Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino sedang berada di Hamburg, Jerman, ketika Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI memanggilnya Jumat dua pekan lalu. Lino hendak dimintai keterangan sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek cetak sawah, yang ditengarai fiktif.
Sejumlah saksi lain pun absen. Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Hendi Priyosantoso, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan, dan mantan Direktur Utama PT BNI (Persero) Gatot Suwondo tak bisa hadir dengan berbagai sebab. Begitu pula mantan Direktur Utama PT BRI Sofyan Basir (Persero) dan Direktur Utama PT Sang Hyang Seri (Persero) Upik Raslina Wasrin.
Cuma Pelindo dan PGN yang meminta penjadwalan ulang, yakni setelah bos mereka kembali ke Tanah Air. Lino sedang menghadiri Konferensi Pelabuhan dan Dermaga sedunia, sedangkan Hendi mengikuti Konferensi Gas Dunia di Paris, Prancis. Lino mengaku telah melayangkan surat pemberitahuan kepada Badan Reserse Kriminal tentang ketidakhadirannya. "Saya siap memenuhi panggilan Bareskrim sepulang dari Hamburg," kata Lino kepada Yos Rizal dari Tempo, Senin pekan lalu.
Hendi juga berjanji. "Saya akan kooperatif dan akan datang untuk menjelaskan hal tersebut," ujarnya melalui layanan pesan instan kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Adapun Pertamina mengirim surat kepada Bareskrim, meminta agar pemeriksaan atau pemberian keterangan terhadap Karen dapat diwakili oleh tim Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) perusahaan. "Bu Karen tidak memiliki informasi terkait dengan hal itu. Rapat-rapat lebih banyak dihadiri tim PKBL," kata juru bicara Pertamina, Wiyanda Pusponegoro.
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan alias PKBL meliputi kegiatan kemitraan berupa pembinaan usaha kecil dan pemberdayaan masyarakat. Pekan lalu, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkap potensi kerugian negara sekitar Rp 224 miliar atas kegiatan bina lingkungan ini. Salah satunya proyek cetak sawah, yang terindikasi merugikan negara Rp 208 miliar.
BPK mengaudit khusus pelaksanaan program Bina Lingkungan Peduli tahun 2012-2014. Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap 6 dari 23 kegiatan tersebut dirilis 23 April lalu. Auditor keuangan negara ini menyimpulkan penggunaan dana program itu tidak memenuhi asas pengelolaan keuangan negara yang memadai. "Intinya, semua bermasalah. Mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasannya," anggota BPK, Achsanul Qosasi, mengatakan kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Bermodalkan laporan itu, Bareskrim Polri bergerak menyelidik. Menurut Achsanul, tim Bareskrim beberapa kali datang ke kantor BPK untuk membahas temuan-temuan dalam audit. "Finalisasinya pada Maret lalu," ia menambahkan.
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso mengaku telah mengantongi sejumlah nama yang berpotensi menjadi tersangka dalam kasus ini. "Dugaan sudah ada. Tapi nanti kita lihat lagi. Jangan cepat-cepat. Kami masih berfokus pada saksi-saksi," katanya Rabu pekan lalu.
Program cetak sawah didasarkan pada Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor S-133/MBU/2012 tertanggal 19 Maret 2012. Menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan, menugasi PT Sang Hyang Seri (Persero) sebagai pelaksana. Targetnya, menurut Kepala Satuan Pengawas Internal Sang Hyang Seri Ahmad Yani, membangun area persawahan baru seluas 40 ribu hektare di lahan telantar alias lahan tidur.
Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memang punya rencana meningkatkan ketahanan pangan nasional. Kebetulan, berdasarkan catatan Badan Pertanahan Nasional, saat itu terdapat sekitar 11 juta hektare tanah telantar di seluruh Nusantara.
Anggaran proyek cetak sawah, menurut audit BPK, dialokasikan Rp 402 miliar berasal dari sisa program Bina Lingkungan Peduli yang dikelola BUMN koordinator. Pada November 2012, Dahlan membagi kegiatan ke dalam delapan sektor, yang masing-masing dikoordinasi oleh satu perusahaan BUMN.
PT PGN (Persero) mengkoordinasi pengumpulan dana untuk sektor pendidikan, PT BNI (Persero) menangani bencana alam, PT Pertamina (Persero) menggarap daerah tertinggal, dan PT Pelindo II mengerjakan pulau-pulau di perbatasan/terpencil. PT BRI menangani operasi pasar murah, PT Hutama Karya untuk sarana-prasarana umum dan rumah layak huni, PT Askes di bidang kesehatan, serta Perum Perhutani untuk pelestarian alam dan lingkungan. Total dana yang terkumpul per akhir 2012 sekitar Rp 887 miliar.
Dahlan, melalui situs pribadinya, dahlaniskan.wordpress.com, sangat bangga akan program cetak sawah. Ia memberi judul tulisannya "Kuliah Tanam Padi di Universitas Sawah Baru", yang dimuat Senin, 8 April 2013. Di situ, ia pamer hasil karya Sang Hyang Seri yang sukses menghasilkan area sawah baru di Ketapang, Kalimantan Barat. "Begitulah. Sawah baru yang dibuka BUMN di Ketapang, Kalbar, sudah mulai panen. Sekarang pun tiap hari masih panen. Di sawah baru itu tiap hari memang dilakukan penanaman padi sehingga hampir tiap hari juga bisa panen."
Dia menyebutkan tingkat produksi mencapai 5,25 ton per hektare-sama dengan rata-rata produktivitas nasional. Padahal sawah baru ini berada di lahan gambut yang kurang ramah terhadap tanaman padi. Dahlan pun menargetkan pengadaan area sawah baru hingga 100 ribu hektare. "Kini, di Ketapang, rata-rata setiap hari dilakukan penanaman padi 15 ha. Sampai minggu ini sudah lebih dari 500 ha sawah baru tercipta di sana. Sampai akhir Juni nanti sudah harus 1.000 ha. Begitulah terus-menerus dilakukan hingga akhirnya nanti mencapai 100 ribu ha."
REKOMENDASI BPK lugas: meminta Menteri BUMN menjatuhkan sanksi kepada pejabat yang menyebabkan program cetak sawah gagal memenuhi komitmen. Pertama, sanksi kepada Asisten Deputi PKBL Kementerian BUMN yang dianggap lalai mengkoordinasi penyusunan rencana kerja dan anggaran pengelolaan dana program cetak sawah.
Kedua, sanksi kepada direksi Sang Hyang Seri yang dinilai lalai karena tidak membuat rencana kerja dan anggaran pengelolaan dana. Dan, ketiga, membuat ketentuan bahwa seluruh penggunaan dana BUMN (nonpemerintah) tetap harus direncanakan dengan memadai.
Menurut audit BPK, kelalaian itu mengakibatkan sawah yang telah tercetak tidak bisa segera dibudidayakan. Tujuan program untuk meningkatkan kesejahteraan petani tak tercapai. Cita-cita penggunaan dana secara bergulir untuk program cetak sawah selanjutnya pun tidak bisa terealisasi.
Manajemen Sang Hyang Seri menolak disebut lalai. Mewakili direksinya, Ahmad Yani memastikan mereka bekerja sesuai dengan aturan dan penugasan. Perseroan mendapat tugas mengelola 10 ribu hektare. Hasilnya: bedah lahan 4.000 hektare dan yang ditanami seluas 1.100 hektare. Tapi pekerjaan tak sampai rampung karena Kementerian BUMN memutuskan mengalihkan komando proyek kepada PT Pupuk Indonesia. "Kami lantas tidak terlibat lagi," ucapnya.
Sementara itu, Pupuk Indonesia hingga kini masih menunggu hasil audit lengkap atas pekerjaan cetak sawah sebelumnya. Sekretaris perusahaan Pupuk Indonesia, Budi Asikin, mengatakan perusahaannya bahkan belum menerima uang sepeser pun untuk menggarap 100 hektare yang telah diserahterimakan. "Baru 100 hektare yang dokumennya lengkap. Itu pun kami garap menggunakan duit internal," ujarnya.
Dahlan Iskan enggan menjelaskan duduk persoalan. Dua kali ditemui pada Kamis malam dan Jumat sore pekan lalu, ketika ia diperiksa di kantor Kejaksaan Tinggi DKI, ia bergeming saat ditanya soal tudingan tentang program cetak sawah. "Ini pengalaman menarik, diperiksa pertama kali di usia 64 tahun," katanya di sela pemeriksaannya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gardu induk PT PLN itu, Kamis pekan lalu.
Esoknya, Dahlan kembali berusaha berkelit. "Saya mau salat," ucapnya saat dicegat wartawan. Ia hanya tersenyum dan mendengarkan semua pertanyaan yang diajukan para pewarta. Beberapa kali sempat berhenti, tapi dia tetap tak mau menjawab.
Tempo juga mengajukan permohonan wawancara kepada Dahlan melalui kantor Jawa Pos Group di Surabaya. Direktur Jawa Pos Leak Kustiya bahkan menyebutkan bosnya sedang berada di Amerika Serikat dan baru akan kembali ke Tanah Air pada Sabtu, 6 Juni.
Jumat malam pekan lalu, sejumlah orang dekat Dahlan dan petinggi Jawa Pos berkumpul di The Capital Residence, kawasan SCBD Jakarta. Di apartemen tempat tinggal Dahlan itu, tampak antara lain mantan Direktur Utama PT RNI Ismed Hasan Putro dan anggota staf khusus Dahlan ketika menjabat Menteri BUMN, Abdul Aziz.
Pukul 21.45, Ismed meninggalkan apartemen. Aziz menyusul keluar 20 menit kemudian dan mengatakan Dahlan tidak bisa ditemui. "Tanya ke pejabat yang berwenang saja," ujarnya. Aziz memastikan Dahlan dalam keadaan sehat dan siap bertanggung jawab.
Ketika ditemui Senin pekan lalu, Ismed menjelaskan ide program cetak sawah didasari kondisi tren peningkatan impor beras Indonesia. Itu sebabnya, dia bercerita, Dahlan punya obsesi mencetak sawah secara berlipat guna mendongkrak produksi beras lebih cepat. "Kebetulan saat itu Badan Pertanahan Nasional menyebut ada jutaan hektare lahan tidur."
Niat untuk cepat-cepat bikin sawah itulah yang kini berbuntut masalah. Menurut Achsanul Qosasi, penggunaan dana PKBL sejak mula diperkirakan menjadi problem. "Agak repot karena diberikan tanpa syarat. Betul-betul sedekah." Program bina lingkungan pembina dijalankan atas instruksi Kementerian BUMN. "Perusahaan tidak ikut menentukan sama sekali. Pokoknya apa kata Menteri."
Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu juga melihat mekanisme penggunaan duit perusahaan pelat merah itu memang sangat rentan. Ia bahkan menyebutnya sebagai uang tak bertuan. "Bahaya sekali. Uang disisihkan, tapi tidak masuk neraca perusahaan secara keseluruhan. Off balance sheet di buku pemerintahan dan perusahaan."
Berdasarkan audit BPK, selama lima tahun hingga 2014, terkumpul dana bina lingkungan sebesar Rp 7 triliun. Sebanyak 70 persennya untuk bina lingkungan pembina dan 30 persen jadi jatah bina lingkungan peduli. Achsanul tak mau memastikan apakah ada niat jahat di balik proyek berperencanaan buruk. Katanya, "Biar Bareskrim yang membuktikan."
Retno Sulistyowati, Gustidha Budirntie, Ayu Prima Sandi, Franssisco Rosarians, Istman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo