Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
AP3MI memastikan produk yang diboikot diproduksi di dalam negeri dan tidak terafiliasi dengan Israel.
Barang-barang yang diboikot berkontribusi besar terhadap total omzet peretail.
Saham Unilever dan Mitra Adiperkasa tertekan.
JAKARTA – Pelaku usaha retail mulai resah melihat dampak aksi boikot terhadap produk-produk yang diyakini terafiliasi dengan Israel. Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) khawatir gerakan boikot bakal membawa dampak negatif secara jangka panjang terhadap industri retail dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal AP3MI Uswati Leman Sudi menuturkan dampak yang ditimbulkan berpotensi mengganggu kinerja produsen di hulu hingga peretail di hilir karena banyaknya suplai yang tidak terserap oleh pasar. "Pabrik berproduksi setiap hari. Kalau permintaan di retail turun, distribusi bisa terganggu," ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AP3MI memperkirakan dampak jangka panjang boikot ini adalah menurunkan omzet retail hingga lebih dari 50 persen. Saat ini AP3MI masih mengumpulkan data penurunan penjualan dari perusahaan-perusahaan yang terkena dampak. Di sisi lain, dia memastikan seluruh produk yang masuk daftar boikot diproduksi di dalam negeri dan produsennya tidak memberikan dukungan kepada Israel.
"Kami sudah meminta konfirmasi kepada anggota kami. Mereka menyebutkan tidak ada satu pun yang memberikan sumbangan kepada Israel atau terafiliasi dengan Israel."
Ancaman PHK
Pabrik Unilever di Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 3 Juki 2020. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey. Dia menyebutkan gerakan boikot berpotensi menggerus bisnis retail yang tengah memulihkan diri dari efek pandemi Covid-19. "Tahun ini kami optimistis bisa tumbuh 4-4,3 persen," ucapnya. Pada tahun lalu, pertumbuhan industri retail sebesar 3,9 persen.
Dia menjelaskan, mayoritas barang yang masuk daftar boikot merupakan produk Pareto, produk yang berkontribusi hingga 80 persen terhadap total omzet peretail meski jumlahnya hanya 20 persen dari keseluruhan barang yang dijual peretail.
Produk Pareto yang dimaksudkan itu adalah produk konsumer, seperti sabun, sampo, susu, gula, beras, dan bahan makanan lain. Roy memperkirakan dampak aksi boikot baru akan terlihat pada akhir tahun. "Dampak terburuknya adalah pengurangan produktivitas di pabrik sehingga akan muncul ancaman pengurangan tenaga kerja," katanya.
Asosiasi mendorong pemerintah turun tangan mengatasi efek boikot. Dengan demikian, tidak muncul dampak yang kontraproduktif terhadap perekonomian, khususnya pada aspek konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. "Aprindo berharap pemerintah memastikan konsumen mendapat kebutuhannya karena memilih, membeli, dan mengkonsumsi adalah hak konsumen," ucapnya. Terlebih, menurut Roy, produk substitusi yang tersedia di pasar belum tentu relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan hingga saat ini belum ada laporan ancaman pengurangan tenaga kerja dari perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Israel. Meski demikian, Aspek terus mencermati dampak lanjutan jika aksi boikot berjalan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Mirah berharap kondisi ini dapat segera berlalu sehingga tidak perlu ada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Saham Sejumlah Emiten Tersungkur
Gerakan boikot turut berdampak pada pelemahan kinerja saham emiten yang dituding berafiliasi dengan Israel. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta berujar, pelemahan harga kian dalam setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina.
Dalam fatwa tersebut, MUI mengharamkan mendukung Israel dan menganjurkan umat menghindari transaksi produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. "Gerakan ini berdampak pada tingkat kepercayaan investor, khususnya domestik, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam," ucapnya.
Emiten yang banyak terpengaruh gerakan boikot umumnya emiten barang-barang konsumer, seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Produk keluaran UNVR antara lain pasta gigi Pepsodent, sabun mandi Lifebouy, sampo Sunsilk, kecap Bango, dan es krim Wall’s.
Dalam sepekan terakhir, harga saham Unilever di Bursa Efek Indonesia terus tertekan. Kemarin sore, harga saham Unilever terkoreksi 9,16 persen ke level Rp 3.430 per lembar. "Posisi Unilever sedang sulit karena sejak sebelum ada aksi boikot memang sahamnya sudah dalam tren turun," kata Nafan.
Berikutnya adalah saham PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), yang diketahui menjadi pengelola merek kopi Starbucks Indonesia. Selama sebulan terakhir, harga saham MAPI terjun 11,87 persen menjadi Rp 1.685 per lembar. "Penurunan MAPI tidak akan lebih dari ini karena sudah tampak tren konsolidasi," ucap Nafan.
Dia menyarankan emiten dan perusahaan pemegang merek lain menjelaskan sikap serta keberpihakannya kepada investor, khususnya investor domestik. "Misalnya dengan mewujudkan aksi bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial."
Logo kedai kopi Starbucks di Jakarta, 12 November 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono berujar, gerakan boikot merefleksikan etika dan moral konsumen dalam keputusan membeli serta melakukan konsumsi. Dari kacamata konsumen, boikot merupakan sanksi ekonomi yang diberikan kepada Israel karena terus-menerus menyerang Gaza.
Yusuf mengatakan boikot yang dilakukan bertujuan memberikan tekanan kepada Israel agar menghentikan penjajahan atas wilayah Palestina dan memberikan hak-hak warga Palestina. "Logika boikot adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi, ataupun dialog. Boikot adalah ekspresi dari pilihan moral konsumen yang sah dan legal," katanya.
Sebagaimana diketahui, gerakan boikot produk pro-Israel telah masuk fenomena global, yang diinisiasi oleh gerakan Palestinian Civil Society Call for Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) yang diluncurkan pada 2005.
Ihwal adanya pihak yang akan dirugikan dari gerakan boikot, Yusuf mengakui, memang tidak terhindarkan. Dari sini pula, muncul kritik terhadap gerakan boikot yang diyakini bakal menciptakan pengangguran dan kemunduran ekonomi. "Boikot adalah dilema bagi negara atau perusahaan karena akan terjadi penurunan kinerja," ucapnya.
Jika penurunan kinerja semakin signifikan, daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan diyakini semakin besar. "Harapannya adalah pihak yang diboikot akan mengalami tekanan dan menghentikan dukungannya kepada Israel," ucapnya.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo