Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Yeta Purnama mengungkapkan megaproyek belt and road initiative atau jalur sutra baru China di Indonesia. Dia membeberkan 10 negara teratas dengan proyek infrastruktur belt and road initiative yang sedang berjalan berdasarkan nilai dan jumlahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau kita lihat Indonesia ada di posisi kedua, US$ 20,3 miliar berdasarkan nilai,” ujar dia dalam acara Peluncuran Policy Paper Celios, di Hotel Ashley Wakhid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Kamis, 15 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun negara dengan nilai tertinggi adalah Pakistan mencapai US$ 27,3 miliar, kemudian ketiga Kazakhstan (US$ 12,1 miliar). Selanjutnya secara berurutan ada Malaysia (US$ 8,4 miliar); Kamboja (US$ 6,8 miliar); Kenya (US$ 6,3 miliar); Belarus (US$ 6,1 miliar); Si Lanka (US$ 5,5 miliar); Bangladesh (US$ 5 miliar); dan terakhir Ethiopia (US$ 4,1 miliar).
Sedangkan proyek infrastruktur belt and road initiative berdasarkan jumlah, Indonesia menempati posisi ketiga. “Di bawah Kamboja dan Pakistan,” kata Yeta. Jumlah proyek di Kamboja 82, Indonesia dan Pakistan sama-sama 71 proyek. Negara lainnya Mongolia 43 proyek, Belarus 35 proyek, Myanmar 33 proyek, Kamerun 30 proyek, Sri Lanka dan Angola 25 proyek, serta Kazakhstan 21 proyek.
Pada 2019, Yeta menuturkan, jumlah investasi belt and road initiative di ASEAN cukup tinggi. Di mana angka fantastis, tembus US$ 1 triliun. Nilai itu ditujukan ke empat negara ASEAN, yakni Indonesia, Vietnam, Kamboja, dan Singapura.
“Jenis investasi yang terlibat dengan proyek belt and road initiative meliputi sektor pembangunan, pengembangan transportasi, tambang, dan pembangkit listrik tenaga uap maupun air,” ujarnya.
Selanjutnya: Faktor yang mendorong peluncuran proyek jalur sutra
Menurut dia, belt and road initiative di negara berkembang termasuk Indonesia diluncurkan sejak tahun 2013. Faktor yang mendorong untuk peluncuran belt and road initiative adalah berkaitan dengan masalah ekonomi domestik China yang saat itu mengalami in-stabilitas.
Beberapa di antaranya adalah karena adanya penurunan produk domestik bruto (PDB), kelebihan kapasitas industri, kesenjangan sosial, dan tingginya angka pengangguran. Soal kelebihan kapasitas industri, Yeta berujar, pada 2008 Cina juga terdampak krisis moneter global, di mana pemerintah Negeri Tirai Bambu itu memberikan insetif kepada perusahaan untuk memproduksi banyak bahan industri.
“Seperti semen dan juga aspal, tapi hal ini akhirnya over production,” tutur dia.
Saat itu, Yeta melanjutkan, Xi Jinping menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis China dan memberikan inisiasi untuk menjadikan produk yang over supply ini menjadi nilai tambah ekonomi. Selain itu juga dipengaruhi oleh ambisi Xi Jinping untuk terlibat lebih di panggung internasional.
Selain sepuluh negara yang disebutkan Yeta, secara keseluruhan sebenarnya ada 147 negara yang telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) proyek kerja sama dengan China di bawah payung belt and road initiative. Jumlah ini merupakan dua pertiga populasi dunia dan melibatkan sekitar 40 persen dari PDB global. “Ini hampir seluruh negara di dunia ya,” kata dia.
Pilihan Editor: Ma'ruf Amin Ingin RI Punya Jalur Rempah Selain Jalur Sutra