Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tertekan Aturan Pengupahan Industri Padat Karya

Buruh minta pemerintah mencabut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023. Bakal menekan pendapatan pekerja.

22 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Buruh menolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023.

  • Organisasi pekerja sangsi permenaker baru bisa meredam gelombang PHK.

  • Ekonom mengingatkan dampak ekonomi dari rezim upah murah.

JAKARTA — Sembari mengibarkan bendera organisasinya, ratusan buruh yang terafiliasi dengan Partai Buruh memadati kantor Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka berunjuk rasa menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023. Dengan adanya aturan ini, perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor yang terkena dampak kondisi perekonomian global bisa mengurangi jam kerja buruh dengan konsekuensi pengurangan pembayaran upah maksimal sebanyak 25 persen. "Kami akan melawan permenaker ini sekuat-kuatnya," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal, saat memimpin aksi tersebut, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Iqbal, setidaknya ada empat alasan buruh menolak permenaker tersebut. Pertama, ketentuan itu melanggar konstitusi. Salah satunya terhadap peraturan yang baru dibikin pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja—yang kemarin disahkan menjadi Undang-Undang Cipta Kerja. Kendati menolak, Iqbal mengatakan bahwa UU Cipta Kerja melarang adanya penurunan upah buruh. Apalagi kalau berpotensi di bawah upah minimum. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan kedua, pengurangan upah yang diperbolehkan permenaker ini bisa menurunkan daya beli buruh, yang ujung-ujungnya akan mengurangi konsumsi sebagai salah satu komponen pertumbuhan ekonomi. Alasan ketiga, Iqbal melanjutkan, aturan anyar tersebut menciptakan diskriminasi upah. Pasalnya, perusahaan padat karya yang tidak berorientasi ekspor harus membayar upah secara penuh. Sementara itu, perusahaan berorientasi ekspor bisa lebih longgar dalam pengupahan. "Dalam UU Perburuhan dan Konvensi ILO Nomor 133, tidak boleh ada diskriminasi upah," ujarnya, 

Alasan terakhir, ia melihat industri padat karya berorientasi ekspor sejatinya sudah menerima beragam kompensasi dan kemudahan selama periode pandemi. Kalaupun memang masih tertekan, ia menyarankan pemerintah memberi insentif tambahan bagi perusahaan padat karya dan padat modal yang mengalami kesulitan ketimbang memberi kelonggaran pengupahan. 

Pekerja menyelesaikan produksi sepatu di pabrik alas kaki di Mojokerto, Jawa Timur. TEMPO/Ishomuddin

Berlaku dengan Kriteria Tertentu

Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan permenaker tersebut pada pekan lalu dengan maksud mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya. "Aturan ini bertujuan melindungi dan mempertahankan kelangsungan pekerja serta menjaga kelangsungan usaha industri padat karya berorientasi ekspor," ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri.

Putri menjelaskan, kriteria perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor yang dimaksudkan adalah memiliki pekerja paling sedikit 200 orang, persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15 persen, serta bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Adapun cakupannya adalah industri tekstil dan pakaian jadi; industri alas kaki; industri kulit dan barang kulit; industri furnitur; serta industri mainan anak. 

Dengan ketentuan itu, perusahaan yang memenuhi kriteria dapat mengurangi waktu kerja dan menyesuaikan upah. Adapun upah yang dibayarkan paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima pekerja. Ia mengatakan ketentuan itu hanya berlaku selama enam bulan sejak aturan ini efektif serta harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengusaha dan pekerja. 

Terbitnya permenaker tersebut disambut baik oleh dunia usaha. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, mengatakan ketentuan tersebut diperlukan lantaran kondisi perusahaan padat karya berorientasi ekspor sedang sangat kritis, seiring dengan turunnya permintaan akibat resesi global. Di tengah kondisi itu, ujar dia, biaya produksi seperti listrik dan upah tenaga kerja tetap dibayar penuh. Pelaku usaha pun merasa keberatan dan terpaksa gulung tikar. 

"Aturan penyesuaian upah ini dapat memberikan pelindungan kepada pengusaha dan pekerja agar tidak sampai terjadi PHK," ujar Arsjad. Penerapan kebijakan ini juga harus dilakukan dengan adanya komunikasi antara perusahaan dan pekerja. Ke depan, kalau situasi sudah normal, ia meneruskan, kebijakan ini bisa dikaji ulang. 

Senada dengan Arsjad, Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan, Antonius Joenoes Supit, yakin bahwa pada dasarnya perusahaan tidak akan mengurangi jam kerja apabila pesanan sudah normal. Bahkan, kalau permintaan barang berlebih, perusahaan justru berpeluang menambah jam kerja melalui lembur.

Pekerja pabrik pakaian pulang setelah bekerja di Kalideres, Jakarta, 21 Maret 2023. TEMPO/Magang/Maulana Chaerusahid

Tak Efektif Menekan PHK

Namun Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timbul Siregar, sangsi kebijakan ini bisa menekan gelombang PHK. Sebab, berdasarkan tinjauannya, banyak perusahaan padat karya berorientasi ekspor yang menggunakan pekerja kontrak atau alih daya (outsourcing) yang rentan terkena PHK. "Jadi, tidak ada relevansinya penerbitan permenaker ini dengan alasan menghambat PHK karena PHK tetap bisa terjadi," ujarnya.

Alih-alih melindungi pekerja, kebijakan anyar tersebut dianggap bisa melegitimasi perusahaan yang hendak membayar upah pekerja di bawah upah minimum. Padahal aneka peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, tidak ada yang memperbolehkan pengupahan di bawah upah minimum. Timbul mengatakan istilah "no work, no pay" pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya berlaku bagi pekerja yang memang tak mau bekerja sehingga tak mendapatkan bayaran. "Kalau ini, kan, bukan pekerja yang tidak mau bekerja, tapi pengusaha yang tidak mau mempekerjakan. Ya, silakan saja, tapi upah harus seperti biasa."

Ketimbang memberi lampu hijau untuk pemotongan upah pekerja—meski dalam jangka waktu terbatas—ia mendorong pemerintah memberi insentif atau bantuan kepada perusahaan yang terkena dampak pelemahan ekonomi global. Misalnya, mengurangi pajak ekspor dan pajak penghasilan (PPh) badan. Dengan begitu, beban biaya perusahaan berkurang. "Kalau hanya mengorbankan pekerja, ya enggak bijak."

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengingatkan bahwa rezim upah buruh murah yang terbentuk dari berbagai kebijakan pemerintah akan membuat hubungan industrial makin buruk. Upah yang makin rendah akan meningkatkan perselisihan kerja antara buruh dan pemberi kerja serta menurunkan produktivitas pekerja. 

Pada saat yang sama, upah murah juga akan menurunkan kinerja ekonomi makro. Sebab, upah yang lebih rendah akan menciptakan instabilitas pada belanja konsumen. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat juga bisa turun. "Penurunan daya beli akan menekan permintaan barang dan jasa. Sekaligus akan menurunkan peluang perusahaan untuk bertahan akibat rendahnya permintaan pasar," kata dia.

CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus