Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kolektabilitas iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau mandiri masih belum optimal. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat kolektabilitas dari peserta mandiri baru mencapai 54 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami realistis saja, targetnya kolektabilitas iuran mandiri bisa mencapai 65 persen,” kata juru bicara BPJS Kesehatan, Mohammad Iqbal Anas Ma’ruf, kemarin. Menurut dia, kolektabilitas peserta bakal terus digenjot hingga akhir tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iqbal mengatakan ada beberapa faktor yang membuat iuran peserta mandiri masih belum optimal, yaitu kemampuan dan kemauan membayar masih rendah. Alasan peserta telat membayar adalah tidak mau antre.
Dia menjelaskan, BPJS sudah bekerja sama dengan platform teknologi finansial (financial technology/fintech) untuk memudahkan pembayaran. BPJS juga mengerahkan 1.599 kader JKN untuk menggenjot iuran peserta mandiri.
Iqbal menjelaskan, karakter peserta setiap daerah dalam membayar iuran juga berbeda. Dia mencontohkan kota yang memiliki kesadaran untuk membayar iuran BPJS adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Iqbal, Yogyakarta memiliki jumlah masyarakat usia pensiun yang besar dan rentan terhadap penyakit. Hal tersebut membuat kesadaran membayar iuran tinggi. “Di daerah lain berbeda lagi. Ada pula masyarakat yang tidak mau membayar iuran dengan berbagai alasan. Pada saat sakit, baru mereka mengeluarkan ‘kartu sakti’ dari dinas sosial,” tuturnya.
Menurut Iqbal, untuk masyarakat yang benar-benar mempunyai kemampuan membayar yang rendah, BPJS menawarkan skema Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). “Itu upaya paling mudah bagi kami supaya kolektabilitas peserta meningkat,” ucapnya.
Tahun ini, defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 16,5 triliun. Pemerintah telah memiliki beberapa bauran kebijakan untuk menutup defisit itu, termasuk dengan memberikan dana talangan (bailout) senilai Rp 4,9 triliun. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Pemerintah juga tengah menggenjot pajak rokok yang dapat menambal defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 1,1 triliun. Potensi dari penerimaan dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT) diprediksi mencapai Rp 1,48 triliun. Kontribusi yang ditetapkan dari pajak rokok berjumlah 75 persen dari setengah realisasi penerimaan pajak rokok dari hak-hak tiap daerah.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menuturkan, target kolektabilitas iuran peserta mandiri masih sulit dicapai. Menurut dia, sampai saat ini tidak ada sistem yang “memaksa” untuk membayar kewajibannya sebagai peserta. Kebanyakan peserta mandiri membayar iuran pada saat membutuhkan layanan tersebut. “Ini yang tidak sehat,” ucapnya. LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo