Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bimas Mulai Jenuh ?

Penunggak bimas tidak boleh ikut bimas lagi, kecuali mereka yang menunggak akibat serangan wereng. penunggak hanya dibenarkan membeli pupuk dan pestisida dengan harga subsidi melalui BRI. (eb)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETERANGAN Dirjen Tanaman Pangan di depan DPR, akhir Pebruari lalu, mengundang debat soal Bimas yang pernah hangat tahun 1972. Menurut ir Ahmad Affandi, sudah 600 ribu Ha sawah diskors dari daftar Bimas karena petaninya menunggak kredit. Selain karena serangan wereng yang melanda 200 ribu Ha sawah tahun lalu (TEMPO, 7 Juni 1975), tunggakan itu juga karena kenakalan petani dan petugas. Hanya yang menjadi korban wereng dibolehkan ikut Bimas lagi. Dengan ketentuan: mereka yang sawahnya 'puso' alias rusak sama sekali dibebaskan dari kewajiban melunasi kredit Bimas untuk musim tanam (MT) yang terkena. Sedang yang sawahnya rusak 80% ditunda pelunasan kreditnya. Adapun penunggak-penunggak lainnya - seperti diterangkan Ketua Team Ahli Bimas Prof. Sudarsono Hadisaputro dibolehkan ikut Inmas. Melalui sistim Inmas itu mereka tidak mendapat kredit lagi, tapi boleh membeli pupuk & pestisida dengan. harga subsidi melalui BRI. Adapun tentang tunggakan yang sudah menumpuk sejak MT 1973 menurut Prof Sudarsono jumlahnya rata-rata 20% setiap tahun -- sedang dibicarakan penjadwalan kembali pelunasannya (rescheduling) dengan BRI. Dr Mubyarto, bekas ketua Perhepi cepat menjawab. Dia tidak keberatan kalau penyuluhan bimbingan buat petani padi dihentikan. "Petani di Jawa", katanya pada Kompas di Yogya, "umumnya sudah gandrung pupuk dan sanggup menyerap segala teknologi baru". Tapi Mubyarto keberatan kalau para penunggak itu tidak mendapat kredit lagi, lantaran soal tunggakan itu tidak bisa disalahkan pada petani saja, jika misalnya mereka terlambat menerima pupuk dan sarana produksi lainnya. Lagipula ekonom pertanian GAMA itu merasa tidak ada kalau penunggakan kredit Bimas yang meliputi hampir 1 1/2 juta petani itu begitu dibesar-besarkan. Sementara tunggakan kredit di luar sektor pertanian -- yang meliputi beberapa oknum saja dan jumlahnya masing-masing jauh lebih besar dari pada tunggakan kredit Bimas per petani -- didiamkan saja. Tidak Naik Tanggapan Mubyarto itu disambut Dr Igusti Bagus Teken, Direktur Bina Usaha Sarana Tanaman Pangan. "Tunggakan kredit Bimas itu hanya Rp 4 milyar. Tapi berapa hutang hotel-hotel besar yang belum terbayar, dan pabrik-pabrik yang macet? Jauh lebih besar kan?" Namun sesungguhnya, taruhan di balik polemik tunggakan kredit Bimas itu jauh lebih luas implikasinya. Bukan saja karena areal Bimas & Inmas yang hanya 4,3 juta Ha itu bisa menciut 15% kalau tunggakan itu tidak 'dimaafkan'. Tapi karena selama 2 tahun terakhir ini areal Bimas & Inmas yang baru 56% dari seluruh areal panen (8,4 juta Ha) sudah sulit mekar lagi. Makanya sejak saat itu 300 ribu Ha tanah yang kurang subur (marginal lands) seperti sawah pasang-surut, padi gogo & gogo rancah, ladang, lebak dan huma terpaksa dimasukkan pula ke dalam skema Bimas & Inmas. "Bayangkan saja", kata Dr Teken kepada TEMPO, "kalau luas regular lands itu nanti diperluas menjadi 1 juta Ha, target kenaikan produksi yang seharusnya 4,6% per tahun bisa terus melorot!" Memang, sejak 2 tahun terakhir praktis tidak ada kenaikan produksi yang berarti. Sedang produktivitas rata-rata malah menurun. Padahal Repelita II justru mengancar-ancarkan tahun ini swa-sembada pangan tercapai. Mengapa demikian? Menurut Dr Teken, pertama-tama tentunya karena tunggakan kredit Bimas yang total jenderal sudah mencapai 700 ribu Ha sejak MT 1973 (akhir Pelita I). Menurut ketentuan yang berlaku, kredit Bimas yang diambil untuk musim tanam kemarin sudah harus lunas sebelum musim tanam berikutnya. Kalau tidak, menjelang musim tanam berikutnya si petani tidak boleh ambil kredit Bimas lagi. Tenggang waktu pembayaran kredit Bimas itu dirasa terlalu singkat, hingga Deptan kini minta pada BRI supaya diperpanjang. Sambil melonggarkan pelunasan kredit untuk para penunggak yang sudah-sudah. Naikkan Komisi BRI dalam hal ini tentunya tergantung pada restu BI dan Depkeu juga. Sebab selama ini, 25 dari tunggakan harus ditanggung oleh BRI sendiri. Sisanya oleh Pemerintah. Namun menurut Teken penagihan kredit Bimas di Indonesia belum seintensif Pilipina. "Uang perangsang untuk petugas lapangan di sana jauh lebih tinggi dari pada di sini", katanya. Makanya Deptan mengusulkan pada BRI supaya komisi petugas yang kini hanya 12% dari hasil tagihannya -- dinaikkan. Di fihak lain Dr Teken berpendapat bahwa dorongan menunggak kredit Bimas itu juga disebabkan oleh memburuknya nilai tukar hasil perdagangan (terms of trade) petani." Katanya lagi " para petani selalu dikejar-kejar untuk membayar Ipeda, kredit Bimas dan berbagai pungutan lain tepat pada waktunya. Tapi sebaliknya kalau mereka perlu uang kontan dan mau menjual gabahnya pada BUUD berdasarkan harga lantai, sering kali uang belum tersedia. Ini mengurangi animo petani untuk ikut Bimas, seperti halnya sistim bagi hasil di mana petani penggarap hanya kebagian 1/3 hasil panennya" Jaringan irigasi yang ada kabarnya baru dapat mengairi 5,3 juta Ha saja (musim hujan + musim kemarau). Tapi tidak seluruhnya bisa diandalkan untuk Bimas & Inmas. Selain 700 ribu yang diskors karena tunggakan dan wereng 400 ribu Ha sawah beririgasi teknis terletak di atas ketinggian 600 meter dari muka laut. Padahal bibit unggul buatan Pilipina itu kabarnya lebih cocok ditanam di dataran rendah. Pencetakan sawah baru di luar Jawa juga berjalan lambat. Di Way Seputih misalnya, setelah 5 tahun hanya dicetak 10 ribu Ha sawah baru. Rencananya 25 ribu Ha. Selain terbentur soal teknis, para petani transmigran di Lampung itu terbentur pada lambatnya penyelesaian sertifikasi tanah rakyat. Soalnya kredit Rp 75 ribu untuk mencetak tiap Ha sawah baru hanya dapat diberikan kalau si petani sudah punya sertifikat tanah. Bonceng Wereng Alhasil, staf ahli Dirjen Tanaman Pangan itu mengakui bahwa "usaha ekstensif1kasi telah terdesak ke pinggir oleh kesibukan melancarkan intensifikasi yang sanat cepat dapat dipetik hasilnya". Sebagai ide Bimas memang logis, "tapi kita kurang menyadari kesulitan-kesulitannya", tambahnya. "Saat ini produksi hasil intensifikasi itu sudah mulai jenuh. Padahal situasi itu tadinya diharapkan baru akan tercapai tahun 1978, akhir Pelita II. Makanya dalam jangka pendek kita ingin mengembalikan kenaikan produksi sebanyak 4,6% setahun untuk mengimbangi kenaikan permintaan 4% setahun". Sedang dalam jangka panjang, "menyiapkan fundasi untuk melancarkan ekstensifikasi di luar Jawa. Sebab terlalu berat beban petani Jawa kalau terus-menerus ditugaskan mengisi stok pangan nasional". Dobrakan jangka pendek diharapkan bisa tercapai dengan tunggakan pembayaran Bimas itu, pemberantasan hama yang lebih mantap, serta penggalakan produksi dan penyaluran varitas unggul tahan wereng. Dengan seizin Bappenas, Deptan akan mengusahakan penjualan benih unggul untuk petani dengan harga Rp 100 sekilo (harga sebenarnya Rp 160). "Tapi itu baru putusan ad hoc, khusus untuk mengatasi akibat wereng. Sedang kami menginginkannya berlaku umum", kata Dr Teken lagi. Dobrakan lain adalah dengan menambah variasi paket pupuk Bimas 1976/1977 dengan paket C (220 kg Urea dan 75 kg DAP). Serta inroduksi pupuk yang sedang diteliti berapa kebutuhannya. Soalnya pemupukan N (Urea) dan P (TSP) secara besar-besaran tanpa diimbangi zat K selama ini, kabarnya telah menyebabkan kerawanan padi terhadap virus tungo yang membonceng pada wereng hijau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus