Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate sebesar 25 basis point, dari 5,75 persen menjadi 5,5 persen. Dengan demikian, bunga acuan saat ini menyamai level yang berlaku pada Agustus 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, berharap penurunan bunga acuan kali ini bisa mendorong pembiayaan korporasi ataupun konsumsi rumah tangga. Menurut dia, dengan penurunan suku bunga, biaya investasi yang ditanggung oleh korporasi akan lebih rendah. "Sehingga pada akhirnya meningkatkan investasi," kata dia di kantornya, kemarin. Peningkatan investasi, kata Perry, bakal mendorong pertumbuhan ekonomi, yang tahun ini ditargetkan 5,2 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perry juga menyatakan penurunan BI 7-Day Repo Rate sebagai langkah antisipasi terhadap dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, sekaligus menjadi bentuk sinergi dengan pemerintah untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut dia, penurunan suku bunga seiring dengan rendahnya inflasi serta diputuskan saat imbal hasil investasi aset keuangan domestik masih menarik sehingga mendukung stabilitas eksternal.
Sepanjang tahun ini, bank sentral sudah dua kali menurunkan BI 7-Day Repo Rate. Penurunan pertama diputuskan pada 18 Juli lalu sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen. Sebelumnya, atau pada September-Oktober 2018, Bank Indonesia memasang bunga acuan 5,75 persen. Sedangkan pada November 2018 hingga Juni lalu, bunga acuan dipatok di angka 6 persen.
Bank Indonesia juga mengklaim nilai tukar rupiah stabil sesuai dengan nilai fundamental sampai menjelang pekan terakhir Agustus. Pada 21 Agustus, BI mencatat nilai tukar rupiah secara point to point menguat 0,98 persen dibanding pada akhir 2018. Adapun kemarin, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR menunjukkan kurs rupiah menguat menjadi Rp 14.234 per dolar Amerika Serikat, dari sehari sebelumnya yang mencapai Rp 14.259 per dolar Amerika Serikat.
"Bank Indonesia memandang nilai tukar rupiah tetap stabil sesuai dengan mekanisme pasar yang terjaga," kata Perry.
Rates Strategist DBS Group Research, Eugene Leow, mengatakan Bank Indonesia masih bisa memperlonggar kebijakan moneter. "Tapi kami menduga untuk saat ini Bank Indonesia merasa nyaman jika menyamai laju penurunan suku bunga The Federal Reserve," kata Leow, kemarin. Dia menyebutkan salah satu penyebabnya adalah risiko pendanaan eksternal yang cukup tinggi.
Melebarnya defisit neraca transaksi berjalan hingga di atas 3 persen dalam dua triwulan berturut-turut, kata Leow, juga menjadi alasan Bank Indonesia masih "irit" melonggarkan kebijakan moneter dibanding bank sentral lain. "Kami berpendapat bahwa pelonggaran yang terukur dari Bank Indonesia dalam beberapa triwulan ke depan dapat mendukung obligasi pemerintah Indonesia," demikian Leow menulis.
Catatan DBS menyebutkan saat ini obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun menawarkan imbal hasil 600 basis point lebih besar dari surat utang pemerintah Amerika Serikat. Walhasil, kepemilikan asing pada obligasi pemerintah Indonesia meningkat lebih dari Rp 1.000 triliun sepanjang tahun ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, berharap Bank Indonesia melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter. "Kepentingan kita sekarang untuk menstimulasi kegiatan ekonomi lebih banyak dan lebih produktif, sehingga target pertumbuhan ekonomi tercapai," kata dia. Shinta menilai suku bunga di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di ASEAN. Karena itu, kata dia, penyesuaian suku bunga penting agar iklim usaha kian kompetitif. DIAS PRASONGKO | GHOIDA RAHMAH | FERY FIRMANSYAH
Tiga Alasan Menurunkan Bunga Acuan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo