Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Bupati Meranti Protes Dana Bagi Hasil, ESDM: Tak Semua Produk Migas Bisa Dijual

ESDM menjelaskan dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam atau SDA dari minyak dan gas bumi (migas).

16 Desember 2022 | 16.24 WIB

Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan sambutannya di di acara 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 di Bali Nusa Dua Convention Center, Kuta, Bali pada Rabu, 23 November 2022. TEMPO/ Moh Khory Alfarizi
Perbesar
Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan sambutannya di di acara 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 di Bali Nusa Dua Convention Center, Kuta, Bali pada Rabu, 23 November 2022. TEMPO/ Moh Khory Alfarizi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam atau SDA dari minyak dan gas bumi (migas). Hal tersebut untuk menjawab pernyataan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil yang menilai Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah yang dia pimpin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Koordinator Penerimaan Negara dan Pengelolaan PNBP Migas Kementerian ESDM Heru Windiarto mengatakan itu menjadi salah satu penerimaan pemerintah pusat. “Setelah itu nanti didistribusikan melalui persentasi yang diatur dalam perundang-undangan ke daerah,” ujar dia dalam konferensi pers di Kemenkeu, Jakarta Pusat pada Jumat, 16 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Heru pun menjelaskan pola bagi hasilnya yaitu antara kontraktor dengan pemerintah dulu yang dalam bentuk production sharing contrac atau kontrak bagi hasil. Nantinya, jika memenuhi aspek keekonomian atau ada penerimaan pemerintah pusat dan dibagihasilkan ke daerah.

Namun, kata dia, sering kali juga tidak ada penerimaan negara yang masuk karena secara ekonomi kegiatan hulu migas pada tahun tersebut lebih besar pengeluaranya dibandingkan penghasilannya. “Jadi produksi dan lifting-nya itu yang menjadi tolak ukur utama penghasilan migas,” ucap Heru.

Selain itu, Heru juga menambahkan, tidak hanya produksi dan lifting-nya saja. Karena ada aspek lain seperti nilai tukar, harga minyak, dan komponen pengurang lainnya, seperti pajak dan pungutan lainnya. “Jadi seperti itu dalam menghitung penerimaan negara bukan pajak yang nantinya jadi sumber DBH SDA,” tutur dia.

Melihat dari pola tersebut, industri hulu migas di awal ada yang namanya produksi yang seluruhnya ada hidro karbon dan nonhidro karbon. Komponen itu semuanya ada di dalam tanah itu, yang diproduksikan, dieksploitasi, dan dikeluarkan. Semuanya terukur dalam metering system yang ada di masing-masing sumur.

Sehingga, Heri berujar, jika melihat nanti ada angka realiasi produksi dari lapangan, itu adalah semua yang keluar dai dalam tanah, totalnya berapa barel. Namun, itu masih kotor, karena ada pasir, air, dan sedimen yang semuanya jadi sekian barel.

“Nanti setelah itu masuk ke tanki pengumpul, di situ dipisahkan hidro karbon dan nonhidro karbon tadi. Setelah itu dari produksi kotor yang jumlahnya sekian barel, ada produksi bersih yang yang hidro karbonnya saja. Itu Insya Allah sudah pasti lebih kecil daripada produksi kotornya tadi,” kata Heru.

Setelah itu, dia melanjutkan, dari produksi bersih yang ada di tangki pengumpul nanti akan dipompakan atau dimasukan ke dalam kapal lalu dibawa ke titik lifting—titik perpindahan hak dari hak negara ke hak pembeli (transfer point). Dari lifting itu, jika membandingkan antara produksi dalam satu periode tertentu dengan liftingnya dalam periode tertentu biasanya berbeda, bisa lebih tinggi, bisa juga lebih rendah.

Alasannya, Heru menjelaskan, karena misalnya yang diproduksi periode tertentu itu bisa dipompakan semua ke pembeli maka akan diserahkan semuanya. Namun, jika misalmnya ada kendala—mayoritas produksi dalam negeri itu pasti masuk ke kilang pertamina—atau ada gangguan tidak bisa dipompakan semua, maka ada produksi yang tidak bisa dilifting atau dijual.

“Itu jadinya stok enggak kemana-mana, stoknya ada di pipa, ada di tanki, itu ada semua. Insya Allah tercatat, terdokumentasikan dan teraudit. Jadi ini juga perlu diketahui bahkan semuanya itu tercatat auditable, dan akuntable,” tutur Heru.

Sebelumnya, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti  Muhammad Adil menilai Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah yang dia pimpin. Dia menyampaikan itu dalam rapat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah se-Indonesia di Pekanbaru.

Dia menyatakan kecewa kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu Lucky Alfirman. Pada sesi tanya jawab, Adil mempertanyakan ihwal DBH minyak di Kepulauan Meranti kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kemenkeu.

"Ini orang keuangan isinya iblis atau setan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Gak apa-apa, kami juga masih bisa makan. Daripada uang kami dihisap oleh pusat," ujar Adil dalam sebuah video berdurasi 1 menit 55 detik beredar di media sosial.

Menurut Adil, wilayah yang dia pimpin adalah daerah miskin yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah pusat. Ia juga mengeluhkan pemerintah daerah yang tak bisa leluasa bergerak membangun di daerah dan memperbaiki hajat hidup orang banyak karena sumber daya alamnya disedot oleh pemerintah pusat. 

“Bagaimana kami mau membangun rumah, bagaimana kami mengangkat orang miskin, nelayannya, petaninya, buruhnya” kata Adil.

Lantas, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo keberatan dan menyayangkan munculnya pernyataan tersebut. “Kami keberatan dan menyangkan pernyataan Bupati Meranti saudara Muhammad Adil yang sungguh tidak adil karena mengatakan pegawai Kemenkeu iblis atau setan,” ujar dia melalui video yang diunggah di akun Twitter pribadinya pada Ahad, 11 Desember 2022

Dia menilai pernyataan Adil ngawur dan menyesatkan. Sebab, Kemenkeu justru sudah menghitung dan menggunakan data resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Data itu untuk menenentukan DBH yang bukan hanya untuk daerah penghasil, tapi juga daerah sekitar untuk merasakan kemajuan bersama. “Hal itu juga sesuai dengan Undang-undang yang berlaku,” kata dia.

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus