Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Daging dengan Kewarganegaraan Palsu

Meski dilarang, daging asal India dan Amerika mudah ditemukan di pasar. Seperti ada mafianya.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA tak berharap bisa dapat berbelanja murah? Tapi, kalau yang "diobral" itu daging sapi, tunggu dulu. Siapa tahu "paket hemat" ini malah jadi penyakit. Soalnya, sejak medio Mei lalu pasar-pasar di Jakarta dan beberapa kota besar, antara lain Bandung, memang dibanjiri daging impor yang selisih harganya dengan daging lokal bisa mencapai Rp 10 ribu-Rp 15 ribu.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menengarai, daging berharga miring itu berasal dari Amerika Serikat dan India. Nah, kedua negara ini dilarang mengekspor ternak ke Indonesia. Daging dari India dilarang masuk karena wabah penyakit mulut dan kuku nan tak kunjung tuntas di negara itu. Daging Amerika ditampik lantaran pada akhir tahun lalu diketahui ada seekor sapi di sana terjangkit penyakit bovine spongiform encephalopathy (BSE) alias sapi gila.

Daging memang termasuk komoditas yang perdagangan luar negerinya diatur pemerintah. Departemen Pertanian menetapkan sederet syarat kesehatan dan kehalalan yang harus dipenuhi setiap rumah potong hewan di luar negeri jika ingin menjual dagingnya ke Indonesia. "Persyaratan impor daging di sini termasuk yang sangat berat," kata Thomas Sembiring, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi).

Namun, pagar ketat itu ternyata mudah saja diterabas. Buktinya, ya, itu tadi: banjir daging ilegal di beberapa kota. Kantor Wilayah IV Bea dan Cukai di Jakarta serta Kantor Karantina Departemen Pertanian di Tanjung Priok memergoki tak kurang dari 22 kontainer berisi daging asal India dan Amerika—sepuluh di antaranya berisi daging dan jeroan asal Amerika.

Para pengimpor mengelabui aparat dengan memalsukan keterangan asal-muasal daging, yang ditulis dari Australia dan Selandia Baru. Dua negara ini memang diizinkan mengekspor daging ke Indonesia. Untuk mengecoh para pemeriksa, daging ilegal itu dikemas dalam bungkus yang mirip dengan kemasan yang dipakai rumah-rumah potong di Australia dan Selandia Baru. Hasilnya? Jangankan orang awam, para penginspeksi dari Bea Cukai dan Karantina pun dapat silap mata.

Akal bulus importir baru terbongkar pertengahan bulan lalu. Kecerewetan YLKI mempertanyakan harga daging yang murah mau tak mau meningkatkan sensor para petugas Bea Cukai dan Karantina di pelabuhan. Perhatian mereka tercurah ke sebuah peti kemas berukuran 40 kaki dengan nomor HDMU5425967/063793. Dalam dokumen kepabeanan, kontainer itu disebut berisi daging asal Selandia Baru.

Untunglah, seorang petugas lapangan Bea Cukai—ia menolak dikutip namanya—cukup jeli. "Kemasannya tidak rapi, dan terlihat ada benjolan di sana-sini," tuturnya. Kecurigaan mereka tergenapi setelah meneliti rute perjalanan kapal Norel Beach V 018 E yang mengangkut kontainer itu. Di dalam data perusahaan pelayaran tercantum kapal berangkat dari pelabuhan Mumbai, India, menuju Singapura. Di negeri jiran itu, daging asal India tersebut diturunkan untuk dikemas ulang dengan bungkus daging asal Selandia Baru.

Di Indonesia, daging ilegal—baik asal India maupun Amerika—punya pasar masing-masing. Daging asal India memiliki lebih banyak penggemar karena dibanderol dengan harga jauh lebih murah dibanding daging lokal. Sekilo daging sapi hasil rumah potong di Cakung berharga sekitar Rp 35 ribu, sementara harga daging India cuma Rp 21 ribu hingga Rp 25 ribu untuk berat yang sama. Daya beli masyarakat yang merosot ikut memicu larisnya daging asal India di pasar tradisional.

Adapun pengimpor daging asal Amerika membidik pembeli berkantong lebih tebal, termasuk para ekspatriat. Di supermarket, daging sapi asal Amerika dipajang dengan tulisan besar-besar sebagai steak impor dari Amerika. Meski beda "kewarganegaraan", kedua jenis daging itu sama terlarang, tapi bisa diperjualbelikan dengan bebas. "Perdagangan daging ini seperti ada mafianya," ujar Ketua YLKI, Indah Sukmaningsih.

Tudingan Indah terlontar dari ironi perdagangan daging ilegal yang sangat marak, sementara pihak berwenang seakan menutup mata. Tengok saja kasus tertangkapnya 22 kontainer daging ilegal di Tanjung Priok. Kendati barang bukti sudah di tangan, hingga kini tak jelas siapa yang bertanggung jawab. Dari manifes kapal dan dokumen impor, Bea Cukai menyebut telah mengantongi dua nama yang ditengarai sebagai pemilik ke-22 kontainer. "Proses penyidikan masih berjalan," kata Kepala Bidang Penyelidikan dan Pencegahan Bea Cukai Kantor Wilayah IV, Yusuf Indarto.

Sempat terbetik kabar, Unit Satuan Fiskal, Moneter, dan Devisa Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya ikut turun tangan menyelidiki kasus impor daging ilegal. Namun, selang dua hari, kabar itu justru dikoreksi pihak kepolisian. "Persoalan ini kami serahkan ke Bea Cukai selaku penyidik pegawai negeri sipil," kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Prasetyo, kepada Putri Alfariani dari Tempo News Room.

Kebijakan Departemen Pertanian, sebagai perumus perdagangan daging, justru memperkuat kesan adanya mafia di jagat perdagingan. Pada 1 Juni lalu, departemen tersebut mencabut larangan impor daging asal Amerika. Kendati beberapa bagian tubuh yang padat dengan jaringan saraf, seperti otak dan sumsum, tetap dinyatakan terlarang, kebijakan itu memancing tanda tanya. Adakah peraturan ini dijadikan celah untuk mengeluarkan sekitar 10 kontainer daging asal Amerika yang kini tertahan di Tanjung Priok?

"Tidak. Daging asal Amerika yang boleh masuk hanya daging yang diberangkatkan dari Amerika per 1 Juni," ujar Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian, Tri Satya Putri Naipospos. Tri menjelaskan, pencabutan itu lebih disebabkan tidak adanya kasus baru tentang sapi gila di Amerika yang terpantau oleh Badan Kesehatan Hewan Sedunia, yang biasa disingkat OIE (Office Des International Epizooties).

Tri mengklaim keputusan diambil berdasarkan pertimbangan profesional kesehatan, bukan dadakan. Menurut dia, para pengusaha yang tergabung dalam Aspidi telah mengajukan permohonan pencabutan larangan mengimpor daging dari Amerika sejak Maret lalu. Thomas Sembiring membenarkannya, dan menyebut permohonan itu dilatarbelakangi harga yang dikerek tinggi oleh para pedagang sapi di Australia dan Selandia Baru.

Harga sekilo jeroan, yang dulu berkisar US$ 0,5-US$ 0,6, kini US$ 1,1. Harga daging juga naik dari sekitar US$ 2,3 per kilo menjadi US$ 2,8. "Padahal, untuk pembeli lain, mereka tidak menaikkan harga," kata Sembiring. Itulah yang membuat Aspidi gencar melobi pemerintah agar membuka kembali pintu impor daging Amerika agar perdagangan lebih sehat.

Andai saja pencabutan larangan itu diimbangi dengan kecepatan mengusut puluhan kontainer daging impor yang terparkir di Tanjung Priok, niscaya tak banyak pertanyaan. Untuk membongkar pelaku penyelundupan daging impor, sudah sepantasnya Departemen Pertanian dan Aspidi membantu Bea Cukai. Pengetahuan tentang seluk-beluk perdagangan daging penting untuk membuka selubung penyelundupan karena keterangan yang diberikan importir tak sedikit yang palsu.

Ambil contoh Koperasi Pengusaha Bakso Indonesia (Koppbasindo), yang dicurigai sebagai salah satu pemain besar dalam impor daging ilegal. Alamat yang mereka cantumkan dalam manifes pelayaran ternyata palsu. Ketika TEMPO mengunjungi Gang Lindung di perbatasan Bekasi-Jakarta, ternyata masyarakat setempat tak mengenal koperasi dengan nama itu.

Yang berdomisili di jalan sempit, tak beraspal, dan tanpa penerangan lampu itu hanyalah sebuah pabrik bakso bernama Sari Lezat. Di pojok tempat produksi, terlihat bak berisi daging bahan pembuat bakso. "Kita beli dari pemasok di Jakarta," kata Suharno, pemimpin produksi di pabrik. Ketika ditanya kaitannya dengan koperasi yang dituduhkan sebagai importir itu, ia malah terlihat bengong. "Di sini tidak ada koperasi-koperasian," ujarnya.

Agaknya memang tak mudah memberantas daging selundupan. Selain murah, larangan impor sering kali cuma di atas lembar surat keputusan. Konsumenlah yang akhirnya harus sangat berhati-hati.

Thomas Hadiwinata, Siswanto, Ami Afriatni, Ramidi (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus