Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berharap Bantuan Cina Kembangkan Energi Bersih

Indonesia berharap dukungan Cina dalam mengembangkan energi terbarukan. Investasi Cina menjadi alternatif setelah JETP mandek.

19 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah diminta teliti dalam menerima investasi energi terbarukan dari Cina.

  • Negara-negara maju enggan membiayai pensiun dini PLTU batu bara.

  • Indonesia dan Cina menyepakati rencana pembangunan pabrik baterai oleh IBC dan CATL.

JAKARTA — Pemerintah diminta tetap teliti dalam menerima investasi energi terbarukan dari Cina, khususnya dalam rincian mekanisme pendanaannya. Terlebih, Cina berencana menggelontorkan investasi di energi bersih melalui kerangka Belt and Road Initiatives.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Minat Cina mengembangkan energi terbarukan di Indonesia adalah kabar gembira, tapi pengembangan ini akan semakin memberatkan keuangan negara jika menggunakan sistem utang," ujar pengkampanye energi dan iklim Greenpeace Asia Tenggara, Hadi Priyanto, kepada Tempo, kemarin.

Di samping itu, pemerintah mesti melihat skema investasi dari Cina ini nantinya. Sebab, Cina biasanya mengajukan investasi dengan sistem all-in alias pekerja dan bahan baku didatangkan dari Negeri Panda. Hal ini dinilai kurang membantu Indonesia untuk berdaulat dan mengembangkan teknologinya sendiri.

Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Cina Xi Jinping, Presiden Joko Widodo memang sempat meminta adanya implementasi kerja sama kelistrikan kedua negara untuk memperkuat ketahanan energi. Jokowi mengatakan Indonesia saat ini sedang mempercepat penambahan pembangkit energi baru dan terbarukan sebesar 60 gigawatt hingga 2040.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca juga: 
Tantangan Harga Hidrogen Hijau
Setengah Hati Membiayai Transisi Energi
Terkucil Akibat Kredit Energi Fosil


Pelaksana tugas Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Erick Thohir, menyatakan kemitraan dengan Cina ini akan berjalan paralel dengan kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga saat ini, kemitraan transisi energi senilai US$ 20 miliar itu masih belum berjalan mulus. 

Banyak pejabat senior Indonesia mengeluhkan bahwa negara-negara maju enggan membiayai pensiun dini pembangkit-pembangkit listrik tenaga batu bara. Di samping itu, ada keluhan bahwa pinjaman di bawah skema JETP akan dikenakan bunga tinggi. Rencananya, pemerintah mengumumkan rencana investasi untuk JETP itu pada November mendatang, mundur tiga bulan dari target awal. 

Erick Thohir mengatakan Indonesia tidak bisa menunggu lama untuk pendanaan transisi energi ini dan akan membuka kerja sama dengan negara mana pun yang bersedia membantu Indonesia mencapai target iklimnya: nol emisi atau net zero emission pada 2060. Namun kerja sama itu tetap harus sesuai dengan persyaratan Indonesia.  

Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia membutuhkan investasi mencapai US$ 1 triliun hingga 2060 untuk membangun pembangkit dan transmisi energi terbarukan. Karena itu, pemerintah kian getol mengundang lebih banyak mitra internasional untuk mengejar target transisi energi bersih tersebut. 

Menghasilkan 31 Kesepakatan Bisnis 

Presiden Joko Widodo menghadiri Forum Bisnis Indonesia-Cina di Beijing, Cina, 16 Oktober 2023. ANTARA/Desca Lidya Natalia

Dalam kesempatan lain, setelah Forum Bisnis Indonesia-Cina yang dihadiri Presiden Jokowi pada 17 Oktober, Erick menyebutkan forum tersebut telah menghasilkan kesepakatan kerja sama senilai US$ 13,7 miliar. Kesepakatan tersebut diteken oleh badan usaha milik Negara ataupun swasta dari dua negara. 

Total ada 31 kesepakatan, sembilan di antaranya melibatkan BUMN. Proyek yang melibatkan perusahaan pelat merah salah satunya rencana pembangunan pabrik baterai, di antaranya Indonesia Battery Corporation (IBC) dengan Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL). "Itu yang sudah kesepakatan. Potensinya ada lagi US$ 29 miliar. Kerja sama BUMN dan swasta masih bisa ditingkatkan," tutur Menteri BUMN tersebut.   

Dalam forum bisnis yang sama, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga tercatat meneken sembilan kerja sama dengan berbagai perusahaan asal Cina dengan valuasi sebesar lebih dari US$ 54 miliar. Misalnya, nota kesepahaman (MoU) dengan State Grid Corporation of China (SGCC) dan Trina Solar China dalam pengembangan smart grid sebagai tulang punggung kelistrikan energi bersih di Indonesia.

Bersama Trina Solar pula nantinya PLN Indonesia Power beserta dua perusahaan swasta, yakni Sinar Mas dan Agra Surya, membentuk perusahaan patungan guna membangun pabrik sel serta panel surya di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah.

Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari mengatakan Indonesia masih memiliki banyak peluang kerja sama dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Contohnya, pengembangan pembangkit listrik tenaga air yang potensinya mencapai 95 gigawatt, pembangkit listrik tenaga surya 26,6 GW, pembangkit listrik angin lepas pantai 7,5 GW, hingga implementasi lainnya, seperti dedieselisasi. 

Pengembangan energi terbarukan tersebut masih terus dipacu lantaran hingga Juni 2023 porsi energi baru dan terbarukan nyatanya baru 12,13 persen dari total kapasitas terpasang pembangkit di wilayah pengusahaan PLN yang sebesar 70,29 GW. Padahal pemerintah mematok target bauran energi terbarukan mencapai 23 persen pada 2025.

Panel tenaga surya yang terpasang di kawasan peta area terdampak (PAT) lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, 24 September 2023. ANTARA/Umarul Faruq

Waspada Klausul Pembiayaan Cina

Peneliti dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Muhammad Zulfikar Rahmat, mengatakan langkah pemerintah menggaet investasi Cina untuk memacu investasi energi terbarukan adalah langkah yang logis karena investasi Cina biasanya cepat disepakati dan tidak banyak memberi syarat. "Konsekuensinya banyak investasi Cina yang merusak lingkungan, mengalami cost overrun (pembengkakan biaya), dan lainnya."

Karena itu, meskipun investasi Cina menjadi alternatif pembiayaan yang cepat, ia mewanti-wanti pemerintah agar meminta kejelasan detail kerja sama sejak awal. Misalnya, ihwal bunga pinjaman dan perkara teknis lainnya. Berkaca dari realisasi investasi yang ada, pada akhirnya perjanjian kerja sama yang disepakati di awal banyak berubah setelah proyek berjalan. 

Analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, sepakat bahwa banyak hal yang perlu dipastikan bila pada akhirnya Cina menjadi mitra utama pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Misalnya, agar proyek-proyek tersebut nantinya tidak benar-benar bergantung kepada barang impor dan harus menyerap bahan baku dari dalam negeri. 

Di samping itu, perlu ada klausul yang jelas tentang transfer teknologi dan pengutamaan pekerja domestik. "Soal pembiayaan juga harus jelas dan tuntas. Jangan ada utang terselubung atau peningkatan pembiayaan yang ditanggung hanya oleh satu pihak," kata dia. Di luar itu, ia mengatakan Cina memang cukup terdepan dalam pengembangan energi terbarukan karena menguasai hampir 80 persen produksi panel surya dunia. 

CAESAR AKBAR | ANTARA | REUTERS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus