Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menyatakan adanya dilema dalam menjual Pertamax saat ini. Harga BBM komersial itu tetap ditahan pemerintah di Rp 12.500 walau harga pasarnya sudah mencapai Rp 17.950 per liter. Artinya, BBM tersebut tetap disubsidi Rp 5.450 per liter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kalau Pertamax kita naikkan setinggi ini (sesuai harga pasar Rp 17.950), maka kemudian akan terjadi shifting ke Pertalite, ini tentu menambah beban negara," ujar Nicke saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Jakarta, Rabu, 6 Juli 2022. "Kita pantau terus kondisi harga pasar, kita selalu berkoordinasi untuk menetapkan kebijakan-kebijakan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia menyebutkan langkah Pertamina tak menaikkan harga Pertamax selama ini tak diiringi oleh penggantian oleh pemerintah karena bahan bakar tersebut bukan termasuk yang disubsidi. “Jadi kalau pertanyaannya, adakah yang sekarang kita masih jual di bawah harga keekonomiannya dan tidak diganti oleh pemerintah ada, yaitu Pertamax,” ucapnya.
Oleh sebab itu, kata Nicke, yang dilakukan perseroan adalah membayar selisih harga itu lewat keuntungan yang didapat Pertamina dari kegiatan bisnis hulu saat menikmati profit di tengah harga minyak mentah dunia yang tinggi pada tahun ini. “Iya betul lewat windfall (pembayarannya),” tuturnya.
Namun begitu, pemerintah menyatakan bakal menyasar alokasi subsidi pada jenis BBM Pertamax kemudian hari seiring upaya pengurangan emisi karbon. Sebab, Pertamax memiliki Research Octan Number (RON) yang lebih tinggi ketimbang Pertalite. “Road map pemerintah menyubsidi bahan bakar yang ramah lingkungan, maka roadmap berikutnya adalah pertamax jadi ada roadmapnya tidak serta merta pindah."
Lebih jauh, Nicke memaparkan selisih harga jual produk bahan bakar minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram dari harga pasar hingga Juli 2022 masih cukup besar. “Harga keekonomian dengan peningkatan harga minyak dan gas juga meningkat tajam kalau kita bandingkan harga yang ditahan ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomiannya,” ujarnya.
Data Pertamina menunjukkan per Juli 2022, harga pasar untuk Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar sudah mencapai Rp 18.150 per liter, sedangkan harga jual yang ditetapkan pemerintah berada di angka Rp 5.150 per liter. Artinya, pemerintah menanggung subsidi mencapai Rp 13.000 untuk setiap pembelian satu liter JBT Solar.
Selanjutnya: selisih dengan harga pasar makin lebar, subsidi BBM melonjak..
Sedangkan harga keekonomian Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite sebesar Rp 17.200 per liter. Adapun harga jual yang dipatok pemerintah sebesar Rp 7.650 per liter. “Sehingga untuk setiap liter Pertalite yang dibeli masyarakat pemerintah beri subsidi Rp 9.550 per liter,” tuturnya.
Sementara itu, harga pasar elpiji sudah mencapai Rp 15.698 per kilogram. Namun harga LPG domestik tak pernah disesuaikan sejak 2007 dan tetap berada di level Rp 4.250 per kilogram. Akibatnya pemerintah harus mengalokasikan subsidi sebesar Rp 11.448 untuk setiap kilogram pembelian LPG.
Sebelumnya Kementerian Keuangan mencatat realisasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG 3 kilogram naik rata-rata 26,58 persen setiap tahunnya selama kurun waktu 2017 hingga 2021. Lonjakan nilai subsidi itu dipicu fluktuasi harga minyak mentah Indonesia atau ICP dan nilai tukar rupiah.
Tahun lalu, realisasi subsidi BBM mencapai Rp 16,17 triliun, termasuk di dalamnya kewajiban kurang bayar Rp 7,15 triliun. Selain itu masih terdapat kewajiban pembayaran kompensasi BBM Rp 93,95 triliun untuk periode 2017 hingga 2021. Sedangkan realisasi subsidi LPG 3 kilogram pada tahun lalu mencapai Rp 67,62 triliun, termasuk di dalamnya kewajiban kurang bayar Rp 3,72 triliun.
Pemerintah telah memprediksi subsidi BBM dan LPG 3 kilogram pada tahun ini mencapai Rp 149,37 triliun atau 192,61 persen dari postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022.
Sebanyak lebih dari 90 persen kenaikan nilai subsidi itu, menurut Kemenkeu, berasal dari alokasi LPG 3 kilogram yang disebabkan oleh kesenjangan antara harga jual eceran dengan harga keekonomian yang berlanjut melebar akibat lonjakan harga minyak mentah dunia.
BISNIS
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini