Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obral Minyak Sawit

Harga minyak sawit terancam ambrol. Senin ini, pemerintah Indonesia diperkirakan bakal menghapus pajak ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya. Selama ini, produk sawit Indonesia dibebani pajak ekspor 6 sampai 10 persen. Langkah itu juga akan diikuti Malaysia. Produsen terbesar minyak sawit dunia itu kabarnya juga akan membebaskan pajak ekspor untuk delapan produsen sawit besar di negeri itu.

Beleid pembebasan pajak ekspor kedua produsen terbesar minyak sawit dunia itu tampaknya terpaksa dilakukan untuk merangsang pasar sawit yang lagi loyo. Menurut Reuters, kini ada tren baru konsumen minyak dunia untuk beralih ke soft oil (minyak biji-bijian) dari minyak sawit.

Dua tahun lalu, soft oil, yang lebih mahal US$ 80 per ton ketimbang CPO, cuma menguasai 20 persen pasar Asia. Kini, dengan selisih harga tinggal US$ 10-20 per ton, soft oil telah menguasai 35 persen pasar Asia. ''Soft oil dari Argentina dan Brasil lebih disukai karena tidak membeku saat musim dingin," kata seorang pedagang di Singapura.

Jurus pembebasan pajak ekspor itu juga diambil untuk menghadapi manuver pemerintah India, yang memasang barikade bea masuk untuk impor minyak sawit. India merupakan importir terbesar minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia.

Minyak Mentah Terus Melonjak

Bonanza minyak tahun 70-an akan kembali? Pertanyaan itu agaknya berasalan karena grafik harga minyak mentah dunia belakangan ini terus menanjak. Terakhir, pekan lalu harga minyak mentah dunia melonjak di atas US$ 32 per barel. Jika tak diatasi, menjelang musim dingin akhir tahun ini harga minyak bisa mencapai US$ 40 per barel.

Tapi harga minyak yang terlalu tinggi juga merepotkan. Jika harga minyak melonjak terlalu cepat, beban biaya yang ditanggung negara pengimpor minyak juga akan melonjak. Bukan tak mungkin, lonjakan biaya ini akan mendongkrak inflasi dan akhirnya mengerem laju perekonomian negara industri. Jika itu terjadi, kemampuan negara industri mengimpor barang juga akan merosot dan dunia terancam resesi global.

Karena itu, Presiden OPEC, Ali Rodriguez, menegaskan bahwa organisasi negara pengekspor minyak itu akan tetap menjaga agar harga minyak tak melampaui US$ 22-28 per barel. Jika keseimbangan ''keramat" itu terlampaui, OPEC akan melakukan penyesuaian jumlah produksi.

Salim Menjual, SalimMemborong?

Lagi-lagi Salim. Setelah menawarkan Wisma BCA dan PT Karimun Granite, pemerintah berencana menjual lagi beberapa aset ''bekas" milik Salim. Pekan lalu, melalui PT Holdiko Perkasa, pemerintah menawarkan lima pabrik obat nyamuk bakar yang tergabung dalam Mosquito Coil Group (MCG).

MCG terdiri dari lima perusahaan yang bergerak dalam produksi, distribusi, dan penggilingan bahan baku obat nyamuk bakar. Dengan merk Tiga Roda, ABC, Kambing, dan Dua Kelinci, MCG menguasai 59 persen pasar. Tahun lalu penjualan bersih MCG mencapai Rp 300 miliar dengan aset Rp 300 miliar dan kewajiban Rp 150 miliar. ''Calon pembeli berasal dari investor yang bergerak di bidang yang sama," kata Direktur Holdiko, Scoot Coffey.

Pernyataan Coffey ini tampaknya ingin membantah gosip di pasar modal bahwa PT Indofood Sukses Makmur, perusahaan terbesar Grup Salim saat ini, tengah mengincar MCG. Menurut sejumlah broker, Indofood, yang bergerak dalam industri makanan terpadu, merupakan satu-satunya kendaraan Salim untuk membeli kembali aset-aset yang sudah diagunkan kepada pemerintah. Belum lama ini, Indofood menyatakan minatnya membeli pabrik susu Indomilk, satu dari puluhan aset Salim yang berada dalam penguasaan pemerintah.

Bimantara Cuci Gudang

Bimantara mulai ringkes-ringkes. Untuk mengurangi beban utangnya, konglomerasi multiusaha itu akan menjual penyertaan sahamnya pada tiga anak perusahaan, yaitu perusahaan properti PT Plaza Indonesia Realty, perusahaan otomotif PT Bimantara Cakra Nusa, dan pabrik susu dan makanan ringan PT Nestle Indonesia. Keputusan ini disetujui rapat umum pemegang saham, Selasa lalu.

Dari pelbagai penjualan itu Bimantara akan menjala dana sekitar Rp 605 miliar. Bagian terbesar dari dana ini diperoleh dari penjualan 15,5 persen saham Nestle Indonesia, yang dilepas dengan harga Rp 466 miliar kepada Nestle Swiss. Lalu, dari penjualan Plaza Indonesia ke Brightview Enterprise Singapura, Bimantara menggaet Rp 138 miliar. Sementara itu, dari pabrik perakitan Hyundai, Bimantara hanya mendapatkan Rp 821 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus