Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Para pekerja di Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang tergabung dalam Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi atau SBIPE IMIP menolak kebijakan pemotongan gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Ketua SBIPE IMIP Henry Foord Jebss mengatakan kebijakan itu akan memberatkan buruh karena mengurangi pendapatan bersih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selain itu, SBIPE IMIP tidak yakin iuran yang disetor dijamin bisa kembali atau bisa untuk mendapatkan rumah. Henry sangsi dengan pemerintah karena berkaca pada kasus BPJS Ketenagakerjaan, banyak kasus pekerja sulit klaim manfaat. Belum lagi potensi korupsi yang bisa saja terjadi dalam pengelolaan dananya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Menabung sendiri lebih baik daripada menitipkan uang pada negara,” ujar Henry kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Selasa, 28 Mei 2024.
Meskipun, Henry mengaku, buruh IMIP masih kesulitan menabung karena upah yang diterima kecil. Menurut dia, gaji buruh di IMIP bervariasi tetapi rata-rata sekitar Rp 4 juta per bulan. Bagi pekerja baru, malah bisa di kisaran Rp 3 juta saja.
Buruh, kata Henry, harus lembur jika ingin mendapat upah lebih dari Rp 5 juta. Di sisi lain, Henry menambahkan, biaya hidup di Morowali mahal.
Apalagi harga kebutuhan pokok seperti beras, juga naik. Kemudian, biaya sewa hunian layak bisa mencapai Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan tunjangan perumahan dari perusahaan hanya Rp 600 ribu.
“Kalau kami harus iuran Tapera, situasinya (ekonomi buruh) bisa makin parah,” tutur Henry. “Tapera itu kebijakan yang memaksakan, sehingga kami menolak.”
Kebijakan pemotongan gaji pekerja untuk Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei lalu. Beleid ini merupakan revisi PP Nomor 25 Tahun 2020. Kepala negara mengklaim pemerintah sudah memperhitungkan kebijakan potong gaji 3 persen untuk Tapera ini.
Kebijakan itu tidak hanya ditolak buruh, tetapi juga pengusaha karena dinilai menambah beban. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan saat ini beban yang ditanggung pengusaha untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagkerjaan besarnya mencapai 18,24 persen hingga 19,74. Menurutnya, beban iuran itu semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Sementara itu, Istana belum memberi keterangan lebih banyak seiring banyaknya penolakan terhadap kebijakan ini. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno hanya mengatakan Kantor Staf Presiden (KSP) sudah menggelar rapat koordinasi mengenai perkara ini. Namun, ia tidak mengikuti rapat tersebut karena sedang ada agenda di Pekalongan, Jawa Tengah.
"Setahu saya, mengenai hal ini, izin prakarsa kan dari Kementerian PUPR. Nanti Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan akan menjelaskan," kata Pratikno usai mengumumkan nama Pansel Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi di Kementerian Sekretariat Negara, Kamis, 30 Mei 2024.
Adapun sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa Tapera merupakan tabungan yang bisa dimanfaatkan pekerja untuk mendapatkan rumah. Ia menepis anggapan bahwa uang yang disetor tidak bisa diklaim manfaatnya. "Tapera itu tabungan. Bukan (gaji) dipotong, terus ilang," kata Basuki, Selasa, 28 Mei 2024.
Pilihan Editor: Ragam Program Serupa Tapera