Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISNIS tak hanya di darat, tapi juga di udara. Dan hingga
menjelang akhir 1983, kegiatan itu menunjukkan grafik yang
membubung.
Pemotretan dari udara untuk pemetaan mulai dikenal dengan
berdirinya Perusahaan Negara Aerial Survei (Penas), 1961. Dari
tahun itu hingga 1969, sekitar tujuh juta hektar daratan
Indonesia direkam kamera udara. Pada tahun 1960-an itu memang
baru satu - dua pihak swasta terjun dalam bisnis ini.
Baru dalam Pelita I dan II muncul beberapa perusahaan swasta
urusan udara. Luas daratan yang dijadikan obyek pemotretan pun
bertambah. Asosiasi Perusahaan Survei dan Pemetaan mencatat,
dalam tahun 1969-1974 sekitar 9 juta hektar daratan difoto,
dijadikan peta guna berbagai keperluan. Pada 1974-1978, 12 juta
hektar dan, 1978-1983 ini, bertambah lagi dengan 16 juta hektar.
Tapi, dari 60 perusahaan pemetaan, ternyata, hanya sembilan yang
mampu melayani pemotretan udara. Itu termasuk Penas, yang pada
1974 menjadi Perusahaan Umum Penas dan bernaung di bawah
Departemen Hankam. Besarnya modal yang dibutuhkan dan besarnya
risiko merugi, agaknya, menjadi hambatan.
Menurut Herman Hidayat, direktur produksi PT Aerokarto
Indonesia, kini dibutuhkan modal sekitar Rp I milyar untuk
mendirikan perusahaan yang bisa main di udara ini. "Sebuah
kamera udara saja sekarang harganya Rp 120 juta," kata Herman.
Pesawat udaranya, memang, cukup dengan menyewa.
Tapi jangan cepat-ccpat menghitung untung. Bisnis udara banyak
anginnya. Memang, sewa pesawat kini hanya sekitar Rp 500.000 per
hari, di luar sewa landasan. Tapi jangan mengira pesawat bisa
dikerjakan seharian penuh, hingga pekerjaan cepat bisa
diselesaikan.
Soalnya, memotret daratan dari ketinggian sekitar 5.000 meter,
misalnya, sama sekali tergantung pada kebaikan matahari dan
cuaca. Tak semua posisi matahari menguntungkan. Pemotretan
paling baik pada pukul 08.00-10.30 dan 15.00 hingga menjelang
matahari terbenam. Kala itu daratan cukup terang, dan pantulan
sinar matahari tak mengganggu kamera. Satu syarat lagi: tak ada
awan menggantung antara kamera dan daratan.
Bisnis ini melonjak pada 1980, ketika pemermtah giat-giatnya
membuat peta lahan transmigrasi. PT Aerokarto sempat kebagian
memotret 2,5 juta hektar lahan. Pekerjaan ini diselesaikan dalam
waktu tiga bulan dengan 11 pesawat. Berapa untungnya, Herman tak
mengatakannya. Dari Leo Nardy, wakil direktur PT Exsa
International, yang berdiri bersamaan dengan berdirinya PT
Aerokarto, pada 1972, keuntungan memang tak menentu. Bisa sampai
10% dari nilai kontrak. Tapi bisa jauh berkurang, bila cuaca
terus buruk.
Meski begitu, bisnis udara agaknya awet. Banyak urusan di darat
ternyata bisa lebih pas bila direncanakan dengan pemotretan
udara. Dari perencanaan irigasi dan jaringan jalan, sampai
eksplorasi minyak dan gas bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo