MAKA ditegurlah Ardjuna lantaran soal tjelana dalam. Koran
minggu itu selain bitjara soal djanda muda, ajah memperkosa anak
etcetera, 30 Mei jang lalu menjebut nama bintang film Tuty S.
pada halaman pertamanja: "Berita Dibalik Pinggul. Berapa Harga
Tjelana Dalam Tuty S.? Dan Lelaki Gatel Njelonong Pulang!". Isi
tjeritanja setjara singkat: ada laki-laki mentjoba menawar sang
bintang film untuk "anu", tapi sang bintang jang tidak mau
pura-pura taruh harga tinggi dengan membandingkan harga
tjelananja sadja jang sudah mentjapai Rp 30.000. Maka silelaki
keok, pulang. Moral tjerita Ardjuna itu agaknja: tidak semua
bintang film wanita berdwifungsi djadi "P".
Tapi Tuty S. merasa nama baiknja tertjela. Dia mengadukan
Ardjuna ke Dewan Kehormatan PWI. Setelah djuga mendengar
pendjelasan fihak penanggung djawab koran tersebut, Dewan
Kehormatan PWI ambil penilaian. Antara lain: "Pemuatan berita
tersebut, walau difihak redaksi mempunjai iktikad baik, namun
berita tsb tidak ada mengandung unsur-unsur kepentingan umum,
dan menjinggung kehidupan prive jbs. dan berakibat merusak nama
baik jbs. Karenanja harus dianggap bertentangan dengan Kode Etik
fasal 2". Dan Dewan Kehormatan-pun memberi peringatan keras:
kepada Ardjuna supaja hal-hal itu tak terulang lagi.
Prestasi. Belum sebulan Dewan Kehormatan PWI jang baru ini
dibentuk, peringatan matjam itu adalah suatu prestasi. Djuga
peringatannja kepada kalamis Harijadi S. Hartowardojo jang
pernah menulis di Sinar Harapan tentang "wartawan-wartawan jang
berhasil mengumpulkan uang sampai Rp 200 ribu tatkal mengikuti
rombongan Presiden" -- meskipun Harijadi sudah meralat itu. Maka
ada alasan buat Suardi Tasrif, sebagai anggota Dewan untuk
berbangga: "Kami baru sebulan sudah mengeluarkan 2 tanggapan".
Hal ini dihubung-kannja dengan prestasi Dewan Kehormatan PWI
tahun lalu jang praktis nol. Meskipun tidak berarti Dewan
Kehormatan PWI jang lalu terdiri dari orang-orang jarlg tidak
serius memperhatikan Kode Etik PWI, mengingat Ketuanja adalah
Sumanang SH, war tawan veteran jang sangat dihormati dan
terkenal amat prihatin akan mutu pers di Indonesia. Kematjetan
Dewan Kehormatan PWI jang lalu terutama karena tak adanja
peralatan buat meneliti kasus-kasus apa jang merupakan
pelanggaran Kode Etik. Mungkin sadar kekeliruannja diwaktu lalu,
untuk Dewan Kehormatan jang baru ini PWI berdjandji mau
menjediakan perlengkapan kerdja. Misalnja penjediaan segala
koran dan madjalah jang terbit di Indonesia buat dibatja dan
diteliti. "Djuga kami akan diberi uang sidang dan kami berusaha
mengadakan sidang paling sedikit sebulan sekali", kata Tasrif.
Tentunja soal-soal sekretariat dan dokumentasi djuga akan lebih
beres.
Namun bantuan jang lebih penting buat kerdja Dewan Kehormatan
sebetulnja terletak dalam tangan pers. Teguran terhadap Ardjuna
seharusnja disiar-luaskan, hingga publik tahu bahwa hak-hak
sebagai pribadi tidak bisa dirusak pers dan wartawan-wartawan
djuga makin menghormati Kode Etiknja sendiri. Sebab seperti
dikatakan S. Tasrif: "Kode Etik Djurnalistik itu adalah oleh,
dari dan untuk wartawan. Oleh karena itu jang penting apakah
kita, sebagai wartawan, akan mematuhi atau tidak Kode Etik
Djurnalistik itu".