Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETERANGAN Dirjen Tanaman Pangan di depan DPR, akhir Pebruari
lalu, mengundang debat soal Bimas yang pernah hangat tahun 1972.
Menurut ir Ahmad Affandi, sudah 600 ribu Ha sawah diskors dari
daftar Bimas karena petaninya menunggak kredit. Selain karena
serangan wereng yang melanda 200 ribu Ha sawah tahun lalu
(TEMPO, 7 Juni 1975), tunggakan itu juga karena kenakalan petani
dan petugas. Hanya yang menjadi korban wereng dibolehkan ikut
Bimas lagi. Dengan ketentuan: mereka yang sawahnya 'puso' alias
rusak sama sekali dibebaskan dari kewajiban melunasi kredit
Bimas untuk musim tanam (MT) yang terkena. Sedang yang sawahnya
rusak 80% ditunda pelunasan kreditnya. Adapun
penunggak-penunggak lainnya - seperti diterangkan Ketua Team
Ahli Bimas Prof. Sudarsono Hadisaputro dibolehkan ikut Inmas.
Melalui sistim Inmas itu mereka tidak mendapat kredit lagi, tapi
boleh membeli pupuk & pestisida dengan. harga subsidi melalui
BRI. Adapun tentang tunggakan yang sudah menumpuk sejak MT 1973
menurut Prof Sudarsono jumlahnya rata-rata 20% setiap tahun --
sedang dibicarakan penjadwalan kembali pelunasannya
(rescheduling) dengan BRI.
Dr Mubyarto, bekas ketua Perhepi cepat menjawab. Dia tidak
keberatan kalau penyuluhan bimbingan buat petani padi
dihentikan. "Petani di Jawa", katanya pada Kompas di Yogya,
"umumnya sudah gandrung pupuk dan sanggup menyerap segala
teknologi baru". Tapi Mubyarto keberatan kalau para penunggak
itu tidak mendapat kredit lagi, lantaran soal tunggakan itu
tidak bisa disalahkan pada petani saja, jika misalnya mereka
terlambat menerima pupuk dan sarana produksi lainnya. Lagipula
ekonom pertanian GAMA itu merasa tidak ada kalau penunggakan
kredit Bimas yang meliputi hampir 1 1/2 juta petani itu begitu
dibesar-besarkan. Sementara tunggakan kredit di luar sektor
pertanian -- yang meliputi beberapa oknum saja dan jumlahnya
masing-masing jauh lebih besar dari pada tunggakan kredit Bimas
per petani -- didiamkan saja.
Tidak Naik
Tanggapan Mubyarto itu disambut Dr Igusti Bagus Teken, Direktur
Bina Usaha Sarana Tanaman Pangan. "Tunggakan kredit Bimas itu
hanya Rp 4 milyar. Tapi berapa hutang hotel-hotel besar yang
belum terbayar, dan pabrik-pabrik yang macet? Jauh lebih besar
kan?" Namun sesungguhnya, taruhan di balik polemik tunggakan
kredit Bimas itu jauh lebih luas implikasinya. Bukan saja karena
areal Bimas & Inmas yang hanya 4,3 juta Ha itu bisa menciut 15%
kalau tunggakan itu tidak 'dimaafkan'. Tapi karena selama 2
tahun terakhir ini areal Bimas & Inmas yang baru 56% dari
seluruh areal panen (8,4 juta Ha) sudah sulit mekar lagi.
Makanya sejak saat itu 300 ribu Ha tanah yang kurang subur
(marginal lands) seperti sawah pasang-surut, padi gogo & gogo
rancah, ladang, lebak dan huma terpaksa dimasukkan pula ke dalam
skema Bimas & Inmas. "Bayangkan saja", kata Dr Teken kepada
TEMPO, "kalau luas regular lands itu nanti diperluas menjadi 1
juta Ha, target kenaikan produksi yang seharusnya 4,6% per tahun
bisa terus melorot!"
Memang, sejak 2 tahun terakhir praktis tidak ada kenaikan
produksi yang berarti. Sedang produktivitas rata-rata malah
menurun. Padahal Repelita II justru mengancar-ancarkan tahun ini
swa-sembada pangan tercapai. Mengapa demikian? Menurut Dr Teken,
pertama-tama tentunya karena tunggakan kredit Bimas yang total
jenderal sudah mencapai 700 ribu Ha sejak MT 1973 (akhir Pelita
I). Menurut ketentuan yang berlaku, kredit Bimas yang diambil
untuk musim tanam kemarin sudah harus lunas sebelum musim tanam
berikutnya. Kalau tidak, menjelang musim tanam berikutnya si
petani tidak boleh ambil kredit Bimas lagi. Tenggang waktu
pembayaran kredit Bimas itu dirasa terlalu singkat, hingga
Deptan kini minta pada BRI supaya diperpanjang. Sambil
melonggarkan pelunasan kredit untuk para penunggak yang
sudah-sudah.
Naikkan Komisi
BRI dalam hal ini tentunya tergantung pada restu BI dan Depkeu
juga. Sebab selama ini, 25 dari tunggakan harus ditanggung oleh
BRI sendiri. Sisanya oleh Pemerintah. Namun menurut Teken
penagihan kredit Bimas di Indonesia belum seintensif Pilipina.
"Uang perangsang untuk petugas lapangan di sana jauh lebih
tinggi dari pada di sini", katanya. Makanya Deptan mengusulkan
pada BRI supaya komisi petugas yang kini hanya 12% dari hasil
tagihannya -- dinaikkan. Di fihak lain Dr Teken berpendapat
bahwa dorongan menunggak kredit Bimas itu juga disebabkan oleh
memburuknya nilai tukar hasil perdagangan (terms of trade)
petani."
Katanya lagi " para petani selalu dikejar-kejar untuk
membayar Ipeda, kredit Bimas dan berbagai pungutan lain tepat
pada waktunya. Tapi sebaliknya kalau mereka perlu uang kontan
dan mau menjual gabahnya pada BUUD berdasarkan harga lantai,
sering kali uang belum tersedia. Ini mengurangi animo petani
untuk ikut Bimas, seperti halnya sistim bagi hasil di mana
petani penggarap hanya kebagian 1/3 hasil panennya"
Jaringan irigasi yang ada kabarnya baru dapat mengairi 5,3 juta
Ha saja (musim hujan + musim kemarau). Tapi tidak seluruhnya
bisa diandalkan untuk Bimas & Inmas. Selain 700 ribu yang
diskors karena tunggakan dan wereng 400 ribu Ha sawah
beririgasi teknis terletak di atas ketinggian 600 meter dari
muka laut. Padahal bibit unggul buatan Pilipina itu kabarnya
lebih cocok ditanam di dataran rendah. Pencetakan sawah baru di
luar Jawa juga berjalan lambat. Di Way Seputih misalnya, setelah
5 tahun hanya dicetak 10 ribu Ha sawah baru. Rencananya 25 ribu
Ha. Selain terbentur soal teknis, para petani transmigran di
Lampung itu terbentur pada lambatnya penyelesaian sertifikasi
tanah rakyat. Soalnya kredit Rp 75 ribu untuk mencetak tiap Ha
sawah baru hanya dapat diberikan kalau si petani sudah punya
sertifikat tanah.
Bonceng Wereng
Alhasil, staf ahli Dirjen Tanaman Pangan itu mengakui bahwa
"usaha ekstensif1kasi telah terdesak ke pinggir oleh kesibukan
melancarkan intensifikasi yang sanat cepat dapat dipetik
hasilnya". Sebagai ide Bimas memang logis, "tapi kita kurang
menyadari kesulitan-kesulitannya", tambahnya. "Saat ini produksi
hasil intensifikasi itu sudah mulai jenuh. Padahal situasi itu
tadinya diharapkan baru akan tercapai tahun 1978, akhir Pelita
II. Makanya dalam jangka pendek kita ingin mengembalikan
kenaikan produksi sebanyak 4,6% setahun untuk mengimbangi
kenaikan permintaan 4% setahun". Sedang dalam jangka panjang,
"menyiapkan fundasi untuk melancarkan ekstensifikasi di luar
Jawa. Sebab terlalu berat beban petani Jawa kalau terus-menerus
ditugaskan mengisi stok pangan nasional".
Dobrakan jangka pendek diharapkan bisa tercapai dengan
tunggakan pembayaran Bimas itu, pemberantasan hama yang lebih
mantap, serta penggalakan produksi dan penyaluran varitas unggul
tahan wereng. Dengan seizin Bappenas, Deptan akan mengusahakan
penjualan benih unggul untuk petani dengan harga Rp 100 sekilo
(harga sebenarnya Rp 160). "Tapi itu baru putusan ad hoc, khusus
untuk mengatasi akibat wereng. Sedang kami menginginkannya
berlaku umum", kata Dr Teken lagi. Dobrakan lain adalah dengan
menambah variasi paket pupuk Bimas 1976/1977 dengan paket C (220
kg Urea dan 75 kg DAP). Serta inroduksi pupuk yang sedang
diteliti berapa kebutuhannya. Soalnya pemupukan N (Urea) dan P
(TSP) secara besar-besaran tanpa diimbangi zat K selama ini,
kabarnya telah menyebabkan kerawanan padi terhadap virus tungo
yang membonceng pada wereng hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo