panen petani Dogiyai yang belum laku pada tahun ini. Belift pun ikut mengolah green beans dan bakal menjual sekitar 2.000 kotak yang masing-masing berisikan 200 gram roasted beans, baik yang gilingan kasar maupun yang halus serupa kopi tubruk. “Sekarang sudah lebih dari 400 kotak yang terjual melalui Tokopedia, dan ada 300 petani Dogiyai yang terbantu,” kata dia.
Menurut Ivan, timnya berkomitmen mengembalikan semua laba dari penjualan kepada petani hingga 15 November nanti. Mereka memproyeksikan pendapatan Rp 75 juta. Laba tersebut dapat dipakai oleh koperasi petani Dogiyai untuk membenahi infrastruktur panen dan gudang agar kualitas biji kopi meningkat. Setelah itu, barulah Ivan dan rekan-rekannya membahas pengembangan produk dengan pasar yang lebih luas. “Kami sudah punya calon investor. Sedangkan soal produk masih harus dikembangkan berdasarkan masukan konsumen,” ucapnya.
Di sela-sela pemasaran produk yang masih berfokus pada media sosial, Belift Dogiyai Project pun menyebarkan kisah budaya para petani kopi lokal. Hanya dalam waktu dua bulan, kata dia, konten proyek Dogiyai di Instagram dicari oleh 62 ribu akun. Ivan pun berniat membawa produk tanah Papua itu ke perhelatan Specialty Coffee Expo yang akan berlangsung di New Orleans, tahun depan. Ivan berniat mengikuti jejak sejumlah pejuang merek lokal yang mengangkat nilai-nilai sosial, seperti SukkhaCitta untuk tekstil dan Krakakoa untuk olahan cokelat. “Kami pelopor untuk kopi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YOHANNES PASKALIS
Belift Dogiyai Project: Menjajakan Kopi dan Cerita
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo