Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Butuh Rumah ? Usaha Tanah Dan Bangunan ...

Rayuan pengusaha rumah mewah di koran-koran jakarta semakin gencar. sekjen aki mengakui pasaran rumah sedang kendor. bisnis perumahan tampaknya akan beralih ke perkantoran. (eb)

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANTING harga. Tidak perlu bayar kontan, tapi dengan uang 5 juta rupiah sudah boleh menempati rumah bikinan kami. Alias angsuran. Atau kalau tak ingin beli, boleh juga sewa/kontrak selama 3 sampai 5 tahun. Dan buat orang-orang Amerika, tersedia pula rumah-rumah yang khas desain gaya sana. Dan jangan lupa, buat semua calon pembeli, rumah kami "bebas banjir". Harganya? Macam-macam. Mulai dari yang 18,5 juta di Pulomas, sampai yang Rp 100 juta di Simpruk. Tapi yang paling banyak, antara Rp 30 sampai Rp 60 juta, tersebar di banyak tempat yang tidak terlalu jauh dari Kota atau Thamrin. Begitu rayuan para pengusaha "rumah modern"--mereka sendiri sungkan menyebut "rumah mewah" atau "rumah mahal" -- yang tersebar di koran-koran Jakarta. Iklan-iklan mana agak tambah gencar awal tahun ini. Lebih-lebih semenjak kejutan hutang Pertamina menyentuh usaha tanah dan bangunan real estate), pertengahan tahun silam. Rayuan-rayuan mana menunjukkan "banting setir" yang radikal dibandingkan dengan masa jaya-jayanya bisnis ini, ketika kebanyakan berhasil menjual barang dagangannya secara a kontan. Apakah pasarannya sekarang memang sedang kendor? Ir Santoso Sutrisno, sekjen Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) mengiakan pertanyaan itu. "Boom rumah mewah sekarang ini sudah berlalu. Tidak lagi seperti tahun 1969-1973, ketika permintaan akan rumah mewah cukup besar". Menurut dia, pasaran rumah mewah ketika itu adalah para penanam modal asing dan pejabat-pejabat kedutaan asing di Jakarta. Tapi setelah resesi ekonomi dunia dan krisis Pertamina, banyak orang asing sudah kembali ke negeri asalnya. Keterangan mana dibenarkan pula oleh Mu'min Ali, direktur Panin Bank yang juga salah seoran pemegang saham Greenville Estate di Tomang Barat, Jakarta Barat. Untung Sutomo, manajer pemasaran PT Bangun Tjipta Sarana, dan Ferry Sonneville yang baru membangun beberapa rumah meyah di kompleks Gunung Putri dekat jalan raya Jagorawi, juga membenarkan adanya suasana kendor itu. Menurut ketua Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia (REI), Eric Samola SH, salahnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor di luar pengusaha seperti resesi ekonomi dan krisis Pertamina itu. Tapi juga karena dunia usaha sendiri! "masih suka musim-musiman dan latah". Menurut Samola "dulu ketika mobil sedang laris, semua orang berlomba-lomba dagang mobil. Begitu juga tekstil, dan hotel. Sekarang, berapa banyak kamar hotel yang kosong? Perumahan Lux, begitu pula. Ketika dagang rumah mewah menguntungkan, orang juga ramai-ramai nubruk rumah mewah. Akibatnya setelah pasaran mulai sepi, saling bersaing sendiri. Dan terpaksa banting harga. Rumah-rumah di Simpruk yang dulunya laku Rp 300 juta, sekarang ditawar-tawarkan Rp 100 juta saja tidak ada yang mau beli". Ada benarnya. Beberapa tahun silam berbagai perusahaan yang tadinya tidak bergerak di bidang tanah dan bangunan pun ikut arus menanamkan sebagian modalnya dalam rumah-rumah mewah. Termasuk Pertamina, yang banyak juga melimpahkan duit ke berbagai pembuatan gedung dan rumah mewah. Marsekal Suwoto Sukendar, ketua KADIN yang punya perusahaan penerbangan itu pun ikut terjun di bidang membuat gedung dan rumah, sebagai Dirut PT Niaga Loka. Tidak ketinggalan kelompok Astra, Waringin Kencana dan Panin Bank. Di luar mereka yang tergabung dalam REI itu, tidak sedikit pula pengusaha perorangan yang rajin membiakkan rumah mewah dengan modalnya yang terbatas tapi dengan perputaran yang jauh lebih cepat dari pada perusahaan besar. Caranya adalah dengan membeli rumah-rumah yang sudah tua di daerah-daerah yang strategis letaknya, merombak atau sekedar memperbaikinya, kemudian menawarkannya pada orang-orang asing dengan selera siapa rumah baru itu sudah disesuaikan. Menurut ir Santoso, mereka "lebih senang berurusan dengan orang asing dari pada bangsa kita sendiri". Soalnya selain duitnya banyak, orang-orang asing itu umumnya tidak mau cerewet. Misalnya orang kedutaan, yang dalam tempo 2-3 tahun pasti akan keluar dari rumah itu lantaran tugasnya sudah selesai tanpa si pemilik rumah perlu mengeluarkan "uang kunci". Sekalipun timbul persaingan yang cukup ramai, khususnya antara anggota REI dan bukan, sekjen AKI Santoso Sutrisno berpendapat bahwa bisnis ini tetap masih punya prospek baik. Mungkin tidak di bidang perumahan, tapi perkantoran. "Dengan adanya keharusan DKI agar kantor-kantor keluar dari daerah perumahan ke gedung-gedung yang khusus untuk kantor, ada angin baik', kata Santoso. Sampai sekarang, akibat kesulitan ruang kantor banyak hotel besar menyediakan ruangannya untuk kantor. Kelangkaan ruangan kantor itu dengan cepat mengerek tarif sewanya naik dari 6 dollar AS/m2 di tahun 1969 menjadi 12,50 sampai 17,50 dollar AS/m2 sebulan sekarang ini. Tapi itu hanyalah di daerah jalan Thamrin yang sangat strategis itu. Kendati demikian gedung perkantoran Sky Building masih jadi rebutan. Beberapa perusahaan sedangan masih dapat menyewa ruang kantor di jalan Senen Raya hanya untuk AS$ 7/m2 sebulan sampai saat ini. APAKAH dengan demikian para pengusaha real estate kini dianjurkan ramai-ramai membangun gedung perkantoran, dan berhenti membangun rumah-rumah tinggal? Santoso tidak setuju kalau kegiatan pembangunan rumah mewah distop. "Biarkan saja", katanya. "Dalam sistim perdagangan bebas dewasa ini baiknya kita serahkan saja kepada pasar". Pendapat ini, tidak sepenuhnya disokong oleh ketua REI. "Pasaran sebenarnya bagi pengusaha real estate bukannya rumah-rumah mewah itu, melainkan perumahan rakyat". Maksudnya "perumahan yang tercapai oleh lapisan rakyat tertentu". Dia rupanya tak setuju dengan istilah "rumah murah" atau "rumah rakyat". Dan lebih senang menggunakan istilah "rumah sehat" yang kini memang sedang dipopulerkan oleh Gubernur Ali Sadikin. Sambil menunjuk ke bawah dari jendela kantornya di tingkat 11 Gedung Jaya, dari mana jelas terbentang rumah-rumah rakyat, berpenghasilan rendah di sebelah barat jalan Thamrin dia berkata: "bukankah itu pasaran potensiil yang luas sekali, kalau saja bisa digarap? Masakan mereka harus terus tinggal di petak-petak yang tak sehat lagi mudah terbakar itu?" Idiilnya memang begitu. Tapi nyatanya membangun perumahan rakyat yang murah dan sehat itu belum menarik pengusaha swasta. Malah umumnya menyatakan akan "rugi" kalau toh pemerintah memaksa mereka berusaha di bidang itu dalam kondisi seperti sekarang. Menurut Samola, ada 5 faktor yang menentukan murah-mahalnya sebuah rumah. Empat di antaranya ada dalam kekuasaan pemerintah, dan hanya satu faktor -- yakni pemasaran-dapat dipengaruhi oleh pengusaha, meskipun tidak terlepas dari faktor-faktor lainnya. "Harga rumah pertama-tama ditentukan oleh harga tanah. Kalau tanahnya mahal, rumahnya pun mahal. Kalau harga tanah naik, harga rumah pun naik", ujar ketua REI yang juga direktur Jaya Realty itu. Dia juga banyak tahu tentang liku-liku mengurus pengoperan hak guna tanah dan sewanya dari pemerintah, serta pembebasannya dari penghuni semula. Menggarisbawahi seruan Federasi Real Estate Internasional (FIABCI) di Madrid beberapa waktu lalu agar "real estate jangan terus menjadi sapi perahan pemerintah", ketua REI juga menyebut pembatasan hak sewa tanah (negara) di Indonesia yang hanya 30 tahun saja -- dibandingkan dengan 99 tahun di Singapura sebagai salah satu penyebab mahalnya harga rumah yang dibangun swasta di sini. BUAT orang luar, harga tanah di Jakarta ini memang bisa membuatnya bingung. Beberapa tergolong paling mahal di Asia Tenggara. Malah paling mahal di seluruh dunia. Tahun lalu misalnya, harga tanah yang termasuk mahal adalah di sepanjang Jalan M. Thamrin yang tiap tahun tidak pernah absen dari banjir, yakni Rp 90 ribu/ m2. Menyusul kemudian jalan Imam Bonjol, Diponegoro dan ajah Mada (Rp 72 ribu/m2). Kemudian Merdeka Barat dan Jenderal Sudirman (Rp 54 ribu/m2), Letjen S. Parman (Rp 45 ribu/m). Kramat Raya, Salemba Raya dan Jenderal Achmad Jani (Rp 36 ribu/m2), Cikini Raya, Menteng Raya dan Mangga Besar (Rp 27 ribu/m2), dan yang relatif paling murah adalah daerah Tomang dan Kemanggisan, yakni Rp 18 ribu/ m2. Mengapa relatif, sebab di luar daerah-daerah tadinya yang umumnya menjadi incaran para pengusaha, masih banyak tanah-tanah murah di mana orang-orang yang rada berduit membangun rumah pribadinya. Misalnya di daerah Cililitan dekat asrama tentara, di mana tanah girik masih ada yang berharga Rp 8.50/m2. Selain harga tanahnya sendiri sudah mahal, para pengusaha real estate yang rata-rata bermodal 1/2 sampai 1 milyar rupiah itu harus menyisihkan 30O dari tanah yang dikuasainya untuk pembangunan prasarana -- seperti jalan dan taman untuk umum. Suatu keharusan pemerintah, yang akhirnya akan dibebankan pada pembeli juga. Itu kembali merupakan satu unsur pengerek harga. Namun faktor nomer dua sesudah harga tanah dalam biaya produksi rumah adalah harga bahan bangunan. Bahan mana, untuk rumah-rumah mewah yang banyak dibangun di daerah Ancol, Pluit, Pulomas, Cempaka Putih, Kemang, Tomang, Simpruk dan Sawangan itu umumnya diimpor dari luar negeri. Misalnya rumah-rumah dalam kompleks Greenville Estate, Tomang Barat. Rumah-rumah bertingkat itu semuanya terbuat dari beton bertulang punya 5 kamar tidur, 4 wc, 5 kamar mandi. Satu di antaranya memakai bak tempat merendam badan ala orang Barat dari keramik. Dindingnya berlapis porselen buatan Jepang, dan lantainya berlapis mosaik. Selain itu setiap rumah memiliki garasi mobil dengan pintu gulung (roll-a-door) bikinan Australia. Lantai dalam rumah berlapis ubin teraso, sedang dinding depan dari batu pualam. Harga yang sudah tinggi lantaran biaya bahan bangunan eks impor itu bakal kian menjadi-jadi apabila rumah itu masih dilengkapi dengan taman hlas dan kolam renang . Seperti dikatakan sekjen AKI, "untuk membuat taman saja tidak kurang dari Rp 1 juta". Tapi baiklah, itu memang berlebih-lebihan. Yang memang merupakan kebutuhan utama seperti listrik pun harus dilengkapi oleh pengusahanya sendiri. Seperti kata Mu'min Ali dari Greenville Estate, "PLN hanya memasang instalasi dan mensuplai arus listrik". Tapi gardu trafo, tiang-tiang dan semua kabel harus disediakan sendiri oleh si pengusaha. Begitu pula saluran air minum sepanjang 800 meter dari jalan raya masuk ke kompleks Makanya bisa dimengerti mengapa harga jualnya akhirnya jatuh begitu tinggi. Di kompleks Greenville Estate itu misalnya, ada 8 rumah yang tergolong kelas mewah berharga Rp 60-65 juta. Sedang yang kelas medium Rp 32,5 juta plus telepon. Tapi itu belum apa-apa dibandingkan dengan rumah mewah di Simpruk yang dilengkapi halaman luas, taman dan kolam renang seharga Rp 300 juta. Tapi gegap gempitanya perumahan mewah pelan-pelan mulai berlalu. Semenjak krisis Pertamina sebagai klimaks dari rentetan krisis ekonomi sebelumnya, memaksa Pemerintah mengencangkan ikat pinggangnya. Maka para pengusaha tanah & bangunan pun kehilangan langganannya . Mulai terdengar suara yang menyesalkan penguncian keran kredit buat real estate (suatu langkah lanjut paket 9 April 1974). Ternyata faktor pembiayaan pun masih merupakan faktor kritis yang menyulitkan para pengusaha tanah & bangunan tadinya bergerak di bidang perumahan medium dan "murah" yang tidak cepat panen itu. Itulah taktor penentu harga rumah nomor tiga menurut Eric Samola, yang berada dalam kekuasaan pemerintah. "Bukankah papan (perumahan) merupakan salah satu tujuan Pelita?" tanya Samola. "Kita tidak minta disubsidi, seperti beras. Kita hanya minta kredit murah. Kalau pemerintah mau memberi kredit murah, tidak seperti sekarang 2% sebulan, orang akan ramai-ramai membangun rumah rakyat. Dan karena kompetisi membangun rumah rakyat akan jadi tajam, harga rumah pun akan jadi murah". ITULAH ketiga faktor yang ada dalam jangkauan pemerintah. Yang ada dalam jangkauan pengusaha adalah faktor pemasaran. Terserah pada pengusaha -- dalam rangka saling bersaing itu -- untuk menjual kontan atau angsuran. Tapi itu pun tergantung pada caranya si pengusaha memperoleh pembiayaan guna membangun rumah itu. Dengan perkembangan bidang usaha ini, Samola menduga akan timbul pula bermacam-macam "spesialis". Yang khusus mencari tanah untuk dimatangkan dan dibanguni gedung disebut developer. Dialah bouwheer (pemberi pekerjaan) yang membayar pemborong atau kontraktor untuk membangun gedung lengkap dengan prasarananya. Developer itu baru memberi order pembangunan proyek pada pemborong, setelah mendapat jaminan pinjaman dari bank. Atau jaminan subsidi dari pemerintah untuk calon-calon pembeli rumah yang dibangunnya itu. Sedang urusan penjualan, ditangani oleh agen-agen (yang di luar negeri disebut realtor) yang langsung berurusan dengan konsumen akhir. Nah, setelah mengkaji keempat faktor di atas, yang menentukan laris tidaknya rumah, terpulang pada daya beli konsumen jua. Mulai dari sekelompok kecil yang berpenghasilan sangat tinggi, kelas menengah yang masih tipis dan mayoritas rakyat yang miskin. Kontras-kontras mana dengan mudah sekali kelihatan di Jakarta. Menurut kategori Bangun Tjipta, rumah mewah adalah yang berharga di atas Rp 15 juta. Yang sedangan antara Rp 6 sampai 15 juta. Sedang yang di bawah Rp 6 juta, itulah yang mereka sebut "rumah murah". Usaha pembangunan rumah murah itu bukan hanya akan bertengger pada yang tarifnya Rp 3 sampai 4 juta saja. Di atas kertas, sudah siap rencana pembangunan 1000 rumah yang harganya berkisar antara Rp 1 hingga 1,5 juta. Tempatnya di daerah Pulo Gadung. Bagaimana bentuknya? "Standarnya dicontoh dari proyek Husni Thamrinnya DKI", tutur Untung Sutomo dari Bangun Tjipta. Nantinya di daerah Pulo Gadung itu akan dibangun rumah-rumah mungil dengan jalan-jalan sempit yang disemen. Untung Sutomo keberatan menggunakan istilah "kampung sehat". Sebab contohnya kira-kira seperti "pe- rumahan di daerah Grogol yang mempunyai gang-gang seebar 1 ,5 meter saja". Adapun dari pengusaha-pengusaha lain belum terdengar niat-niat membangun rumah murah seperti yang mau dirintis Bangun Tjipta itu. Kecuali PT Jaya Realty, yang sudah punya gagasan mendirikan rumah-rumah pre-fabricated (rumah-rumah yang bagiannya diproduksi secara massal kemudian dirakit di tempat). Hanya saja persiapannya masih jauh, sehingga rencana yang matang belum dapat disodorkan ke depan. Sementara itu, beberapa pengusaha real estate lainnya yang dihubungi TEMPO menunjuk pada rencana pembangunan 100 rumah murah a Rp 1,5 juta yang segera akan dibangun oleh Perusahaan Tanah .: Bangunan DKI! di kelurahan Joglo, Jakarta Barat. "Itu kan dibangun dari dana yang dimintakan dari kami", ujar mereka seraya mengembalikan masalahnya ke alamat pemerintah. Meskipun belakangan ini iklan-iklan menunjukkan adanya kompetisi yang makin seru, banyak pengusaha toh tetap optimis. Seperti misalnya drs Ferry Sonneville yang meski tersendat-sendat terus membangun rumah-rumah mewahnya di antara proyek Jagorawi dan pabrik semen Cibinong I dan II. "Keadaan lesu sekarang ini hanya bersifat temporer", katanya. Menurut dia, "usaha tanah & bangunan sangat peka terhadap situasi ekonomi, tapi satu saat keadaan akan berubah dan harga akan menyesuaikan diri lagi" Lagi pula, bekas juara bulutangkis itu beranggapan keinginan masyarakat untuk "memiliki rumah" masih lebih kuat dari pada "menyewa rumah" Anggapan mana mungkin lebih berlaku pada orang yang berduit ketimbang mereka yang gajinya hanya pas-pasan untuk hidup dan mengontrak rumah. Berbeda dengan pengusaha lainnya yang lebih senang ngendon di dalam atau pinggir kota Jakarta di mana tanah sudah tidak murah lagi, Ferry tidak tanggung-tanggung jauhnya pergi mencari tanah murah. Dengan melewati jalan raya Jakarrta - Bogor yang konon paling ramai di seluruh Indonesia, perjalanan dari Menteng Raya ke Gunung Puteri naik mobil bisa makan waktu 1 1/2 jam. Mungkin itu sebabnya baru 8 rumah yang dibangunnya di sana, karena mung- kin peminatnya masih kurang. Tapi dia rupanya menantikan rampungnya jalan raya Jagorawi 2 tahun lagi, setelah mana gangguan kemacetan lalu-lintas akan minim sekali bagi para penghuni Gunung Puteri yang bekerja di pusat kota. Di samping itu, sistim Cul-de-Sac (rumah yang dikelilingi taman, tanpa dikepung pagar) yang konon ditirunya dari perumahan orang-orang Amerika di Sawangan, merupakan daya penarik sendiri bagi orang-orang Barat yang ingin keluar dari kepungan polusi di kota. Sedang harganya, jauh lebih murah dari pada jenis rumah yang sama di dalam kota Jakarta: yakni Rp 30 juta satu rumah. KALAU orang Barat berusaha menyingkir ke pinggiran kota, kompleks perumahan mewah yang dekat pusat perdagangan tidak kalah ramainya. Seperti Pluit misalnya, di mana lebih dari 600 rumah sudah terisi. Harganya paling tinggi Rp 80 juta, dan terbagi atas 4 tingkatan. Selain letaknya masih dekat ke- Kota, daerah perumahan itu diapit oleh 2 jalur jalan besar serta jaringan jalan sempit yang sebagian besar hasil karya Otoritas Pluit (KI). Makanya mudah diduga, kompleks itu sekarang ini sudah dapat dianggap sebagai perluasan daerah Pecinan di Kota, setelah generasi para usahawan yang sekarang sudah tidak lagi kepingin tinggal di daerah pertokoan merangkap tempat tinggal, yang sumpek dan sempit itu. Tapi tidak mau berada jauh dari daerah usahanya di bilangan Pintu Kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus