Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bos Sritex Blak-blakan soal Pendapatan Perusahaan Anjlok karena Banjir Produk Cina

Manajemen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex membeberkan kondisi pendapatan perseroan sedang menurun drastis di antaranya karena banjir produk Cina.

26 Juni 2024 | 15.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex membeberkan kondisi pendapatan perseroan sedang menurun drastis. Salah satu penyebab utama dari penurunan pendapatan ini karena banyaknya produk tekstil murah dari Cina yang membanjiri pasar Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal itu disampaikan manajemen Sritex menanggapi kabar perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu bangkrut. “Tidak benar, karena perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan,” kata Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, dalam keterbukaan informasi ke BEI dalam surat tertanggal 22 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Welly mengatakan perusahaan memang mulai mengalami penurunan pendapatan sejak munculnya Covid-19. Situasi ini kemudian memicu persaingan ketat dalam industri tekstil global, terutama karena adanya kelebihan pasokan tekstil di Cina.  

Gempuran pasokan tekstil dari Cina itu, kata Welly, mengakibatkan terjadinya dumping harga tekstil yang menyasar negara-negara di luar Eropa dan Cina. Walhasil, penjualan barang dari PT Sritex belum pulih.

“Terjadinya oversupply tekstil di Cina yang mana produk-produk ini menyasar terutama ke negara-negara di luar Eropa dan Cina yang longgar aturan impornya,” ungkap Welly. 

Lebih lanjut, Welly menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan aturan impor yang masih longgar. Hal ini terlihat dari Indonesia adalah salah satu negara yang tidak menerapkan bea masuk anti-dumping. "Tidak ada tarrif barrier maupun non-tarrif barrier," ujar Welly. 

Tak hanya itu saja, kondisi geopolitik global juga memengaruhi penurunan pendapatan Sritex. Menurut Welly, kondisi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supplychain yang berakibat pada penurunan ekspor. 

“Penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat kawasan Eropa maupun Amerika Serikat,” kata Welly.

Kendati demikian, dia menyebut Sritex akan tetap beroperasi. “Perseroan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional dan fleksibilitas dalam menghadapi dinamika pasar."

Welly juga mengatakan proses restrukturisasi Sritex melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU sudah selesai. Adapun perkara yang masuk PKPU itu dengan Nomor 12/Pdt-Sus-PKPU/2021/PN Niaga Semarang pada 25 Januari 2022.

Wakil Ketua API Jawa Tengah, Liliek Setiawan, sebelumnya menyatakan industri tekstil tak bisa bertahan di antaranya karena diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 tahun 2024 yang mengatur soal impor. Beleid itu, menurut dia, justru memperburuk kondisi industri TPT itu hingga berimbas ke industri kain, benang, dan serat sehingga tak lagi mampu meningkatkan utilisasinya yang kini hanya berkisar 45 persen. 

Liliek menjelaskan, saat ini bukan lagi dumping yang harus dihadapi oleh industri tekstil dalam negeri tapi sudah mengarah pada persaingan tak sehat berupa predatory pricing. Strategi ilegal ini menjual barang di bawah harga yang merupakan salah satu trik perdagangan yang bertujuan untuk monopoli. 

"Sistem perekonomian dalam negeri saat ini gagal dalam melindungi pelaku maupun pasar dalam negeri," ujar Liliek dalam diskusi sekaligus konferensi pers di Kantor API Jawa Tengah di Kota Solo, Selasa, 25 Juni 2024.


RIZKI DEWI AYU | SEPTIA RYANTHIE

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus