Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapor PT Pertamina bakal makin kinclong mulai triwulan kedua tahun ini. Harga minyak yang kembali meroket menjadi salah satu indikasinya. Setelah terbenam jauh di bawah US$ 40 per barel pada akhir Februari 2009, kini harga minyak sudah naik berlipat dua menjadi US$ 72 per barel. Memang tak akan sedahsyat tahun lalu ketika minyak diperjualbelikan pada harga di atas US$ 145, harga tahun ini diperkirakan akan stabil di US$ 70-an.
Tiga bulan pertama tahun ini, keuntungan Pertamina cuma Rp 3,6 triliun. Bandingkan dengan triwulan pertama tahun lalu, yang mencapai Rp 8,1 triliun. Dengan harga minyak dua kali lipat dibanding harga awal tahun, triwulan kedua tahun ini diperkirakan Pertamina bakal menangguk laba bersih jauh lebih besar. Harga penutupan Jumat pekan lalu di pasar New York (US$ 72,41 per barel) adalah harga tertinggi dalam delapan bulan terakhir.
Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan kenaikan harga kali ini bukan lantaran faktor fundamental. Konsumsi bensin Amerika, kata dia, memang meningkat selama musim panas. Tapi peningkatannya cuma 150 ribu barel per hari. Ia menduga harga dikerek oleh para spekulan. Persis seperti tahun lalu. Pemodal menyerbu pasar komoditas, terutama minyak, karena suku bunga simpanan dalam dolar Amerika sudah sangat rendah dan mata uang dolar sedang melemah.
Booming harga minyak juga diperkirakan karena stok Amerika Serikat susut. Rabu pekan lalu, Badan Energi Internasional alias IEA melaporkan cadangan minyak Negeri Abang Sam turun tajam sebesar 4,4 juta barel. Akibatnya, produk kilang pun berkurang. Persediaan bensin, misalnya, turun 1,6 juta barel. Minyak diesel dan heating oil turun 300 ribu barel.
Sebaliknya, terjadi tren peningkatan permintaan sebesar 0,4 persen. Laporan ”IEA Outlook” soal permintaan minyak dunia pada 2009, seperti dilansir Reuters pekan lalu, menunjukkan kenaikan harga terjadi empat minggu selama musim panas (driving season). Hal itu memperlihatkan bahwa tanda-tanda penurunan konsumsi telah melewati titik dasar.
Pasar komoditas pun langsung merespons. Minyak jenis light sweet untuk pengiriman Juli menyentuh US$ 72,18 per barel pada awal perdagangan—namun kemudian ditutup di posisi US$ 71,61 per barel. Sedangkan minyak Brent North Sea untuk pengiriman Juli naik US$ 20 sen menjadi US$ 71.
Di Indonesia, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral merilis, rata-rata harga minyak mentah Indonesia atawa ICP pada Mei lalu sudah US$ 57,86 per barel, meningkat dibanding April, US$ 50,62. Diperkirakan harga akan menanjak lagi pada Juni, sebagai respons positif atas pemulihan perekonomian global. Kebijakan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mempertahankan kuota produksi juga mendorong penguatan harga.
Departemen Keuangan sebagai bendahara negaralah yang paling ketar-ketir dengan kenaikan harga ini. Pasalnya, pemerintah masih menomboki selisih harga bahan bakar minyak domestik dengan harga pasar. Hingga akhir Mei, subsidi telah cair Rp 5,892 triliun, 10,07 persen dari jatah tahun ini yang sekitar Rp 58 triliun. Itu belum termasuk subsidi minyak untuk pembangkit listrik yang telah mengucur Rp 13,515 triliun, 29,4 persen dari pagu.
Tapi Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu pernah memastikan anggaran negara tak akan tekor hingga harga minyak Indonesia US$ 70 per barel. Menurut dia, subsidi memang membengkak, tapi bujet masih aman. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 masih surplus akibat kenaikan harga minyak. Penerimaan negara mencapai Rp 41,98 triliun, sementara pembelanjaan Rp 40,6 triliun. Asumsi yang dipakai adalah harga minyak US$ 47,9 per barel, dan kurs Rp 11.193 per dolar Amerika.
Bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kenaikan harga tersebut dilema. Sisi positifnya, menunjukkan perekonomian dunia bergerak lagi. Harga bergeser mendekati normal, mencerminkan nilai produksi yang sebenarnya. Tapi dunia belum bisa melupakan trauma kenaikan harga yang sangat tinggi, mencapai US$ 147 per barel, pada 11 Juli tahun lalu.
Persoalannya, bagaimana bila harga bergerak naik terlalu cepat. Menteri memastikan pemerintah akan memproteksi supaya masyarakat tidak shocked berlebihan. ”Walaupun untuk itu (pemerintah) berdarah-darah,” katanya dalam wawancara dengan Tempo dua pekan lalu.
Tapi, menurut Sri Mulyani, pemberian subsidi dalam kondisi keuangan berdarah-darah tak akan terjaga kelangsungannya. Karena itu, mesti dibatasi, siapa yang pantas mendapatkan dan bagaimana bentuk kebijakannya. Bila masyarakat bebas mengkonsumsi bensin murah, itu berarti yang menikmati subsidi mayoritas adalah pemilik mobil. Sebaliknya, rakyat miskin cuma menikmatinya melalui busway atau angkutan kota.
Nah, seberapa besar ketahanan anggaran negara terhadap kenaikan harga minyak, Sri Mulyani tak menjelaskan detail. Ia mengatakan anggaran negara memuat penerimaan dengan sederet asumsi. Misalnya asumsi harga minyak US$ 40 per barel, nilai tukar Rp 11 ribu per dolar Amerika. Nyatanya, minyak mencapai US$ 60, tapi kurs menguat menjadi Rp 10 ribu. ”Penerimaan pun berubah.”
Intinya, Sri Mulyani menambahkan, tergantung kurs, volume produksi, dan harga minyak. Bila harga naik, asumsi lain tetap, penerimaan dijamin masih positif. Pelemahan nilai tukar berpotensi memberikan dampak negatif. Akan lebih dahsyat jika harga naik dan rupiah menguat. ”Kita mendapat double gain.”
Masalahnya, kata Sri Mulyani, produksi minyak mentah nasional juga menentukan realisasi anggaran: apakah bisa memenuhi target 960 ribu barel per hari. Pemerintah berharap dari Blok Cepu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebesar 20 ribu barel per hari. Nyatanya, sampai Mei lalu, minyak Cepu belum mancur.
Jika target 20 ribu barel tersebut tak terealisasi, kata Menteri Sri Mulyani, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini akan bolong. Tapi Menteri mengatakan Departemen Energi dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menjamin akhir tahun ini berproduksi. ”Saya tidak bisa bilang tidak percaya mereka.”
Realisasi produksi minyak nasional pada empat bulan pertama tahun ini memang masih di bawah target, yakni 954 ribu barel per hari. Tapi Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo awal Juni lalu berjanji pemerintah mengupayakan tambahan produksi dari Cepu. Targetnya, Agustus atau September sudah bisa menghasilkan 15 ribu barel per hari.
Toh, pemerintah tak ingin kehilangan momen harga minyak mahal. Bulan ini, BP Migas akan melego 1 juta barel stok minyak nasional. Menurut Kepala BP Migas R. Priyono, penjualan diutamakan kepada PT Pertamina, yang rencananya akan dibicarakan Selasa pekan ini. Soal harga disesuaikan dengan Indonesian Crude Price. Diharapkan realisasi lifting naik dari rata-rata 941 ribu barel per hari pada akhir Mei menjadi 946-950 ribu di akhir Juni.
Pertamina, kata juru bicaranya, Basuki Trikora Putra, siap menjadi pembeli. Yang penting kompetitif. ”Kalau harga sesuai, kenapa tidak?” katanya. Dengan penjualan tersebut, stok minyak nasional akan berkurang menjadi 9 juta barel, dari posisi akhir Mei 10,3 juta barel.
Pemerintah juga menjamin tak akan menaikkan harga bensin bersubsidi kendati harga minyak terus menanjak. Departemen Energi, dalam siaran pers yang dirilis akhir pekan lalu, memastikan pemerintah tidak akan merevisi harga bahan bakar minyak untuk keperluan rumah tangga, usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum untuk periode 15 Juni-15 Juli 2009. Maka premium tetap Rp 4.500 per liter, solar Rp 4.500, dan minyak tanah Rp 2.500.
Keputusan tersebut didasari hasil monitoring dan evaluasi perkembangan harga minyak mentah dan produk di pasar dunia selama sebulan terakhir. Kenaikan harga minyak ternyata juga diimbangi dengan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Realisasi subsidi pun masih dalam batas aman.
Senada dengan Departemen Energi, Menteri Sri Mulyani mengatakan belum ada urgensi untuk melakukan penyesuaian. Bila rata-rata harga minyak dunia US$ 70 sampai akhir tahun, rata-rata ICP masih US$ 50. ”Kalau average masih di US$ 70, harga bensin masih tetap sama.”
Perkiraan harga ke depan inilah yang tak seragam. Goldman Sachs, misalnya, merevisi ramalan harga minyak mentah jenis light sweet menjadi rata-rata US$ 75 per barel pada paruh kedua tahun ini, naik dari perkiraan sebelumnya, US$ 52. Malah diperkirakan menembus US$ 85 pada akhir 2009, dan naik ke posisi US$ 95 pada 2010. ”Secara keseluruhan, ada empat tahap rally harga minyak pada 2009 dan 2010,” demikian laporan Goldman Sachs kepada kliennya.
Kurtubi memprediksi harga minyak bisa mencapai US$ 100 pada akhir tahun. Tentu perkiraan ini bersifat fluktuatif karena pelaku pasar bisa saja melakukan aksi ambil untung (profit taking) jika harga sudah dianggap terlalu tinggi. Harga bisa lebih ”gila”, tahun depan, bila perekonomian global kian membaik dan OPEC tidak meningkatkan kapasitas produksi.
Sebaliknya, tim harga minyak Departemen Energi mengidentifikasi sederet faktor yang dapat menurunkan harga. Di antaranya revisi perkiraan pertumbuhan ekonomi global oleh OPEC, yang turun 1,4 persen dibanding perkiraan sebelumnya. Selain itu, tingkat kepatuhan negara-negara OPEC terhadap kesepakatan pengurangan produksi pada April 2009 turut melemahkan harga. Agaknya masih terlalu dini baik untuk bergembira maupun khawatir.
Retno Sulistyowati, Sorta Tobing, Desy Pakpahan, Viva Kusnandar (PDAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo