Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia mencatat cadangan devisa Indonesia pada akhir Juni 2022 sebesar US$ 136,4 miliar. Angka itu melampaui cadangan devisi per akhir Mei 2022 sebesar US$ 135,6 miliar. Artinya, cadangan devisa pada akhir bulan lalu naik US$ 0,8 miliar atau sekitar Rp 1,19 triliun.
"Peningkatan posisi cadangan devisa pada Juni 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan tertulis pada Kamis, 7 Juli 2022.
Cadangan devisa itu, menurut Erwin, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Nilai tersebut juga di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar Erwin.
Lebih jauh, Erwin menyebutkan Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai di masa mendatang. Hal ini didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Sementara itu, Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Faisal Rachman memperkirakan surplus barang pada neraca transaksi berjalan 2022 cenderung menyusut. Pasalnya, impor akan mengikuti ekspor seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi domestik.
"Kami masih melihat neraca transaksi berjalan 2022 berpotensi mencatat surplus kecil sebesar 0,03 persen dari PDB dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di level 0,28 persen dari PDB," ujar Faisal dalam keterangan resmi.
Dalam analisisnya, defisit jasa juga diprediksi cenderung melebar seiring membaiknya impor (pengangkutan) dan mobilitas masyarakat (perjalanan). Selain itu, tren kenaikan sebagian besar harga komoditas juga mulai mereda di tengah kekhawatiran resesi global yang mengarah ke stagflasi. Hal tersebut berisiko melemahkan kinerja ekspor pada semester II tahun 2022.
Selain itu, Faisal memprediksi neraca keuangan akan menghadapi beberapa risiko penurunan yang mungkin menutupi potensi aliran masuknya selama periode pemulihan ekonomi. Risikonya termasuk gangguan rantai pasokan global yang semakin parah dan tekanan inflasi, yang berpotensi menghasilkan normalisasi moneter global yang lebih hawkish daripada yang diantisipasi.
"Hal tersebut telah memicu sentimen flight to quality atau risk-off di emerging market, termasuk Indonesia, khususnya di pasar obligasi pemerintah (capital outflow)," tutur Faisal menanggapi lebih jauh tentang neraca transaksi berjalan dan kaitannya dengan cadangan devisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HENDARTYO HANGGI | BISNIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.