BANTING harga. Tidak perlu bayar kontan, tapi dengan uang 5
juta rupiah sudah boleh menempati rumah bikinan kami. Alias
angsuran. Atau kalau tak ingin beli, boleh juga sewa/kontrak
selama 3 sampai 5 tahun. Dan buat orang-orang Amerika, tersedia
pula rumah-rumah yang khas desain gaya sana. Dan jangan lupa,
buat semua calon pembeli, rumah kami "bebas banjir". Harganya?
Macam-macam. Mulai dari yang 18,5 juta di Pulomas, sampai yang
Rp 100 juta di Simpruk. Tapi yang paling banyak, antara Rp 30
sampai Rp 60 juta, tersebar di banyak tempat yang tidak terlalu
jauh dari Kota atau Thamrin. Begitu rayuan para pengusaha "rumah
modern"--mereka sendiri sungkan menyebut "rumah mewah" atau
"rumah mahal" -- yang tersebar di koran-koran Jakarta.
Iklan-iklan mana agak tambah gencar awal tahun ini. Lebih-lebih
semenjak kejutan hutang Pertamina menyentuh usaha tanah dan
bangunan real estate), pertengahan tahun silam. Rayuan-rayuan
mana menunjukkan "banting setir" yang radikal dibandingkan
dengan masa jaya-jayanya bisnis ini, ketika kebanyakan berhasil
menjual barang dagangannya secara a kontan. Apakah pasarannya
sekarang memang sedang kendor?
Ir Santoso Sutrisno, sekjen Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI)
mengiakan pertanyaan itu. "Boom rumah mewah sekarang ini sudah
berlalu. Tidak lagi seperti tahun 1969-1973, ketika permintaan
akan rumah mewah cukup besar". Menurut dia, pasaran rumah mewah
ketika itu adalah para penanam modal asing dan pejabat-pejabat
kedutaan asing di Jakarta. Tapi setelah resesi ekonomi dunia dan
krisis Pertamina, banyak orang asing sudah kembali ke negeri
asalnya. Keterangan mana dibenarkan pula oleh Mu'min Ali,
direktur Panin Bank yang juga salah seoran pemegang saham
Greenville Estate di Tomang Barat, Jakarta Barat. Untung Sutomo,
manajer pemasaran PT Bangun Tjipta Sarana, dan Ferry Sonneville
yang baru membangun beberapa rumah meyah di kompleks Gunung
Putri dekat jalan raya Jagorawi, juga membenarkan adanya suasana
kendor itu.
Menurut ketua Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia (REI),
Eric Samola SH, salahnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor
di luar pengusaha seperti resesi ekonomi dan krisis Pertamina
itu. Tapi juga karena dunia usaha sendiri! "masih suka
musim-musiman dan latah". Menurut Samola "dulu ketika mobil
sedang laris, semua orang berlomba-lomba dagang mobil. Begitu
juga tekstil, dan hotel. Sekarang, berapa banyak kamar hotel
yang kosong? Perumahan Lux, begitu pula. Ketika dagang rumah
mewah menguntungkan, orang juga ramai-ramai nubruk rumah mewah.
Akibatnya setelah pasaran mulai sepi, saling bersaing sendiri.
Dan terpaksa banting harga. Rumah-rumah di Simpruk yang dulunya
laku Rp 300 juta, sekarang ditawar-tawarkan Rp 100 juta saja
tidak ada yang mau beli".
Ada benarnya. Beberapa tahun silam berbagai perusahaan yang
tadinya tidak bergerak di bidang tanah dan bangunan pun ikut
arus menanamkan sebagian modalnya dalam rumah-rumah mewah.
Termasuk Pertamina, yang banyak juga melimpahkan duit ke
berbagai pembuatan gedung dan rumah mewah. Marsekal Suwoto
Sukendar, ketua KADIN yang punya perusahaan penerbangan itu pun
ikut terjun di bidang membuat gedung dan rumah, sebagai Dirut PT
Niaga Loka. Tidak ketinggalan kelompok Astra, Waringin Kencana
dan Panin Bank. Di luar mereka yang tergabung dalam REI itu,
tidak sedikit pula pengusaha perorangan yang rajin membiakkan
rumah mewah dengan modalnya yang terbatas tapi dengan perputaran
yang jauh lebih cepat dari pada perusahaan besar. Caranya adalah
dengan membeli rumah-rumah yang sudah tua di daerah-daerah yang
strategis letaknya, merombak atau sekedar memperbaikinya,
kemudian menawarkannya pada orang-orang asing dengan selera
siapa rumah baru itu sudah disesuaikan. Menurut ir Santoso,
mereka "lebih senang berurusan dengan orang asing dari pada
bangsa kita sendiri". Soalnya selain duitnya banyak,
orang-orang asing itu umumnya tidak mau cerewet. Misalnya orang
kedutaan, yang dalam tempo 2-3 tahun pasti akan keluar dari
rumah itu lantaran tugasnya sudah selesai tanpa si pemilik rumah
perlu mengeluarkan "uang kunci".
Sekalipun timbul persaingan yang cukup ramai, khususnya antara
anggota REI dan bukan, sekjen AKI Santoso Sutrisno berpendapat
bahwa bisnis ini tetap masih punya prospek baik. Mungkin tidak
di bidang perumahan, tapi perkantoran. "Dengan adanya keharusan
DKI agar kantor-kantor keluar dari daerah perumahan ke
gedung-gedung yang khusus untuk kantor, ada angin baik', kata
Santoso. Sampai sekarang, akibat kesulitan ruang kantor banyak
hotel besar menyediakan ruangannya untuk kantor. Kelangkaan
ruangan kantor itu dengan cepat mengerek tarif sewanya naik dari
6 dollar AS/m2 di tahun 1969 menjadi 12,50 sampai 17,50 dollar
AS/m2 sebulan sekarang ini. Tapi itu hanyalah di daerah jalan
Thamrin yang sangat strategis itu. Kendati demikian gedung
perkantoran Sky Building masih jadi rebutan. Beberapa perusahaan
sedangan masih dapat menyewa ruang kantor di jalan Senen Raya
hanya untuk AS$ 7/m2 sebulan sampai saat ini.
APAKAH dengan demikian para pengusaha real estate kini
dianjurkan ramai-ramai membangun gedung perkantoran, dan
berhenti membangun rumah-rumah tinggal? Santoso tidak setuju
kalau kegiatan pembangunan rumah mewah distop. "Biarkan saja",
katanya. "Dalam sistim perdagangan bebas dewasa ini baiknya kita
serahkan saja kepada pasar". Pendapat ini, tidak sepenuhnya
disokong oleh ketua REI. "Pasaran sebenarnya bagi pengusaha real
estate bukannya rumah-rumah mewah itu, melainkan perumahan
rakyat". Maksudnya "perumahan yang tercapai oleh lapisan rakyat
tertentu". Dia rupanya tak setuju dengan istilah "rumah murah"
atau "rumah rakyat". Dan lebih senang menggunakan istilah "rumah
sehat" yang kini memang sedang dipopulerkan oleh Gubernur Ali
Sadikin. Sambil menunjuk ke bawah dari jendela kantornya di
tingkat 11 Gedung Jaya, dari mana jelas terbentang rumah-rumah
rakyat, berpenghasilan rendah di sebelah barat jalan Thamrin dia
berkata: "bukankah itu pasaran potensiil yang luas sekali,
kalau saja bisa digarap? Masakan mereka harus terus tinggal di
petak-petak yang tak sehat lagi mudah terbakar itu?"
Idiilnya memang begitu. Tapi nyatanya membangun perumahan rakyat
yang murah dan sehat itu belum menarik pengusaha swasta. Malah
umumnya menyatakan akan "rugi" kalau toh pemerintah memaksa
mereka berusaha di bidang itu dalam kondisi seperti sekarang.
Menurut Samola, ada 5 faktor yang menentukan murah-mahalnya
sebuah rumah. Empat di antaranya ada dalam kekuasaan
pemerintah, dan hanya satu faktor -- yakni pemasaran-dapat
dipengaruhi oleh pengusaha, meskipun tidak terlepas dari
faktor-faktor lainnya. "Harga rumah pertama-tama ditentukan oleh
harga tanah. Kalau tanahnya mahal, rumahnya pun mahal. Kalau
harga tanah naik, harga rumah pun naik", ujar ketua REI yang
juga direktur Jaya Realty itu. Dia juga banyak tahu tentang
liku-liku mengurus pengoperan hak guna tanah dan sewanya dari
pemerintah, serta pembebasannya dari penghuni semula.
Menggarisbawahi seruan Federasi Real Estate Internasional
(FIABCI) di Madrid beberapa waktu lalu agar "real estate jangan
terus menjadi sapi perahan pemerintah", ketua REI juga menyebut
pembatasan hak sewa tanah (negara) di Indonesia yang hanya 30
tahun saja -- dibandingkan dengan 99 tahun di Singapura sebagai
salah satu penyebab mahalnya harga rumah yang dibangun swasta di
sini.
BUAT orang luar, harga tanah di Jakarta ini memang bisa
membuatnya bingung. Beberapa tergolong paling mahal di Asia
Tenggara. Malah paling mahal di seluruh dunia. Tahun lalu
misalnya, harga tanah yang termasuk mahal adalah di sepanjang
Jalan M. Thamrin yang tiap tahun tidak pernah absen dari banjir,
yakni Rp 90 ribu/ m2. Menyusul kemudian jalan Imam Bonjol,
Diponegoro dan ajah Mada (Rp 72 ribu/m2). Kemudian Merdeka
Barat dan Jenderal Sudirman (Rp 54 ribu/m2), Letjen S. Parman
(Rp 45 ribu/m). Kramat Raya, Salemba Raya dan Jenderal Achmad
Jani (Rp 36 ribu/m2), Cikini Raya, Menteng Raya dan Mangga Besar
(Rp 27 ribu/m2), dan yang relatif paling murah adalah daerah
Tomang dan Kemanggisan, yakni Rp 18 ribu/ m2. Mengapa relatif,
sebab di luar daerah-daerah tadinya yang umumnya menjadi incaran
para pengusaha, masih banyak tanah-tanah murah di mana
orang-orang yang rada berduit membangun rumah pribadinya.
Misalnya di daerah Cililitan dekat asrama tentara, di mana
tanah girik masih ada yang berharga Rp 8.50/m2.
Selain harga tanahnya sendiri sudah mahal, para pengusaha real
estate yang rata-rata bermodal 1/2 sampai 1 milyar rupiah itu
harus menyisihkan 30O dari tanah yang dikuasainya untuk
pembangunan prasarana -- seperti jalan dan taman untuk umum.
Suatu keharusan pemerintah, yang akhirnya akan dibebankan pada
pembeli juga. Itu kembali merupakan satu unsur pengerek harga.
Namun faktor nomer dua sesudah harga tanah dalam biaya produksi
rumah adalah harga bahan bangunan. Bahan mana, untuk rumah-rumah
mewah yang banyak dibangun di daerah Ancol, Pluit, Pulomas,
Cempaka Putih, Kemang, Tomang, Simpruk dan Sawangan itu umumnya
diimpor dari luar negeri. Misalnya rumah-rumah dalam kompleks
Greenville Estate, Tomang Barat. Rumah-rumah bertingkat itu
semuanya terbuat dari beton bertulang punya 5 kamar tidur, 4 wc,
5 kamar mandi. Satu di antaranya memakai bak tempat merendam
badan ala orang Barat dari keramik. Dindingnya berlapis porselen
buatan Jepang, dan lantainya berlapis mosaik. Selain itu setiap
rumah memiliki garasi mobil dengan pintu gulung (roll-a-door)
bikinan Australia. Lantai dalam rumah berlapis ubin teraso,
sedang dinding depan dari batu pualam.
Harga yang sudah tinggi lantaran biaya bahan bangunan eks impor
itu bakal kian menjadi-jadi apabila rumah itu masih dilengkapi
dengan taman hlas dan kolam renang . Seperti dikatakan sekjen
AKI, "untuk membuat taman saja tidak kurang dari Rp 1 juta".
Tapi baiklah, itu memang berlebih-lebihan. Yang memang merupakan
kebutuhan utama seperti listrik pun harus dilengkapi oleh
pengusahanya sendiri. Seperti kata Mu'min Ali dari Greenville
Estate, "PLN hanya memasang instalasi dan mensuplai arus
listrik". Tapi gardu trafo, tiang-tiang dan semua kabel harus
disediakan sendiri oleh si pengusaha. Begitu pula saluran air
minum sepanjang 800 meter dari jalan raya masuk ke kompleks
Makanya bisa dimengerti mengapa harga jualnya akhirnya jatuh
begitu tinggi. Di kompleks Greenville Estate itu misalnya, ada
8 rumah yang tergolong kelas mewah berharga Rp 60-65 juta.
Sedang yang kelas medium Rp 32,5 juta plus telepon. Tapi itu
belum apa-apa dibandingkan dengan rumah mewah di Simpruk yang
dilengkapi halaman luas, taman dan kolam renang seharga Rp 300
juta.
Tapi gegap gempitanya perumahan mewah pelan-pelan mulai berlalu.
Semenjak krisis Pertamina sebagai klimaks dari rentetan krisis
ekonomi sebelumnya, memaksa Pemerintah mengencangkan ikat
pinggangnya. Maka para pengusaha tanah & bangunan pun kehilangan
langganannya . Mulai terdengar suara yang menyesalkan penguncian
keran kredit buat real estate (suatu langkah lanjut paket 9
April 1974). Ternyata faktor pembiayaan pun masih merupakan
faktor kritis yang menyulitkan para pengusaha tanah & bangunan
tadinya bergerak di bidang perumahan medium dan "murah" yang
tidak cepat panen itu. Itulah taktor penentu harga rumah nomor
tiga menurut Eric Samola, yang berada dalam kekuasaan
pemerintah. "Bukankah papan (perumahan) merupakan salah satu
tujuan Pelita?" tanya Samola. "Kita tidak minta disubsidi,
seperti beras. Kita hanya minta kredit murah. Kalau pemerintah
mau memberi kredit murah, tidak seperti sekarang 2% sebulan,
orang akan ramai-ramai membangun rumah rakyat. Dan karena
kompetisi membangun rumah rakyat akan jadi tajam, harga rumah
pun akan jadi murah".
ITULAH ketiga faktor yang ada dalam jangkauan pemerintah. Yang
ada dalam jangkauan pengusaha adalah faktor pemasaran. Terserah
pada pengusaha -- dalam rangka saling bersaing itu -- untuk
menjual kontan atau angsuran. Tapi itu pun tergantung pada
caranya si pengusaha memperoleh pembiayaan guna membangun rumah
itu. Dengan perkembangan bidang usaha ini, Samola menduga akan
timbul pula bermacam-macam "spesialis". Yang khusus mencari
tanah untuk dimatangkan dan dibanguni gedung disebut developer.
Dialah bouwheer (pemberi pekerjaan) yang membayar pemborong
atau kontraktor untuk membangun gedung lengkap dengan
prasarananya. Developer itu baru memberi order pembangunan
proyek pada pemborong, setelah mendapat jaminan pinjaman dari
bank. Atau jaminan subsidi dari pemerintah untuk calon-calon
pembeli rumah yang dibangunnya itu. Sedang urusan penjualan,
ditangani oleh agen-agen (yang di luar negeri disebut realtor)
yang langsung berurusan dengan konsumen akhir.
Nah, setelah mengkaji keempat faktor di atas, yang menentukan
laris tidaknya rumah, terpulang pada daya beli konsumen jua.
Mulai dari sekelompok kecil yang berpenghasilan sangat tinggi,
kelas menengah yang masih tipis dan mayoritas rakyat yang
miskin. Kontras-kontras mana dengan mudah sekali kelihatan di
Jakarta. Menurut kategori Bangun Tjipta, rumah mewah adalah
yang berharga di atas Rp 15 juta. Yang sedangan antara Rp 6
sampai 15 juta. Sedang yang di bawah Rp 6 juta, itulah yang
mereka sebut "rumah murah".
Usaha pembangunan rumah murah itu bukan hanya akan bertengger
pada yang tarifnya Rp 3 sampai 4 juta saja. Di atas kertas,
sudah siap rencana pembangunan 1000 rumah yang harganya berkisar
antara Rp 1 hingga 1,5 juta. Tempatnya di daerah Pulo Gadung.
Bagaimana bentuknya? "Standarnya dicontoh dari proyek Husni
Thamrinnya DKI", tutur Untung Sutomo dari Bangun Tjipta.
Nantinya di daerah Pulo Gadung itu akan dibangun rumah-rumah
mungil dengan jalan-jalan sempit yang disemen. Untung Sutomo
keberatan menggunakan istilah "kampung sehat". Sebab contohnya
kira-kira seperti "pe- rumahan di daerah Grogol yang mempunyai
gang-gang seebar 1 ,5 meter saja". Adapun dari
pengusaha-pengusaha lain belum terdengar niat-niat membangun
rumah murah seperti yang mau dirintis Bangun Tjipta itu.
Kecuali PT Jaya Realty, yang sudah punya gagasan mendirikan
rumah-rumah pre-fabricated (rumah-rumah yang bagiannya
diproduksi secara massal kemudian dirakit di tempat). Hanya saja
persiapannya masih jauh, sehingga rencana yang matang belum
dapat disodorkan ke depan. Sementara itu, beberapa pengusaha
real estate lainnya yang dihubungi TEMPO menunjuk pada rencana
pembangunan 100 rumah murah a Rp 1,5 juta yang segera akan
dibangun oleh Perusahaan Tanah .: Bangunan DKI! di kelurahan
Joglo, Jakarta Barat. "Itu kan dibangun dari dana yang
dimintakan dari kami", ujar mereka seraya mengembalikan
masalahnya ke alamat pemerintah.
Meskipun belakangan ini iklan-iklan menunjukkan adanya kompetisi
yang makin seru, banyak pengusaha toh tetap optimis. Seperti
misalnya drs Ferry Sonneville yang meski tersendat-sendat terus
membangun rumah-rumah mewahnya di antara proyek Jagorawi dan
pabrik semen Cibinong I dan II. "Keadaan lesu sekarang ini hanya
bersifat temporer", katanya. Menurut dia, "usaha tanah &
bangunan sangat peka terhadap situasi ekonomi, tapi satu saat
keadaan akan berubah dan harga akan menyesuaikan diri lagi" Lagi
pula, bekas juara bulutangkis itu beranggapan keinginan
masyarakat untuk "memiliki rumah" masih lebih kuat dari pada
"menyewa rumah" Anggapan mana mungkin lebih berlaku pada orang
yang berduit ketimbang mereka yang gajinya hanya pas-pasan untuk
hidup dan mengontrak rumah.
Berbeda dengan pengusaha lainnya yang lebih senang ngendon di
dalam atau pinggir kota Jakarta di mana tanah sudah tidak murah
lagi, Ferry tidak tanggung-tanggung jauhnya pergi mencari tanah
murah. Dengan melewati jalan raya Jakarrta - Bogor yang konon
paling ramai di seluruh Indonesia, perjalanan dari Menteng Raya
ke Gunung Puteri naik mobil bisa makan waktu 1 1/2 jam. Mungkin
itu sebabnya baru 8 rumah yang dibangunnya di sana, karena
mung- kin peminatnya masih kurang. Tapi dia rupanya menantikan
rampungnya jalan raya Jagorawi 2 tahun lagi, setelah mana
gangguan kemacetan lalu-lintas akan minim sekali bagi para
penghuni Gunung Puteri yang bekerja di pusat kota. Di samping
itu, sistim Cul-de-Sac (rumah yang dikelilingi taman, tanpa
dikepung pagar) yang konon ditirunya dari perumahan orang-orang
Amerika di Sawangan, merupakan daya penarik sendiri bagi
orang-orang Barat yang ingin keluar dari kepungan polusi di
kota. Sedang harganya, jauh lebih murah dari pada jenis rumah
yang sama di dalam kota Jakarta: yakni Rp 30 juta satu rumah.
KALAU orang Barat berusaha menyingkir ke pinggiran kota,
kompleks perumahan mewah yang dekat pusat perdagangan tidak
kalah ramainya. Seperti Pluit misalnya, di mana lebih dari 600
rumah sudah terisi. Harganya paling tinggi Rp 80 juta, dan
terbagi atas 4 tingkatan. Selain letaknya masih dekat ke- Kota,
daerah perumahan itu diapit oleh 2 jalur jalan besar serta
jaringan jalan sempit yang sebagian besar hasil karya Otoritas
Pluit (KI). Makanya mudah diduga, kompleks itu sekarang ini
sudah dapat dianggap sebagai perluasan daerah Pecinan di Kota,
setelah generasi para usahawan yang sekarang sudah tidak lagi
kepingin tinggal di daerah pertokoan merangkap tempat
tinggal, yang sumpek dan sempit itu. Tapi tidak mau berada
jauh dari daerah usahanya di bilangan Pintu Kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini