Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pengkajian yang berlarut-larut sempat mewarnai kenaikan tarif angkutan penyeberangan atau feri. Pemerintah butuh waktu lebih dari tiga pekan sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 3 September lalu untuk menetapkan kenaikan tarif ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal para pengusaha angkutan penyeberangan yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) telah mengusulkan kenaikan tarif itu dua hari setelah harga BBM naik, yakni pada 5 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu, melalui surat yang ditandatangani Ketua Umum Gapasdap, Khoiri Sutomo, para operator penyeberangan meminta adanya penyesuaian tarif lantaran biaya operasional terkena dampak kenaikan harga solar dan Pertalite. Bahan bakar selama ini memiliki porsi 40 persen dari biaya yang dikeluarkan operator untuk berlayar.
Dua hari setelahnya, 7 September 2022, Kementerian Perhubungan, yang pada hari itu mengumumkan kenaikan tarif ojek online dan bus antarkota-antarprovinsi, turut memberikan isyarat ihwal kenaikan tarif angkutan penyeberangan.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Hendro Sugiatno, mengatakan kenaikan tarif akan dilakukan dalam waktu dekat, tapi pihaknya masih menghitung penyesuaian tarif tersebut. Khoiri menyebutkan kala itu asosiasi bersama pemerintah menghitung kenaikan tarif yang sesuai, dengan berlandaskan formulasi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2019.
Dari penghitungan tersebut, didapati bahwa kenaikan tarif seharusnya minimal 40 persen untuk memenuhi harga pokok produksi dan menutup kenaikan harga BBM. Apabila kenaikannya tidak bisa sebesar itu, operator mengusulkan kenaikan sebesar separuhnya alias 20 persen.
Namun, menurut Khoiri, pemerintah tidak sepakat dengan usulan tersebut. Ia mendapat informasi bahwa Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta penyesuaian tarif tidak lebih dari 11,79 persen rata-rata untuk semua lintasan alias jauh di bawah harapan operator.
“Angka-angka yang telah dihitung secara detail dan panjang itu akhirnya ditawar sangat rendah oleh Menhub. Ini tentu akan mempertaruhkan standar keamanan dan pelayanan yang diatur dalam peraturan Menteri Perhubungan,” ujar Khoiri.
Usulan Operator Ditolak
Angin segar bagi para pelaku usaha penyeberangan sempat berembus setelah adanya sosialisasi dari Kemenhub ihwal Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 172 Tahun 2022 tentang tarif penyelenggaraan angkutan penyeberangan kelas ekonomi lintas-antarprovinsi dan lintas-antarnegara pada Kamis, 15 September lalu.
Dalam sosialisasi tersebut, para operator diberi tahu bahwa akan ada kenaikan tarif dengan besaran rata-rata 11,79 persen di 23 lintasan mulai Senin, 19 September 2022. Meskipun angka kenaikan tarif itu masih di bawah harapan, para operator menerima keputusan tersebut lantaran tidak ingin pembahasan menjadi berlarut-larut.
Sekretaris Jenderal Gapasdap, Aminuddin Rifai, menuturkan para operator memikul beban berat bahkan sebelum adanya kenaikan harga BBM. Setelah harga BBM naik, biaya operasional kapal penyeberangan makin membengkak. “Bukan tidak mungkin operator kapal akan berhenti beroperasi karena tidak mampu lagi membeli BBM,” ujarnya saat itu.
Masalahnya, kebijakan penyesuaian tarif yang telah disosialisasi itu ternyata batal diterapkan sesuai dengan tanggal yang dijanjikan. Gapasdap menyebutkan kebijakan itu layu sebelum berkembang. Sejak tanggal pemberlakuan pada 19 September 2022 terlewati, Kementerian Perhubungan diklaim tidak memberikan penjelasan kepada operator ataupun mencabut peraturan yang sudah diteken itu.
Saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan aturan yang telah disosialisasi itu perlu dikaji ulang oleh kementerian. Salah satunya karena masih ada keberatan dari beberapa pemangku kepentingan.
Menurut Adita, kementerian ingin memastikan penyesuaian tarif itu mempertemukan kepentingan semua pihak, seperti operator dan konsumen kapal penyeberangan, termasuk pelaku usaha logistik dan pengemudi truk barang.
Penolakan dari Sektor Logistik
Truk memasuki Pelabuhan Merak di Banten, Jawa Barat, 7 Juli 2022. TEMPO/Subekti
Rencana kenaikan tarif angkutan penyeberangan memang mendapat reaksi dari sektor logistik lantaran kenaikan tarif tersebut diperkirakan menambah ongkos logistik, yang juga sudah membengkak akibat kenaikan harga BBM.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, mengatakan kenaikan tarif penyeberangan hingga 11,79 persen akan membuat ongkos angkutan melonjak sekitar 6 persen. Dengan adanya kenaikan ongkos sebesar 25 persen akibat melambungnya harga BBM, ongkos angkut diperkirakan naik 31 persen dari kondisi normal. “Kalau serentak menaikkan tarif, dampaknya sangat besar terhadap inflasi atau beban masyarakat,” ujarnya.
CEO PT Lookman Djaja Logistics, Kyatmaja Lookman, mengatakan kenaikan tarif angkutan penyeberangan dikhawatirkan memberatkan industri. “Angkutan ke luar pulau otomatis akan mengalami kenaikan harga. Sedangkan kami, di angkutan, akan sulit bernegosiasi dengan pemilik barang, mengingat kenaikan harga solar baru terjadi,” katanya.
Di tengah simpang-siur kenaikan tarif penyeberangan itu, sejumlah operator kapal penyeberangan dipanggil oleh Kementerian Perhubungan pada Selasa sore, 27 September lalu. Pertemuan yang dipimpin oleh Hendro Sugiatno itu merembukkan rencana kenaikan tarif angkutan. “Bapak Dirjen mendengarkan aspirasi kami,” ujar Khoiri Sutomo pada hari itu.
Khoiri menuturkan, dalam pertemuan itu, pengusaha juga mengusulkan persentase kenaikan tarif penyeberangan. “Kami boleh memberikan usulan perubahan untuk tarif baru tersebut. Beliau (Dirjen Hendro) menyampaikan hanya Al-Quran dan kitab suci yang tidak bisa diubah. Alhamdulillah, komunikasi mulai tune in,” ucap Khoiri.
Selepas pertemuan itu, Khoiri mengatakan operator kapal diberi janji akan diberi tahu ihwal rencana persentase kenaikan tarif tersebut sebelum diumumkan kepada publik. Hingga kemarin pagi, Gapasdap menyatakan masih belum menerima angka-angka yang dijanjikan tersebut.
Belum juga para operator menerima hitung-hitungan yang dijanjikan, Kemenhub sudah mengumumkan kenaikan tarif angkutan penyeberangan pada kemarin sore. “Padahal biasanya, sebelum dirilis ke media, informasi penyesuaian tarif itu diberikan kepada operator kapal.”
Direktur The National Maritime Institute, Siswanto Rusdi, melihat maju-mundur penetapan tarif angkutan penyeberangan ini menunjukkan adanya perbedaan perhatian pemerintah dalam menetapkan kebijakan tarif angkutan transportasi.
“Penerbangan, mungkin karena orang elite yang naik, diberi perhatian penuh. Dibantu segala macam. Nah, pengusaha kapal feri swasta, siapa yang mau bantu? Enggak ada. Padahal mereka yang merajut transportasi Indonesia,” ujar Siswanto.
Siswanto berharap Kemenhub memanfaatkan waktu enam bulan ke depan untuk mengkaji kembali penyesuaian tarif ini serta mengambil kebijakan terobosan untuk menyokong industri angkutan penyeberangan. Misalnya dengan memberikan pelonggaran-pelonggaran biaya yang bisa dikendalikan pemerintah, seperti perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Ia mengatakan kebijakan-kebijakan terobosan itu diperlukan ketimbang sekadar penyesuaian tarif.
“Kalau enggak, setiap ada perubahan harga BBM, pasti akan gejolak terus karena akan tarik-menarik sama logistik, mbulet. Tanpa itu, kenaikan tarif hingga 20 persen pun tidak akan menyelesaikan permasalahan operator feri swasta,” ujar Siswanto.
CAESAR AKBAR | IDHAM VIRYAWAN | KHORY ALFARIZI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo