Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN sapi betina bergerombol di sela-sela pohon kelapa sawit. Area seluas 30 hektare itu dijadikan "kandang" dengan dipagari kawat beraliran listrik sembilan ampere. Di perkebunan milik PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk di Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, ini, PT Sulung Ranch merintis bisnis pengembangbiakan dan penggemukan sapi.
Sapi itu menjilat dan melilitkan lidahnya pada gulma di sekitar pohon sawit. Beberapa lainnya menengadah untuk menggapai daun dan dahan sawit. Bagi yang haus, air dalam bak disediakan oleh dua penjaga. Rabu tiga pekan lalu, Tempo berkesempatan mengunjungi peternakan sapi di lahan sawit milik anak usaha Group Citra Borneo Indah ini.
Menurut Manajer Ternak Sulung Ranch Dwi Hartanto, model peternakan itu dikenal sebagai integrasi sapi-sawit. Salah satu manfaatnya, sapi memakan gulma yang selama ini menjadi hama tanaman sawit. "Jadi kami bisa menekan biaya herbisida," katanya. Sebelumnya, mereka biasa menggunakan bahan kimia itu untuk membasmi gulma di puluhan ribu hektare sawit.
Usaha pembiakan dan penggemukan sapi di lahan perkebunan sawit kini meluas di Indonesia. Santernya upaya ini didorong oleh minimnya stok sapi di Indonesia sehingga membuat harga daging sapi melambung. Pada 2013, defisit pengadaan daging sapi mencapai 80 ribu ton dan akan meningkat menjadi 110 ribu ton tahun depan.
Selain Citra Borneo, sejumlah perusahaan lain melakukan langkah serupa. Mereka antara lain Medco, Astra Agro Lestari, PT Santosa Agrindo (Santori), dan perusahaan sawit milik pemerintah. Santori bersiap menggembalakan sapi di kebun sawitnya di Kalimantan Selatan. "Akan kami mulai pada Januari 2014," kata Dayan Antoni, pejabat Santori.
Adapun Sulung sudah memulai bisnis ini pada 2007 dengan 200 ekor sapi indukan. Sekarang jumlahnya berkembang menjadi 347 ekor. Menurut Dwi, peternakan di lahan luas dinilai paling cocok untuk pengembangbiakan atau breeding. Sebab, sapi dapat bergerak bebas dengan pasokan pakan yang berlimpah.
Kondisi seperti itu membuat sapi betina gampang mendapatkan fase berahi, sehingga mudah dibuahi pejantan. Dwi menyatakan sapi miliknya terbilang subur, dengan tingkat kelahiran mencapai 82 persen. Pada Juni lalu, kata Dwi, perseroan mendatangkan 300 ekor sapi indukan jenis BX (Brahman Cross) dari Bandung.
Pieters Ndoa, Manajer Sulung Ranch, menceritakan selama setahun sapi pejantan dimasukkan ke gerombolan betina itu. Satu pejantan mampu membuahi 20 ekor betina. Setelah tiga bulan, peternak memisahkan kembali sang jantan. Betina bunting dikelompokkan tersendiri. Adapun yang tak bunting dikawinkan ulang. Jika tak kunjung bunting, sapi akan digemukkan dan dipotong.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro, mengatakan peternakan di kebun sawit menguntungkan pengusaha peternakan karena bisa menekan biaya pakan dan ongkosnya lebih murah di Indonesia ketimbang di Australia. "Di sana US$ 0,72 sen per ekor per hari, sedangkan di Indonesia hanya US$ 0,54 sen."
Sayangnya, kendala infrastruktur membuat repot pengangkutan sapi dari kapal ke peternakan. Memblenya infrastruktur ini seiring dengan perizinan di birokrasi. "Sudah lebih dari setahun kami mengurus izin impor sapi indukan," ujar Dwi. Direktur Perbibitan Ternak Kementerian Pertanian Abu Bakar menjanjikan aturan impor sapi indukan dipermudah. "Kami usahakan bea masuknya nol persen," katanya.
Jika berhasil, peternakan sapi di kebun sawit bisa menjawab persoalan pasokan sapi di negeri ini. Dengan luas perkebunan sawit sekitar 9 juta hektare, sapi yang diternakkan bisa mencapai 18 juta ekor. Saat ini jumlah sapi di Indonesia baru sekitar 14 juta ekor.
Akbar Tri Kurniawan (Kotawaringin Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo