Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir*
Beberapa hari setelah Raja Thailand Bhumibol Adulyadej meninggal, pemain pasar global serentak menjual surat utang negara Thailand senilai US$ 1 miliar. Ini mencerminkan kekhawatiran naiknya ketidakpastian suhu politik di negara tetangga kita itu dengan hilangnya tokoh pemersatu.
Dua tahun lalu, Thailand mengalami kudeta militer yang dipimpin Jenderal Prayut Chan-o-cha, setelah memuncaknya bentrokan fisik di Bangkok antara kelompok berbaju merah, pendukung bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra, dan kubu anti-Thaksin, yang berbaju kuning. Masalahnya, putra mahkota Maha Vajilongkorn dianggap belum teruji dan tak disegani seperti ayahnya. Ada kekhawatiran pemerintah militer yang saat ini masih berkuasa akan menunda rencana pemilihan umum tahun depan.
Seiring dengan hengkangnya dana asing dari pasar uang Thailand, tren serupa terjadi di pasar sahamnya. Indeks saham bursa Thailand (SET Index) turun 2,0 persen dan mata uang baht turut melemah 1,3 persen. Ini membuat beberapa pengamat teringat peristiwa krisis keuangan 19 tahun lalu. Krisis 1997 dimulai dengan hengkangnya dana asing dari pasar Thailand dan menyebar ke negara lain di kawasan Asia, khususnya Korea dan Indonesia. Perbankan kita ambruk dan harus dibereskan dengan ongkos mahal.
Kekhawatiran krisis keuangan Asia akan terulang rasanya agak berlebihan. Seperti 19 tahun silam, pasar dunia memang sedang kebanjiran dana akibat dilonggarkannya kebijakan moneter di banyak negara. Terjadi penurunan tingkat suku bunga yang cukup drastis, bahkan di beberapa negara sudah mendekati nol. Dana asing murah ini terus mengalir ke seluruh penjuru dunia mencari investasi. Sebagian singgah ke pasar uang negara berkembang, termasuk Thailand dan Indonesia.
Dana asing memang bisa dengan mudah pergi ke luar dari negara mana pun karena persepsi risiko yang meningkat. Ditambah dengan rencana kenaikan suku bunga dolar oleh Federal Reserve. Harga saham, surat utang, dan mata uang akan ikut melemah. Tapi dana yang keluar dari Thailand kali ini masih relatif kecil. Tingkat ketidakpastian memang meningkat, tapi suhu politiknya masih terkendali. Ekonomi Thailand dan Indonesia hari ini pun lebih baik, dengan sektor perbankan yang jauh lebih mapan dibanding pada 1997-1998. Perbankan kedua negara ini dapat lebih tahan menghadapi gejolak kurs ataupun naiknya tingkat kredit bermasalah akibat kelesuan ekonomi.
Pada krisis lalu, defisit transaksi berjalan Thailand mencapai 7 persen dari PDB. Utang luar negerinya mencapai US$ 109,3 miliar, sedangkan cadangan devisanya hanya US$ 38,7 miliar. Saat ini defisit transaksi berjalan mereka surplus 0,7 persen. Utang luar negeri US$ 158,3 miliar dan ditopang cadangan devisa US$ 181,8 miliar. Tingkat kecukupan modal perbankan Thailand saat ini di tingkat 17,5 persen, dibanding 9,2 persen pada waktu krisis 1997-1998. Adapun kredit bermasalah pada level 2,7 persen, dibanding 35,9-52,6 persen pada masa menjelang dan puncak krisis.
Ekonomi Indonesia pun sudah jauh lebih baik. Walau transaksi berjalan sekarang masih defisit, tingkatannya sudah turun ke 2,1 persen, dibanding 3,7 persen setahun sebelum krisis. Utang luar negeri 28,4 persen dari PDB, dibanding 52,0 persen pada 1997. Cadangan devisa kita sekarang US$ 115,7 miliar, sedangkan pada krisis yang lalu hanya US$ 17,5 miliar.
Di sektor perbankan, tingkat kecukupan modal saat ini sekitar 20 persen, jauh di atas level pada waktu menjelang krisis, yang cuma 6,8 persen. Kredit bermasalah pun tercatat 2,7 persen, jauh lebih rendah dibanding 10,6 persen setahun sebelum krisis, yang kemudian memuncak ke angka 58,7 persen pada 1999. Waspada boleh, tapi khawatir berlebihan rasanya tak beralasan. *) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo