Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tertunda karena Bom London

Getaran ledakan bom di London, Kamis pekan lalu, berefek jauh sampai Jakarta. Salah satu yang terkena imbas itu adalah PT Bank Niaga Tbk. Mereka terpaksa menunda penentuan harga obligasi subordinasi valuta asing senilai US$ 100 juta akibat bom yang meledak di jalur kereta bawah tanah di ibu kota Inggris Raya itu. "Kita belum tentukan yield-nya karena peristiwa di pusat finansial itu," kata Wakil Presiden Direktur Bank Niaga, Hashemi Albakri, akhir pekan lalu di Jakarta. Tadinya penentuan itu direncanakan dilakukan di bursa Singapura.

Hashemi yakin obligasi yang ia tawarkan dapat terserap pasar, bahkan mengalami kelebihan penawaran. Hal ini terjadi, katanya, karena investor percaya ekonomi Indonesia telah pulih. Saat ini Bank Niaga masuk dalam jajaran tujuh bank terbesar di Indonesia.

Keluhan Pajak Berganda Perkebunan

Para pelaku usaha perkebunan mengeluh. Mereka merasa keberatan atas pajak berlipat ganda yang harus mereka pikul. "Ada yang dari pemerintah pusat, dari pemerintah daerah, retribusi, sumbangan wajib. Macam-macamlah namanya," kata Ketua Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan, Soedjai Kartasasmita, Jumat pekan lalu di Jakarta. Rupa-rupa pajak itu ada yang diterjemahkan dalam peraturan daerah, tapi tak kalah banyak yang berbentuk pungutan langsung di lapangan.

Para pengusaha, menurut Soedjai, sebenarnya tidak keberatan dengan pajak yang dikenakan terhadap sektor perkebunan. Tapi mereka berharap jenisnya tidak berlipat ganda dan manfaatnya dapat dirasakan baik oleh pengusaha sendiri maupun masyarakat sekitar. "Kita selalu bayar pajak dan pungutan, tapi jalan-jalan yang menuju ke perkebunan saja tidak pernah diperbaiki," ujar dia mengungkapkan kekecewaannya. Dalam perhitungan organisasi itu, beban pajak yang ditanggung oleh pengusaha perkebunan mencapai 10 sampai 15 persen dari total biaya pengelolaan perkebunan.

Tambah 533 Miliar untuk Pupuk

Rupanya tak hanya subsidi minyak yang melonjak, pemerintah juga harus memanggul lebih banyak beban karena subsidi untuk produksi pupuk juga meningkat tak sedikit. "Besarnya mencapai Rp 533 miliar untuk anggaran tahun ini," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR, Fachri Andi Leluasa. "Ini sesuai dengan perhitungan yang dibuat Februari lalu." Total subsidi pupuk yang dibutuhkan menjadi Rp 2,38 triliun.

Tambahan subsidi itu akan dialokasikan untuk empat jenis pupuk, yaitu UREA, NPK, ZA, dan SP 36, termasuk jaminan transportasi dan pengawasan distribusinya. Tapi jumlah itu masih mungkin mengalami kenaikan, mengingat belum diperhitungkannya kenaikan harga gas dan kurs. Oleh karenanya, kata Fachri, DPR dan Menteri Pertanian sepakat merekomendasikan masalah ini ke Panitia Kerja Anggaran Besar untuk kemudian diperhitungkan lagi dengan produsen pupuk, para ahli, dan konsultan keuangan.

Keputusan mengenai besarnya tambahan subsidi pupuk ini paling lambat harus dilakukan pada awal Agustus mendatang. "Kalau sampai lewat, ya, sama saja bohong. Karena tanggal 16 Agustus saja presiden sudah mengumumkan nota keuangan pemerintah sebagai proyeksi untuk APBN 2006," ujar Fachri.

Optimistis Rupiah Menguat

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aslim Tadjuddin, optimistis nilai tukar rupiah akan kembali menguat. "Tapi tentunya kebijakan baru harus diberi waktu, tidak bisa dilihat efektivitas dan dampak sepenuhnya dalam 1-2 hari," katanya usai salat Jumat pekan lalu. BI dan pemerintah, Aslim menambahkan, telah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan untuk terus mempengaruhi volatilitas kurs. Termasuk mengintervensi pasar.

Menurut Aslim, saat ini kurs rupiah masih undervalue, walaupun sudah menguat ke level Rp 9.795 per dolar AS. "Berdasarkan perhitungan REER (real effective exchange rate), berarti nilai itu masih undervalue sebesar 7 persen," ujarnya.

Untuk memperkuat strateginya, saat ini pemerintah dan BI tengah mengkaji kemungkinan diberlakukannya repatriasi valuta asing atas seluruh hasil ekspor. Dalam perhitungan, seperti dikatakan Gubernur BI Burhanudin Abdullah, potensi repatriasi valuta asing Indonesia mencapai US$ 8 miliar-10 miliar per tahun. Itu berasal dari kontribusi perusahaan milik negara dan swasta yang melakukan ekspor. Kalau jadi, nantinya peraturan itu akan mengharuskan semua eksportir menyimpan hasil ekspornya di dalam negeri.

Terminal Apung Semen Andalas

Tak mau berlama-lama runyam dihajar tsunami pada 26 Desember lalu, PT Semen Andalas Indonesia mulai berbenah. Perusahaan ini memutuskan membangun terminal apung yang diberi nama Glory. Berlokasi di pelabuhan Lhok Nga, Banda Aceh, terminal ini dilengkapi mesin pengepakan berkapasitas mencapai 1.600 ton semen per hari.

Nantinya, semen akan didatangkan dari pabrik Lafarge, pemilik Andalas, di Malaysia, lantas dipak di Glory, dan didistribusikan di Banda Aceh dan sekitarnya. Mereka beranggapan, terlampau sayang membiarkan potensi pasar sangat besar berlalu begitu saja di depan mata. Lokasinya yang hanya tiga kilometer dari Kota Banda Aceh jelas merupakan kesempatan luar biasa, mengingat kebutuhan semen untuk rekonstruksi di seluruh wilayah Aceh saat ini sangat tinggi guna rekonstruksi.

Terminal apung itu diperkirakan akan beroperasi selama 8-10 bulan. Setelah itu, perusahaan berharap bisa beroperasi menggunakan fasilitas pabrik yang sudah diperbarui. "Kami merencanakan investasi senilai US$ 90 juta untuk pembangunan kembali pabrik," kata bos Lafarge, Bernard Kasriel.

Bila Avtur Naik Signifikan

Bersiaplah merogoh kocek lebih dalam untuk ongkos tiket penerbangan. Sebab, tak lama lagi Departemen Perhubungan akan meninjau ulang tarif referensi pesawat yang bulan lalu baru ditetapkan kenaikannya. Harga minyak mentah dunia yang naik hingga US$ 62 per barel dipastikan akan ikut mendongkrak lagi harga bahan bakar pesawat atau avtur.

Pada kondisi normal, tarif yang ditetapkan 10 Juni itu baru akan ditinjau enam bulan kemudian. Tapi, jika avtur mengalami kenaikan signifikan, kenaikan tarif pun terpaksa dilakukan lebih cepat. Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Cucuk Suryosuprodjo, telah terjadi kenaikan persentase biaya bahan bakar terhadap biaya operasional penerbangan sejak kenaikan avtur 2,4 persen awal bulan Juli. "Saat ini sudah sebesar 42,8 persen," kata dia Jumat pekan lalu. Padahal, ketika tarif referensi ditetapkan, komponen fuel baru 41,2 persen dari seluruh biaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus