Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan fintech berbenah menyambut pengenaan PPh dan PPN.
Tarif PPN yang dikenakan sebesar 11 persen.
Pengenaan PPN Fintech menghadirkan kesetaraan perlakuan.
JAKARTA — Pelaku industri jasa teknologi finansial alias fintech akan menyesuaikan kegiatan operasionalnya menjelang penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyelenggaraan teknologi finansial. Ketentuan PPN Fintech itu berlaku mulai 1 Mei mendatang.
Salah satu sektor yang terimbas peraturan baru itu adalah industri peer-to-peer lending alias pinjaman daring (pinjaman online/pinjol). Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Andi Taufan Garuda Putra, menjamin anggota asosiasinya akan mematuhi aturan pajak pinjol tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, AFPI akan turut aktif melakukan pengawasan dan sosialisasi kepada seluruh perusahaan mengenai ketentuan PPN dan PPh. "Supaya perusahaan fintech dapat menyesuaikan dari sisi operasional usaha serta berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait," ujar Taufan kepada Tempo, kemarin.
Berdasarkan PMK Nomor 69 Tahun 2022, penghasilan bunga yang diperoleh pemberi pinjaman dikenai PPh, antara lain PPh Pasal 23 apabila dilakukan wajib pajak dalam negeri dan badan usaha tetap. Tarif PPh 23 adalah 15 persen dari jumlah bruto atas bunga. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dikenai PPh Pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto atas bunga atau sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.
Pungutan pajak nantinya dilakukan oleh layanan pinjam-meminjam terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah ditunjuk pemerintah. Apabila bunga dibayarkan selain melalui penyelenggara layanan pinjam-meminjam yang berizin atau terdaftar di OJK, pemotongan PPh dilakukan oleh penerima pinjaman.
Setelah berlakunya aturan ini, pemotong pajak harus membuat bukti potong pajak untuk diberikan kepada pemberi pinjaman. Perusahaan pinjol juga harus menyetorkan pajak yang telah dipotong ke kas negara dan melaporkannya dalam surat pemberitahuan (SPT) masa pajak penghasilan. Adapun pemberi pinjaman harus melaporkan penghasilan bunga yang diterima dalam SPT tahunan.
Berikutnya, layanan jasa penempatan dana, pemberian pinjaman, ataupun pembiayaan kepada penerima pinjaman juga menjadi jasa kena PPN. Tarif PPN yang dikenakan sebesar 11 persen. Perusahaan peer-to-peer lending akan ditunjuk sebagai pemungut PPN dan wajib menyetorkan serta melaporkan pungutannya kepada negara.
AFPI berharap terbitnya peraturan tersebut tak menyurutkan antusiasme masyarakat, khususnya pelaku UMKM, untuk terus memanfaatkan layanan fintech pendanaan.
Saat ini terdapat 102 penyelenggara fintech pendanaan bersama berizin OJK yang menjadi anggota AFPI. Adapun jumlah rekening penerima pinjaman aktif hingga Desember 2021 tercatat 17,28 juta rekening dengan jumlah pinjaman senilai Rp 24,8 triliun. Angka ini melesat dibanding pada awal 2018 yang jumlah peminjamnya hanya 330.154 rekening dengan total pinjaman Rp 3 triliun.
Pengguna membuka aplikasi pembiayaan peer-to-peer lending syariah untuk UKM, Alami, di Depok, Jawa Barat, 26 November 2020. Dok. TEMPO/Nurdiansah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Sub-Direktorat PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak, Bonarsius Sipayung, memastikan pengaturan yang dilakukan pemerintah akan terus memperhatikan keberlanjutan bisnis, tapi tetap memberikan perlakuan yang setara untuk seluruh sektor usaha. Ia mengatakan jasa yang ditawarkan fintech adalah jasa biasa yang memang terutang PPN. "Kami atur kembali karena beririsan dengan perbankan. Posisinya kami perjelas," ujar dia.
Praktisi digital dan fintech, Tumbur Pardede, menilai kebijakan perpajakan untuk industri fintech, khususnya pinjol, sudah tepat. Pasalnya, seluruh penyelenggara pinjol telah memiliki izin penuh dari OJK. "Artinya, para penyelenggara pinjaman daring yang sudah berizin penuh tidak lagi dikategorikan sebagai start-up yang memerlukan insentif pemerintah, termasuk perpajakan," ujar dia. Ia melihat perusahaan pinjol yang bertindak sebagai perantara pinjam-meminjam sangat erat kaitannya dengan perpajakan, misalnya PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN.
Namun, ia berpendapat, rentang dari terbitnya aturan itu ke penerapannya terlalu pendek. Sebab, penyelenggara fintech butuh waktu untuk menyesuaikan infrastruktur teknologi informasi, berbagai perjanjian kerja sama, serta menyiapkan sumber daya manusia bidang perpajakan. "Sebaiknya diberi waktu minimal enam bulan.”
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Rizal Edi Halim, memahami penerapan pajak di industri teknologi finansial tak hanya soal penerimaan negara, tapi juga untuk memantau setiap transaksi. Namun, ia mengimbuhkan, pemerintah seharusnya mensosialisasi lebih dulu pengenaan pajak di sektor teknologi finansial. Jangan sampai, kata dia, pengenaan pajak memberatkan konsumen. "Konsumen yang mengambil pinjol, kan, dari kalangan menengah ke bawah. Nilai pinjamannya juga mikro dengan bunga tinggi," kata dia.
Sementara itu, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Bawono Kristiaji, menilai pengaturan pajak di sektor keuangan digital memberikan kepastian berusaha. Selama ini, ucap Bawono, pelaku usaha keuangan digital bingung dan merasa statusnya tidak jelas. Selain itu, pada dasarnya pengaturan PPh fintech mengikuti rezim umum yang berlaku saat ini. "Jadi, ini menyiratkan kesetaraan perlakuan," ujar dia.
Di samping itu, peran platform digital sebagai perantara yang diberi tanggung jawab memotong pajak sejalan dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang memberikan kewenangan penunjukan pihak lain sebagai pemotong pajak. "Itu juga selaras dengan praktik internasional yang direkomendasikan OECD, bahwa digital platform fintech bisa berperan sebagai pemotong pajak," kata Bawono.
Berbeda pendapat, peneliti ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, justru khawatir masuknya pajak pada sektor keuangan digital menjadi sentimen negatif bagi industri. Menurut dia, pajak tersebut boleh saja dikenakan, tapi harus melihat waktu yang tepat.
Pemerintah, kata Nailul, punya dua pilihan pendekatan sebelum menerapkan pajak bagi sektor fintech. Pertama, langsung mengenakan pajak kepada masyarakat seperti yang terjadi pada berbagai layanan sektor digital. Dengan cara itu, publik akan merasa harga setelah pajak memang harga layanannya.
Cara kedua adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pengenaan PPN Fintech, termasuk pajak pinjol, sebelum akhirnya menerapkannya. "Tentu yang kedua harus dilakukan jauh sebelum ditetapkan. Tampaknya pemerintah mengambil yang pertama," ujar dia.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo