Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMAM harga emas juga berjangkit di kompleks perumahan Ardhini
di Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Bukan karena warga
kompleks itu ikut spekulasi. Tapi S2 rumah yang mereka tempati
di situ harus dicicil berdasarkan harga emas 24 karat. Tak heran
di setiap rumah, di rapat-rapat RT, soal kenaikan harga emas
dewasa ini selalu menjadi pembicaraan hangat. "Saya puyeng
mendengar kenaikan harga emas yang gila-gilaan itu," keluh Anton
Sugianto.
Akhir Desember lalu emas 24 karat masih sekitar Rp 10.000 per
gram. Pekan lalu sudah Rp 14.800 per gram. Kenaikan harga emas
itu menggelisahkan Anton, 33 tahun yang punya anak 3. Ia sudah 3
tahun tinggal di kompleks Ardhini I, menempati rumah sederhana
di atas tanah 100 mÿFD. Ketika kontrak pesanan ditanda-tangani 4
tahun lalu dengan PT Ardhini Abadi, rumahnya itu dinilai seharga
750 gram. Jika dinilai dengan pasaran emas waktu itu yang
Rp 1.900 per gram harga rumahnya Rp 1.425.000 dengan masa
cicilan 5 tahun @ 12,5 gram emas sebulan.
Salah Urus
Sampai Oktober 1979 pihak Ardhini menetapkan standar harga
cicilan RP 3000 per gram. Sehingga untuk rumah type 45/100
seperti dihuni Anton misalnya, angsurannya naik dari Rp 23.750
per bulan menjadi RP 37.500.
Tapi sejak November lalu P.T. Ardhini menaikkan lagi standar
cicilan nasabah menjadi Rp 3.250 per gram. "Terus terang jumlah
itu di luar jangkauan rata-rata warga," ujar Bakry, Bendahara RT
setempat. Ada juga yang meminta perpanjangan waktu cicilan.
"Kalau tidak, saya bisa bangkrut," kata seorang nasabah di Jalan
Ros, Blok B -- Ardhini 1.
"Semua warga mengeluh," ujar Muindro, pengurus Tim Sarana
kompleks Ardhini. Muindro, pegawai Ditjen Pengawasan Dep-Keu
menempati rumah 'idaman' type 54/200. Harganya dinilai 2750 gram
emas 24 karat @ Rp 2.200 per gram. Atau Rp 6 juta dan harus
dicicil selama 5 tahun. Angsurannya 38,75 gram emas per bulan.
Dengan standar angsuran sekarang sebesar Rp 3.250 per gram
dianggap sudah terlalu berat. "Yang untung adalah pengusaha
realestate tapi nasabah buntung," katanya.
Menurut Anton maupun Muindro hampir seluruh rumah yang dibangun
di situ rata-rata terlambat dikerjakan 6 bulan. Jalan
lingkungan, instalasi listrik dan saluran air tidak dibuat oleh
Ardhini Abadi sebagaimana yang dijanjikannya. Untuk memasuki
kompleks perumahan itu, para nasabah harus menempuh sawah.
Itu pun belum cukup. Rumah yang sudah sepertiga lunas tidak bisa
dimasuki karena pintunya disegel oleh pemilik tanah dan
pemborong P.T. Jago Mas. Ternyata uang pembebasan tanah belum
dilunasi oleh Ardhini Abadi kepada pemilik tanah. Juga biaya
pembangunannya.
Maka para warga kompleks Ardhini I membentuk Tim Sarana. Tim
inilah kemudian yang melakukan pungutan cicilan rumah. Akan
halnya P.T. Ardhini Abadi "bagaikan burung terbang yang hinggap
ke sana ke mari" kata seorang nasabah. Kantornya sering pindah.
Mulai dari Jalan Cut Mutia 4, ke Angkasa Puri By Pass, lalu ke
Gedung Granada dan ke Rawamangun. Terakhir pindah lagi di Gedung
Cik's di Jalan Cikini Raya.
P.T. Ardhini Abadi hanya menerima jatah pengumpulan cicilan dari
tim sebanyak sepertiga bagian. Sisanya atas persetujuan pihak
AA, langsung diangsur kepada pemborong dan pemilik tanah,
Sebagian lagi dipakai untuk pembuatan jalan lingkungan dan
saluran air.
Apa kata direksi P.T. Ardhini Abadi? "Keadaannya yang
sudah-sudah memang demikian," jawab Adhiat Boewono, 56 tahun,
pensiunan ABRI. Dulu dia direktur, kini komisaris P.T. Ardhini
Abadi. Direktur yang sekarang Muchlis, mengakui "perusahaan
kami dulu mengalami salah urus."
Di Pondok Gede saja kini ada sekitar 20 perusahaan yang
menamakan diri real estate. "Sebagian besar berasal dari
orang-orang Ardhini," ucap Adhiat. Selain Ardhini I ada juga
proyek perumahan Ardhini II yang kabarnya lebih kacau lagi.
Banyak pegawainya yang, seperti diakui komisaris Adhiat, sudah
keluar. Lalu mendirikan proyek perumahan di daerah itu.
Salah satu adalah P.T. Wisma Kusuma Indah. Berbeda dengan
Ardhini, di WKI para nasabah membayar cicilan atas dasar harga
emas yang tak berubah-ubah begitu kontrak ditandatangani. Hingga
sekarang ada penghuni yang masih mencicil berdasarkan harga emas
Rp 2.400 per gram. Kini tarif mereka sekitar Rp 4.600 per gram.
"Sulit menaikkan lagi, harga beli masyarakat tak kuat," kata
manajer Freddy S.
P.T. Daya Cipta Utama, masih tetangga kompleks Ardhini, malahan
masih berpijak pada harga emas Rp 3.100 per gram. Tapi untuk
bisa menempati rumah, seorang nasabah diharuskan membayar uang
muka paling sedikit 30% dari harga pengikatan. Menurut Sutrisno
Lukito, Dir-Ut WKI, "Pak Tjokropranolo menganjurkan agar tidak
menaikkan harga standar." Tapi itu agaknya hanya berlaku sampai
penutup tahun anggaran 1979/1980. Sebab, mulai 1 April nanti,
Dir-Ut Sutrisno akan menaikkan tarif 10% di atas harga
sekarang. Begitu juga yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo