Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelaku bisnis pembangkit listrik tenaga surya atap menuntut kejelasan regulasi.
PLN dianggap tak mematuhi substansi peraturan Kementerian ESDM soal PLTS atap.
Produksi panel surya dan permintaan pemasangan PLTS atap terus merosot.
JAKARTA – Belum jelasnya regulasi yang mengatur pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS atap) menjadi kendala utama pengembangan bisnis panel surya di Tanah Air. Para pelaku usaha penyedia PLTS atap dan para konsumennya terus menuntut kejelasan revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap yang belum rampung hingga sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, mengatakan forumnya sedang menanti respons permohonan yang dilayangkan ke Istana. “Kami sudah menyampaikan kendala pengembangan bisnis PLTS atap ini ke Presiden Joko Widodo, dan masih menunggu tanggapan,” tuturnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena berulang kali dipersoalkan publik, pemerintah memutuskan melakukan pembahasan ulang substansi aturan penyokong bisnis PLTS atap yang terbit pada Agustus 2021 tersebut. Setelah sempat beraudiensi dengan pemerintah pada Januari 2023, AESI menjadi salah satu forum pelaku bisnis panel surya yang memprotes usulan poin baru dalam aturan tersebut. Usulan yang ditolak adalah penghapusan skema net-metering alias ekspor-impor listrik dari PLTS atap masyarakat ke jaringan PLN. Asosiasi juga mempertanyakan rencana pembatasan kapasitas instalasi energi terbarukan tersebut.
Menurut Fabby, skema net-metering menjadi aspek utama yang bakal menarik minat calon pengguna panel surya dari kalangan perumahan serta usaha kecil dan menengah. Dengan adanya skema ini, pengguna bisa "menjual" kelebihan listrik dari panel solar mereka kepada PLN. Imbalannya, listrik yang diekspor ke jaringan PLN, dikonversi menjadi pengurang tagihan listrik bulanan pengguna. Bila skema tersebut dihilangkan, minat pasar PLTS atap dari kalangan individu dan usaha kecil bakal melemah. “Banyak persoalan yang membuat calon konsumen rumah tangga mundur (batal memasang PLTS),” tuturnya.
Berdasarkan catatan AESI, hingga November 2022, bisnis PLTS atap masih ditopang pengguna dari kalangan industri. Total ada 1.056 pengguna panel surya dari segmen industri, dengan kapasitas PLTS atap terpasang mencapai 33,22 megawatt-peak (MWp). Adapun, dari segmen individual (rumah tinggal), jumlah penggunanya sudah mencapai 4.772, tapi kapasitas terpasangnya hanya sebesar 16,5 MWp. Pengguna lain berasal dari institusi sosial (354 pengguna) dan pemerintahan serta layanan khusus (198 pengguna). Secara keseluruhan, kapasitas terpasang PLTS atap di Tanah Air baru mencapai 77,60 MWp.
Fabby pun mengeluhkan sikap PT PLN (Persero) yang berkukuh membatasi daya PLTS atap maksimum 10-15 persen dari daya listrik yang terpasang. Padahal Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 sudah membebaskan kapasitas instalasi hingga 100 persen. Batasan 15 persen pun tak cocok untuk daya listrik rumah tangga yang umumnya 2.200 volt ampere (VA). Pembeli individu tak akan membeli keping modul surya hanya untuk daya 330 watt. “Kami tak melihat alasan teknis di balik sikap PLN. Upaya menghambat ini pasti terkait dengan komersial dan bisnis,” katanya.
Pemasangan panel surya di pabrik Coca-Cola Amatil Indonesia, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Umum Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi), Linus Sijabat, menyinggung soal redupnya permintaan produksi panel surya di dalam negeri. Padahal banyak pemain baru yang muncul ketika pemerintah mencanangkan program PLTS berkapasitas total 140 MWp pada 2013. Rencana itu akhirnya tak terealisasi dan terus menihilkan permintaan. Pemerintah pun tak menyediakan insentif perihal pengembangan PLTS.
“Sudah lebih dari 90 persen pabrik panel surya tutup sejak saat itu. Mungkin yang hidup sekarang satu atau dua perusahaan,” ucapnya dalam diskusi bersama media pada akhir Maret lalu. Apamsi sendiri dibentuk dari 12 pabrikan yang menggeluti bisnis perakitan PLTS.
Tak hanya membebani produsen modul, Bendahara Umum Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (Perplatsi), Muhammad Firmansyah, mengatakan banyak distributor dan penyedia jasa pemasangan PLTS atap yang tutup karena kendala regulasi. Padahal, kata dia, bisnis PLTS atap berpotensi membuka 80 ribu pekerjaan baru. “Sejak Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 muncul dan tidak dilaksanakan sepenuhnya, pemasangan tertunda dan bahkan batal."
Hingga berita ini ditulis, pertanyaan Tempo ihwal permintaan pelaku industri PLTS atap tak digubris manajemen PLN. Sejumlah pejabat Kementerian ESDM pun tak menjawab. Pada 21 Maret lalu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman Hutajulu, hanya menjawab pertanyaan serupa secara singkat lewat pesan WhatsApp. "Masih intensif dibahas."
Sementara itu, Vice President Sales and Marketing PT Suryacipta Swadaya, Abednego Purnomo, masih terus mempromosikan pemanfaatan PLTS atap kepada para penyewa lahan di kawasan industri yang dikelola perusahaannya. Grup Suryacipta kini mengelola dua pusat industri terintegrasi, yakni Suryacipta City of Industry dan Subang Smartpolitan. "Kami tetap mendorong (penggunaan PLTS atap) walaupun kapasitas pemasangannya masih dibatasi,” kata Abednego.
Meski demikian, Abednego menambahkan, para calon pengguna dari kalangan industri juga terhambat persoalan besarnya biaya investasi pemasangan PLTS atap. Pasalnya, banyak pemilik pabrik tua yang harus memperbaiki struktur atap bangunan mereka sebelum memasang instalasi panel surya. Hal ini, kata dia, dapat mempengaruhi minat pengguna PLTS atap dari kalangan industri besar. “Tapi, kami yakin penyedia PLTS bisa berinovasi dan tetap menawarkan layanan menarik.”
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo