Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kenaikan Bunga yang Tak Terelakkan

Inflasi tinggi terjadi di mana-mana. Konsumen jadi penanggung beban terberat.

5 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Inflasi datang di tengah geliat ekonomi Amerika Serikat.

  • Bank Sentral Eropa berbalik arah menghadapi inflasi.

  • Ancaman inflasi tinggi di Indonesia makin nyata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DATA terbaru sudah berbicara. Di Amerika Serikat, misalnya, selama Januari 2022 tercipta 467 ribu lapangan kerja baru kendati serangan varian Omicron sedang merebak. Data tersebut jauh di atas prediksi para analis yang memperkirakan tambahan lapangan kerja cuma sekitar 150 ribu. Ekonomi yang berputar kencang akan datang bersama inflasi yang tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data inflasi Januari 2022 Amerika Serikat memang baru akan keluar pada 10 Februari nanti. Namun banyak analis sudah memperkirakan: inflasi tahunan di Amerika per Januari 2022 berkisar 7,1-7,3 persen, lebih tinggi ketimbang angka Desember 2021 yang hanya 7 persen. Kombinasi mengkilapnya data tenaga kerja dan tingginya inflasi kian memperkuat kemungkinan The Fed lebih agresif menaikkan bunga bulan depan serta menyedot likuiditas dari pasar.

Perubahan besar juga akan terjadi di daratan Eropa. Bank Sentral Eropa (ECB) sudah memberi sinyal putar haluan setelah bersidang pada Kamis, 3 Februari lalu. Tak ada lagi jaminan bahwa selama 2022 tak ada kenaikan bunga. Presiden ECB Christine Lagarde terpaksa mengubah arah kebijakan karena sudah tujuh bulan berturut-turut inflasi di Eropa melampaui target ECB sebesar 2 persen. Pada Januari 2022, inflasi di Eropa malah mencatat rekor baru, 5,1 persen.

Bank of England (BOE), bank sentral Inggris, bahkan sudah bertindak lagi. BOE menaikkan bunga menjadi 0,5 persen dari 0,25 persen pada Kamis, 3 Februari lalu. Pada Desember 2021, BOE sudah menaikkan bunga dari 0,1 persen menjadi 0,25 persen. Berbeda dengan situasi di Amerika Serikat, kenaikan bunga di Inggris harus berlangsung di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik.

Di Inggris, pertumbuhan ekonomi justru sedang melemah dan angka pengangguran dalam tren naik. Ada pula rencana kenaikan tarif pajak mulai April nanti. Konsumen akan mengalami jepitan ganda lantaran harga energi diperkirakan melonjak. Apalagi jika konflik Rusia dengan Ukrania benar-benar meletus menjadi perang terbuka.

Banyak persoalan serupa yang mungkin menimpa ekonomi Indonesia. Inflasi mulai menanjak. Pada Januari 2022, inflasi tahunan sudah merangkak naik menjadi 2,18 persen, cukup jauh di atas inflasi tahunan per Januari 2021 yang sebesar 1,55 persen. Gejolak harga minyak goreng yang melonjak tinggi belakangan ini akan menambah tekanan inflasi, apalagi jika hal itu berkepanjangan.

Masalahnya, untuk mengatasi kelangkaan pasokan di pasar domestik yang memicu naiknya harga, pemerintah menutup izin ekspor minyak sawit. Ini mirip dengan situasi di industri batu bara bulan lalu. Mungkin saja larangan ekspor pada akhirnya dapat memulihkan pasokan ke pasar dalam negeri. Tapi ada efek samping yang tak kalah berat. Larangan ekspor jelas mengurangi aliran devisa justru ketika Indonesia sedang memerlukannya.

Devisa hasil ekspor, terutama dari batu bara dan minyak sawit, berperan besar membuat ekonomi Indonesia kembali menggeliat pada 2021. Sekarang, memasuki 2022, justru pemerintah sendiri yang menutup aliran rezeki itu. Setelah ekspor batu bara pampat selama Januari 2022, giliran ekspor minyak sawit yang sekarang terhenti untuk memaksa industri sawit memasok kebutuhan dalam negeri. Sejauh ini, meski ekspor sudah mulai terhenti, pasokan minyak sawit di dalam negeri masih langka, entah sampai kapan.

Itu belum semuanya. Beban konsumen Indonesia juga akan bertambah karena pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai menjadi 11 persen mulai April 2022. Harga elpiji pun sudah naik sejak Desember 2021, lebih-lebih kenaikan cukai rokok berlaku tahun ini. Ada kemungkinan harga bahan bakar minyak juga naik lantaran harga minyak dunia terus melonjak.

Di tengah berbagai situasi sulit itulah, ketika The Fed sudah menaikkan bunga, ketika likuiditas global mengering, Bank Indonesia harus membuat keputusan berat dengan segala konsekuensinya: menaikkan bunga. Seperti halnya di Inggris, saat itu terjadi, beban berat akan menimpa konsumen Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus