Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gencarnya program transisi energi di Indonesia membuat bisnis kendaraan listrik bertambah semarak. Persaingan di antara para produsen mobil dan sepeda motor listrik serta komponennya semakin ketat. Satu di antaranya adalah PT VKTR Teknologi Mobilitas (VKTR), lini bisnis kendaraan setrum milik PT Bakrie & Brothers Tbk yang bersiap mengembangkan ekosistem kendaraan listrik sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VKTR menjadi salah satu pembawa bus listrik ke dalam negeri. VKTR menyediakan 30 bus listrik berlantai rendah buatan BYD Auto bagi Transjakarta. Kepada wartawan Tempo, Yohanes Paskalis dan Idham Viryawan, pada Oktober 2022, Direktur Utama VKTR Gilarsi Wahyu Setijono menyebutkan penyediaan produk hanyalah fase pertama dari ambisi elektrifikasi transportasi yang dirancang perusahaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nantinya, kata dia, VKTR bakal menggerakkan jaringan rantai pasok bahan baku baterai kendaraan listrik. Ekosistem ini didukung tambang nikel milik Grup Bakrie. Jika sudah mantap, VKTR berencana membangun pabrik baterai sendiri. Bagaimana sepak terjang VKTR di tengah tren adopsi kendaraan listrik? Berikut petikan wawancara Tempo dengan mantan Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) ini.
Bagaimana pertumbuhan pasar kendaraan listrik saat ini?
Adopsi EV (kendaraan listrik) di Indonesia sedikit terlambat. Berawal dari forum Bank Dunia di Bali. Baru kemudian pada 2018 produk EV (kendaraan listrik) banyak dikenalkan. Butuh tahap penyesuaian regulasi, karena izin penggunaannya juga belum ada, sertifikasi tipenya juga belum. Ada pula persyaratan soal maximum dan minimum noise jika kendaraan ini dikomersialkan. Sebab, kendaraan listrik, kan, sunyi jika masuk ke jalanan.
Apa yang membuat pertumbuhannya tersendat?
Kondisi permintaan dan pasokan EV sebelumnya seperti ayam dan telur. Pemakainya masih jarang, sementara yang mau membangun industrinya juga ragu-ragu dan menunggu banyak yang pakai. Setelah banyak berdiskusi, akhirnya terbit Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan sebagai payung hukum transisi kendaraan konvensional ke EV.
Dari situ, kendaraan listrik mulai dikenal, terutama pada segmen sepeda motor. Akhirnya dunia usaha bisa bergerak. Contohnya kami yang menjual 30 bus listrik pada awal 2022. Tapi, bahkan setelah regulasinya sudah jelas pun, tetap ada tunggu-tungguan antara penyedia stasiun pengisian daya dan para produsen. Pengembangan pasarnya memang bertahap.
Apa solusi untuk dilema "ayam dan telur" itu?
Pemerintah bisa mendorong terobosan. Bayangkan jika pemain charging station harus berinvestasi ratusan juta rupiah tapi pasar EV ternyata tidak ada. Seharusnya pemerintah bisa masuk (berinvestasi) duluan, lalu nanti menarik diri begitu ekosistemnya sudah jadi dan sektor swasta masuk. Tapi setidaknya sekarang sudah ada katalisator utama untuk pasar EV, yaitu regulasi pendukung.
Segmen EV apa yang paling mudah dimasuki?
Tentu pasar sepeda motor yang paling luar biasa. Konsep battery swap membuat pengisian dayanya lebih mudah. Bisa diisi di rumah meski dengan daya listrik di bawah 400 watt.
Dengan adanya kebijakan transisi energi, terdapat 120 juta populasi sepeda motor kita yang harus beralih. Kalau dalam setahun ada konversi 750 ribu-1 juta unit sepeda motor saja, kebutuhan EV menjadi sangat tinggi. Semua pemegang merek yang ingin masuk ke pasar sepeda motor EV, selama memenuhi kriteria pabrik, pasti akan diterima.
Bagaimana dengan segmen bus?
Ada lebih dari 200 ribu unit bus komersial berbagai ukuran di Indonesia. Mungkin tidak semuanya bisa tergantikan oleh EV, tapi potensi pasarnya tetap besar. Kami juga harus menggandeng banyak mitra untuk berproduksi. Supaya bisa mengejar target produksi 1.000 unit bus listrik per tahun, misalnya, kami butuh fasilitas yang sangat besar.
Untuk pengembangan kapasitas, VKTR mulai berkolaborasi dengan pabrikan karoseri Tri Sakti dari Magelang. Kami tentu ingin menjadi pemain bus EV nomor satu, tapi tantangannya besar. Jumlah angkutan EV yang beredar belum ada apa-apanya dibanding bus bertenaga bahan bakar fosil.
Khusus untuk Transjakarta, kami masih akan menambah bus pengumpan dulu, sambil menyiapkan portofolio bus EV untuk koridor utama yang jenis lantainya lebih tinggi.
Apa segmen lainnya?
Ada kesempatan untuk segmen truk yang jumlahnya sekitar 4-5 juta unit. Banyak perusahaan multinasional yang memakai truk untuk kebutuhan logistik. Kami ingin menjadi pionir EV, salah satunya bisa di segmen truk, ketika belum ada produsen yang bermain di situ.
Tinggal kami meyakinkan mereka (calon konsumen) soal perbedaan pengeluaran antara truk EV dan konvensional. Keunggulan EV adalah umurnya. Biaya perawatan jangka panjangnya lebih kecil dibanding kendaraan konvensional. Kami bisa memberi garansi suku cadang hingga 10 tahun. Kalau penyedia truk komersial biasa mana berani, paling lama tiga tahun.
Untuk produksi truk, kami perlu penyiapan portofolio, kemudian penyiapan purwarupa dan pengujian. Target komersialnya pada 2023.
Direktur Utama PT VKTR Teknologi Mobilitas, Gilarsi W. Setijono saat ditemui di kantornya, Jakarta, 16 November 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Apakah VKTR akan memproduksi sepeda motor EV juga?
Mimpi kami adalah bisa memproduksi 1 juta sepeda motor EV per tahun mulai 2023 dari pabrikan di Jawa Tengah. Kami punya empat model sepeda motor, dinamai V, K, T, dan R. Variannya bisa berupa sepeda motor bebek dan skuter. Masih tipe yang familiar di masyarakat, belum yang unik-unik dulu.
Sudah ada dua model yang sampai ke tahap alpha prototype, dan akan masuk beta prototype pada kuartal I 2023. Kalau tidak ada hambatan, kami akan luncurkan pada pertengahan 2023.
Siapa yang mengembangkan desainnya?
Kami punya design house sendiri, berkolaborasi dengan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Ada juga kerja sama dengan design house di India. Intinya, kami sesuaikan dengan kebutuhan. Ada pula yang lebih praktis, seperti berbagi produksi dengan entitas asal Cina. Jadi, bisa saja nanti kami beli desain dari mereka, dilihat mana opsi yang paling praktis.
Berapa besar investasi dari Grup Bakrie untuk VKTR?
Untuk fase pertama ada US$ 500 juta. Nanti untuk fase kedua tak akan kurang dari US$ 3-3,5 miliar. Ini belum masuk ke baterai, nanti rencananya ada (investasi) tersendiri lagi.
Artinya, VKTR juga akan membangun ekosistem EV sendiri?
Kami membaginya dalam tiga tahap. Fase pertama adalah penguatan distribusi produk di pasar, baik bus, truk, maupun sepeda motor, dan tak tertutup kemungkinan untuk jenis lain. Tahap selanjutnya, memproses nikel sampai ke produsen baterai.
Potensi produk nikel di Indonesia sangat besar, bisa kita ekspor agar menjadi baterai dan nanti ditarik kembali untuk semua kebutuhan kita. Sedangkan fase ketiga adalah pengembangan pabrik baterai sendiri. Masih kami jajaki karena tentu materialnya belum ada di Indonesia.
Ada rencana melakukan ekspansi ke daerah lain?
Kemampuan daerah untuk menyerap EV berbeda-beda. Manajemen pemerintah masih seperti sebagai perusahaan, penuh pertimbangan untung dan rugi. Harus jelas pendapatan berapa dan pengeluaran berapa, serta tidak boleh rugi atau defisit.
Pendapatan Provinsi DKI Jakarta di atas Rp 80 triliun, sudah jauh dari Surabaya yang pendapatannya hanya Rp 9 triliun. Padahal, kalau dari segi kebutuhan angkutan, banyak yang relatif mirip Jakarta. Jika menjadi kepala daerah, tentu pertimbangannya sesuai dengan jumlah anggaran yang berbeda itu.
PROFIL
Nama: Gilarsi Wahyu Setijono
Tanggal lahir: 10 Februari 1962
Pendidikan:
- Program Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (1981)
Karier:
- Senior Business Development Manager PT Bakrie and Brothers Tbk (1991-1994)
- Director Asia-Pacific Philips Lighting (2005-2006)
- CEO Shafira Corporation (2008-2012)
- CEO PT Adyawinsa Stamping Industries (2012-2015)
- CEO PT Pos Indonesia (2015-2020)
- CEO PT VKTR Teknologi Mobilitas (Januari 2022-sekarang)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo